Kiamat Serangga dan Hilangnya Tiga Peran Utama

Konten dari Pengguna
17 Juni 2020 7:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Macam-macam serangga. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Macam-macam serangga. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Radboud, Belanda menemukan bahwa populasi serangga mengalami penurunan sekitar 25 persen tiap dekade. Selama 27 tahun terakhir, penurunan populasi serangga mencapai angka 75 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara, dalam studi yang diterbitkan di Science baru-baru ini, dari 166 hasil survei jangka panjang di 1.676 situs di seluruh dunia menunjukkan populasi serangga seperti kupu-kupu, semut, belalang, dan sebagainya mengalami penurunan 0,92 persen tiap tahun. Artinya, dalam satu dekade populasi serangga mengalami penurunan hingga 9 persen lebih.
Angka itu memang tidak semengerikan hasil penelitian dari peneliti Universitas Radboud yang dilakukan di cagar alam Jerman. Tapi dengan berkurangnya 9 persen populasi tiap dekade, dalam 30 tahun saja kita sudah kehilangan seperempat lebih serangga yang ada di seluruh dunia.
Pakar Serangga dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Damayanti Buchori, mengatakan penurunan populasi serangga yang cukup signifikan dari waktu ke waktu sebenarnya bukan kabar baru bagi kalangan saintis. Kerusakan habitat yang sporadis memang telah sejak lama membuat populasi serangga terus mengalami penurunan, baik dari segi jumlah populasi maupun keanekaragamannya.
ADVERTISEMENT
“Memang ada serangga-serangga yang kosmopolit, artinya bisa hidup di mana saja, mereka memang tidak terpengaruh. Misalnya nyamuk, tapi yang kosmopolit seperti itu kan enggak banyak,” ujar Damayanti Buchori ketika dihubungi, Selasa (16/6).
Bahkan banyak serangga-serangga yang belum sempat teridentifikasi, namun sudah punah lebih dulu. Pasalnya, dari sekitar 5,5 juta spesies serangga yang diperkirakan ada di dunia ini, yang teridentifikasi baru sekitar 20 persen atau 1 juta spesies.
“Kita enggak tahu dia ada, tahu-tahu sudah punah. Karena hutannya habis, perubahan tata guna land use-nya itu berubah drastis, penggunaan pestisida, dan sebagainya,” lanjut Guru Besar Proteksi Tanaman IPB itu.
Di zaman antroposentris ini, dimana manusia mendominasi landscape memang telah terjadi perubahan besar-besaran dengan banyaknya spesies satwa yang hilang. Serangga yang memiliki ukuran kecil dan dianggap kurang penting menjadi salah satu spesies yang paling banyak hilang.
ADVERTISEMENT
“Orang selama ini kurang begitu sadar dengan keberadaan serangga, dengan adanya penelitian itu sekarang mereka kaget, terus tanya di Indonesia berkurang juga tidak ya?” lanjutnya.
Dengan yakin Damayanti mengatakan bahwa populasi serangga di Indonesia juga semakin menurun. Bukan tanpa alasan, hutan sebagai habitat terbesar serangga dan berbagai jenis satwa telah banyak berkurang, baik karena pembukaan lahan perkebunan dan pemukiman, pembakaran hutan, kegiatan pertambagan, dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya. Belum ditambah dengan penggunaan pestisida dan pencemaran lingkungan yang terus terjadi.
Tiga Peran Utama Serangga
Salah satu keunikan serangga adalah dia memiliki tiga peranan utama di dalam ekosistem yang tidak bisa digantikan oleh makhluk lain. Dari makanannya, serangga dibedakan menjadi serangga herbivora, karnivora, dan serangga pengurai.
ADVERTISEMENT
Bagi petani, serangga herbivora yang kerap memakan tanaman kerap dijadikan sebagai musuh dan dianggap hama. Namun di sisi lain, mereka akan membuat siklus nutrisi berjalan lebih cepat. Ketika serangga memakan daun, dan dia mengeluarkan feses atau kotoran, maka daur ulang daun kembali ke tanah, menjadi nutrisi, dan diambil lagi oleh tanaman akan berlangsung lebih cepat. Berbeda dengan tanaman yang daunnya tidak dimakan serangga, maka siklus nutrisi semacam itu harus menunggu daun gugur dengan sendirinya dan tentu akan lebih lama.
“Jadi keberadaan serangga herbivora sebagai pemakan tanaman, dia akan mempercepat nutrisi hara dan dalam ekosistem itu bagus karena daur ulangnya terjadi,” kata Damayanti menjelaskan.
Selain serangga herbivora, ada juga serangga karnivora yang akan menjadi musuh alaminya. Serangga karnivora ini akan memangsa serangga herbivora, sehingga keseimbangan ekosistemnya tetap terjaga.
ADVERTISEMENT
“Serangga karnivora ini berguna banget karena dia akan memakan serangga-serangga yang dianggap hama dan merusak tanaman,” lanjutnya.
Peran serangga yang ketiga adalah sebagai pengurai, misalnya rayap. Ya, rayap yang kerap dianggap sebagai hama kayu juga punya peran penting di dalam ekosistem. Bayangkan jika tidak ada rayap, pohon-pohon yang tumbang di dalam hutan bisa jadi akan menjadi kayu dalam jangka waktu yang sangat lama. Sementara rayap akan mengurainya sehingga bisa menjadi nutrisi bagi tanah.
Serangga pengurai bukan hanya rayap. Dung beetle atau serangga pemakan kotoran juga punya peran yang tidak kalah penting. Dia juga akan membuat kotoran sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya menjadi lebih cepat terurai dan menjadi unsur hara bagi lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Ada dekomposer atau pengurai bangkai, dia juga akan membuat bangkai itu menjadi nutrisi dan kembali ke tanah,” ujar Damayanti.
Di samping tiga fungsi pokok itu, serangga juga memiliki fungsi tambahan, yakni sebagai penyerbuk misalnya lebah dan kupu-kupu. Serangga penyerbuk merupakan sahabat bagi petani, tanpa mereka maka proses penyerbukan akan sulit terjadi, sehingga tanaman yang sudah berbunga tidak akan menghasilkan buah.
“Tanpa adanya penyerbuk, banyak sekali tanaman yang tidak bisa berbuah,” ujarnya.
Petaka Itu Nyata
Jika serangga benar-benar menemui kiamatnya, maka semua peran serangga juga akan ikut hilang. Tanah jadi tidak subur karena siklus nutrisi terganggu bahkan terhenti, bangkai-bangkai tidak akan terurai, tanaman-tanaman petani tidak akan berbuah karena tidak adanya penyerbukan.
ADVERTISEMENT
Exactly, semua peran serangga akan hilang, ekosistem menghadapi masalah besar, dan ini adalah sebuah petaka,” kata Damayanti.
Saat ini memang sudah ada upaya yang dilakukan bagaimana menemukan alat untuk menjalankan peran serangga sebagai penyerbuk. Menurut Damayanti, alat-alat itu menyerupai drone yang sangat kecil, ukurannya tidak jauh berbeda dengan serangga-serangga penyerbuk. Hal ini dilakukan setelah melihat kenyataan bahwa serangga-serangga penyerbuk terutama lebah dan kupu-kupu terus mengalami penurunan.
“Tapi yang namanya buatan manusia enggak akan pernah bisa menggantikan buatan Tuhan lah menurut saya,” lanjutnya.
Soal bagaimana menjaga keberadaan serangga sebenarnya sudah banyak yang membicarakan. Namun implementasinya sampai sekarang masih jauh panggang dari api, karena lingkungan juga terus mengalami kerusakan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan menurut Damayanti, pertama adalah dengan menyediakan lahan atau areal yang dikonservasi, misalnya hutan-hutan di kawasan taman nasional. “Jadi sekian persen dari land use itu kita harus tetap menyisihkan lahan untuk wildlife itu harus tetap ada,” ujar Damayanti.
ADVERTISEMENT
Pengembangan teknologi pertanian juga perlu dibuat se-ramah lingkungan mungkin. Artinya teknologi itu tidak membunuh serangga-serangga yang bermanfaat. Hal ini cukup sulit, karena pestisida yang digunakan sebagian besar petani tidak pernah pandang bulu dalam membunuh serangga.
Bukan berarti tidak boleh menggunakan pestisida, namun bagaimana menggunakan pestisida dengan bijak. Dalam penggunaannya, pestisida seharusnya menjadi alternatif terakhir. Apabila ada serangan hama, sebisa mungkin menangani dengan cara-cara alami dulu seperti menggunakan musuh alami atau menggunakan pestisida yang dibuat dari bahan-bahan alami.
“Ketika itu tidak berhasil, barulah menggunakan pestisida. Jadi penggunaan pestisida itu harus bijaksana, jangan belum-belum sudah semprot. Bukan saya anti penggunaan pestisida ya, tapi saya anti penggunaan pestisida yang berlebihan. Dan itu yang sekarang terjadi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Upaya lain yang penting untuk dilakukan adalah konservasi tanaman. Misalnya dengan menanam berbagai macam tanaman bunga di pekarangan rumah. Sehingga serangga-serangga penyerbuk seperti serangga dan kupu-kupu bisa mendapatkan nektar sebagai makanannya.
“Di perkotaan itu banyak sekali yang bisa kita kembangkan. Kita menanam tanaman-tanaman pekarangan yang menjadi sumber makanan bagi berbagai macam serangga yang berguna. Tapi orang kita kan jarang banget nanam-nanam gitu yah, biasanya ada tanah terus disemen habis,” kata Damayanti. (Widi Erha Pradana / YK-1)