Kisah Darah dan Air Mata di Medan Perang Rejodani, Yogyakarta

Konten dari Pengguna
14 November 2019 13:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh : Agam Shani Rasyid
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh : Agam Shani Rasyid
ADVERTISEMENT
Monumen Rejodani berada persis di pinggir Jalan Palagan Tentara Pelajar, Yogyakarta. Di tiap pinggirnya ada beberapa pohon cemara yang tumbuh tinggi menjulang menaungi monumen itu dari terik matahari dan hujan.
ADVERTISEMENT
Halamannya memiliki luas tak sampai 10 meter persegi. Sebuah pagar tembok yang tingginya tak sampai satu meter mengelilinginya. Jadi tak perlu bingung bila pintu pagar terkunci kalau kau ingin masuk ke halaman monumen. Cukup dengan melompati pagar tembok itu, kau sudah bisa menjejakkan kaki di halaman monumen.
Tak banyak orang tahu keberadaan Monumen Rejodani. Letaknya memang berada di pinggir jalan raya, namun tak usah berharap para pengendara akan melirik sejenak untuk melihat tugu monumen itu. Karena jalannya lurus, para pengendara biasanya akan memacu kendaraan mereka dengan kencang saat melintasi monumen itu.
Sebenarnya sih, seiring dengan pertumbuhan penduduk, makin banyak berdiri rumah-rumah baru di sekitar monumen. Seharusnya lebih banyak orang yang jadi menyadari keberadaan monumen, namun nyatanya, hal itu tidak mengangkat nama monumen ini menjadi semakin terkenal.
ADVERTISEMENT
Bila Hari Minggu tiba, Lapangan Rejodani yang terletak di sebelah utara monumen lebih ramai oleh para warga yang melakukan aktivitas jogging keliling lapangan. Suasananya begitu kontras dengan suasana monumen di selatannya yang sepi pada hari apa pun. Sudah begitu, kontur tanah Lapangan Rejodani lebih tinggi, seakan kedudukannya lebih terhormat dibanding monumen itu.
Namun pada 10 November lalu adalah Hari Minggu yang istimewa di Monumen Rejodani. Pagi itu, Dua puluh-an anak-anak pramuka yang terdiri dari siswa siswi SMP dan SMA berkumpul di sana. Mereka melaksanakan upacara peringatan hari pahlawan.
Upacara itu berlangsung sederhana dan dalam kondisi yang apa adanya. Tak ada tiang bendera di monumen itu. Bendera merah putih dipasang pada sebuah tiang kecil yang terbuat dari kayu. Tingginya sekitar dua meter.
ADVERTISEMENT
Setelah penghormatan kepada bendera merah putih dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembina upacara memberi sambutannya. “Semoga ke depan acara di sini bisa lebih besar lagi dari ini,” kata Arly Iskandar, Komandan Koramil (Komando Rayon Militer) Ngaglik yang bertindak sebagai pembina upacara.
Selesai sambutan, acara kemudian dilanjutkan dengan mengheningkan cipta, pembacaan doa, dan kemudian menyanyikan lagu 'Syukur'. Sebelum meninggalkan lapangan upacara, sang pembina memberi intruksi pada panitia acara agar ke depannya, sebelum mengadakan upacara, para penyelenggara dan peserta upacara diberi pelajaran terlebih dahulu oleh Koramil tentang tata cara upacara.
Selesai upacara itu, Ludyanto, seorang tamu undangan yang hanya mengamati jalannya upacara bersama anaknya dari luar halaman berkata pada saya, “Itu bendera harusnya berada di sebelah kanan pembina upacara, bukan di sebelah kiri. Dalam upacara itu kesalahan fatal,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mungkin itulah salah satu hal yang membuat pembina tadi berkata agar peserta diberi pelajaran tentang tata cara upacara terlebih dahulu.
Selesai upacara, para peserta kemudian berkumpul di sekitar monumen untuk beristirahat sejenak. Mereka meminum hidangan teh yang telah disediakan oleh panitia.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sarasehan yang diadakan di bawah tenda acara yang didirikan di sebelah utara halaman monumen. Masing-masing pembicara memberikan petuah-petuahnya. Para peserta yang sebagian besar anak-anak pramuka itu mendengarkan dengan saksama.
Peristiwa 29 Mei 1949
Upacara bendera Hari Pahlawan di Monumen Rejodani dipimpin oleh Ndanramil Ngaglik, Arly Iskandar. Foto oleh : Maria Purwantini
Soepanoto baru bersiap-siap mandi saat ia melihat ada penduduk yang berlari menuju markasnya di daerah Ngetiran. Hari itu baru lewat pukul lima pagi. Pada malam hari sebelumnya, Soepanoto bersama teman-temannya sesama anggota Tentara Pelajar (TP), disambangi teman-teman perempuan mereka dari Tentara Pelajar putri.
ADVERTISEMENT
Para perempuan itu datang dengan memberi mereka makanan dan obat-obatan. Namun pada pagi hari setelahnya, Soepanoto dan kawan-kawan sudah harus menyambut kedatangan tamu-tamu yang lain.
Ono Londo! Ono Londo ten kidul!” Penduduk itu memberi tahu pada para penghuni markas.
Para anggota Tentara Pelajar itu kemudian bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Mereka harus bergegas untuk menghadang Pasukan Belanda yang datang dari arah selatan. Karena hal ini, Soepanoto harus menunda dulu acara mandi paginya.
Sebelum berangkat, Soepanoto menyelempangkan sebuah kain merah putih di depan seragamnya dan memasang sebuah topi baja buatan Inggris di kepalanya. Kemudian bersama 14 anggota pasukan lainnya bergerak ke selatan, menuju arah datangnya pasukan Belanda. Sementara itu Pasukan Belanda terus bergerak ke arah utara. Saat dua pasukan bertemu, pertempuran tidak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Pertempuran pecah di tengah sawah. Saat itu adalah waktu tak lama setelah panen padi. Dampaknya, sulit untuk mencari tempat sembunyi guna membidik musuh. Karena tak ada pilihan lain, lima belas orang itu bergerak menuju sebuah parit. Bukannya tiarap untuk menghindar dari serbuan peluru senjata pasukan Belanda, mereka justru berdiri di tepi parit itu. Mereka kemudian mulai menembak pasukan Belanda dengan senjata.
Pasukan Belanda yang mereka hadapi adalah pasukan Tiger Brigade. Anggota pasukannya terdiri dari para prajurit pemberani. Semacam Kopassus-nya Belanda. Tapi pasukan Tentara Pelajar rupanya lebih berani.
Dengan terus berdiri tanpa pernah sembunyi, mereka tak henti memberondong pasukan Belanda dengan peluru. Tapi ternyata Pasukan Tiger Brigade dilengkapi dengan rompi anti peluru di seragam mereka. Mengetahui itu, salah seorang anggota Tentara Pelajar berteriak pada seluruh anggota pasukan, “tembak ndase! tembak ndase!”
ADVERTISEMENT
Tentu saja sebenarnya mudah bagi Belanda untuk menembak para pasukan Tentara Pelajar yang terus berdiri bagaikan boneka sawah jadi-jadian itu. Saat giliran Belanda yang menembak, para prajurit Tentara Pelajar satu per satu berjatuhan. Saat itu sebuah peluru juga menembus topi baja yang dikenakan Soepanoto, lalu melewati bagian dalam kepalanya, dan keluar dari sisi lain topi baja yang ia kenakan itu. Soepanoto adalah prajurit kedua dari delapan prajurit Tentara Pelajar yang gugur pada pertempuran itu.
Pertempuran berlangsung selama dua jam, dari jam 6 sampai jam 8 pagi. Dari 38 orang, korban tewas dari pihak Belanda berjumlah 21 orang, sementara 17 lainnya selamat.
Tujuh prajurit Tentara Pelajar yang tersisa kemudian dikepung oleh bantuan pasukan Belanda yang datang dari timur dan barat. Setelah Belanda mendekat, baru kemudian mereka mundur. Mereka berlari lewat tengah-tengah serbuan pasukan Belanda yang mengejar mereka dari berbagai penjuru. Pada akhirnya mereka tiba di markas besar Kelor dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Evakuasi terhadap jenazah pasukan baru bisa dilakukan pada jam 3 sore oleh penduduk setempat. Waktu dievakuasi, kain merah putih yang masih melekat di badan Soepanoto ingin dilepas oleh teman-temannya sesama pejuang.
Namun tindakan itu buru-buru dihalang oleh komandan mereka, Martono. Pada akhirnya, Soepanoto dimakamkan di Kelor, bersama kain merah putih yang diselempangkannya. Setahun berselang, jenazahnya, bersama ketujuh jenazah Tentara Pelajar lainnya dipindahkan ke taman makam pahlawan Kusumanegara. Sementara, topi baja buatan Inggris yang ia kenakan disumbangkan oleh pihak keluarga ke Museum Monumen Yogya Kembali.
Jangan Pernah Rugikan Petani
Foto oleh : Multi Yanti
Wawan Handoko selalu terbawa emosi saat menceritakan kisah Soepanoto yang gugur di medan perang Rejodani. Pagi itu, di hadapan anak-anak pramuka, ia menceritakan kisah almarhum pamannya itu dengan suara berat karena menahan sedih, terutama pada bagian saat Soepanoto gugur.
ADVERTISEMENT
“Cerita ini adalah versi dari keluarga kami. Kemungkinan ada versi-versi lain dari cerita pertempuran di Rejodani karena yang gugur ada delapan,” jelas Wawan.
Di hadapan anak-anak pramuka, Wawan menunjuk tempat-tempat yang dulunya menjadi lokasi peperangan. “Itu dulu paritnya. Di sebelah timur jalan itu. Itu kedelapan prajurit gugurnya berurutan dari sana sampai pinggir rumah itu. Itu di sebelah selatan sana masih ada bekas bom,” kata Wawan sambil menunjukkan lokasinya satu per satu.
Anak-anak pramuka pun begitu antusias melihat tempat-tempat yang dimaksud. Mereka tidak pernah merasakan suasana perang seperti apa yang pernah dirasakan anak-anak seusia mereka saat berperang di Rejodani.
Tentu saja ini bukan medan perang virtual seperti dalam game komputer Call Of Duty atau game android PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) yang sedang populer di kalangan remaja. “Pertempuran ini benar-benar terjadi,” tegas Wawan.
ADVERTISEMENT
Wawan sendiri mendapat cerita tentang Pertempuran Rejodani dari ayahnya, Soepandoeko. Walaupun juga tergabung dalam pasukan tentara pelajar, Soepandoko tidak ikut dalam pertempuran di Rejodani. Saat perang terjadi, dia sedang dirawat di Rumah Sakit Medari.
Beberapa waktu sebelumnya, bagian samping kepalanya terkena luka tembakan saat menghadang iring-iringan tentara Belanda di daerah Tempel. Namun saat sedang istirahat, seorang penduduk mendatanginya di rumah sakit itu dan bilang padanya kalau pasukan Tentara Pelajar sedang berperang di Rejodani. Mendengar kabar itu Soepandoeko langsung menyusul ke medan perang. Saat sampai sana ia menemukan kakaknya Soepanoto telah gugur.
Sebelum mati, Soepanoto sempat memberi tiga butir pesan kepada adiknya itu. “Yang saya ingat cuma dua,” kata Wawan perihal pesan apa yang pernah diceritakan ayahnya.
ADVERTISEMENT
“Pertama, janganlah kamu menodai negaramu karena negara ini dibangun dengan darah dan air mata. Kedua, jangan pernah rugikan petani, karena merekalah yang memberi makan saat pejuang bergerilya,” jelasnya. (Agam Shani Rasyid / YK-1)