news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah di Bawah Lindungan Pohon Jenitri

Konten dari Pengguna
18 Oktober 2019 19:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pohon Jenitri di Lintang Panglipuran Sleman pada Selasa (17/10). Foto oleh : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Jenitri di Lintang Panglipuran Sleman pada Selasa (17/10). Foto oleh : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Di pertengahan Oktober ini, Jogja begitu terik dan lembab. Tapi di kebun Lintang Panglipuran, di Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, semua tampak berbeda, begitu teduh, begitu sejahtera.
ADVERTISEMENT
“Karena (pohon) jenitri ini,” kata Bambang Sriyono, pria sepuh, 71 tahun, pensiuan bagian produksi harian terbesar di Indonesia, Selasa (15/10) memberi jawaban kenapa siang itu terasa begitu adem dan damai di sana padahal Jogja sedang gerah-gerahnya.
Dialah pendiri kebun penuh tanaman lengkap dengan pondok berdinding kayu dan berlantai keramik itu, yang kemudian tumbuh sebagai komunitas bernama Lintang Panglipuran yang bergerak di bidang konservasi lingkungan.
Pak Bambang begitu antusias bercerita mengenai pohon jenitri. Dari nada bicaranya, pohon yang bijinya dikenal sebagai air mata dewa ini seperti memiliki tempat yang sangat istimewa untuknya.
Mulai menanam di kebun yang sebenarnya tak terlampau luas ini pada awal 2000-an, Pak Bambang baru menerima bibit jenitri pada 2012 lalu. Pemberinya, seorang profesor dari UPN Veteran Yogyakarta bernama Suwardi. Saat ini, 7 tahun tumbuh di kebun Lintang Panglipuran, jenitri sudah demikian menjulang tinggi, bahkan menjadi salah satu pohon terbesar di kebun Lintang Panglipuran.
ADVERTISEMENT
Saat diberi oleh Prof Suwardi, Pak Bambang sebenarnya baru pertama kali mengenal pohon itu. Tapi karena pada dasarnya menyukai tanaman, tanpa berpikir panjang Pak Bambang langsung menanam pohon itu di depan rumahnya. Siapa sangka, sekarang pohon jenitri itulah yang paling dekat dengan Pak Bambang.
“Yang paling dekat secara emosional ya jenitri ini,” katanya.
Pohon Penyembuh
Bambang Sriyono, pria sepuh, 71 tahun, pendiri Komunitas Lintang Panglipuran. Foto oleh : Widi Erha
Selama ini, jenitri atau genitri lebih dikenal dengan buahnya yang banyak dijadikan tasbih atau gelang. Kata Pak Bambang, sembari memamerkan gelang buah jenitrinya, gelang jenitri dapat melancarkan peredaran darah. Sebab, gelang jenitri mengandung ion elektromagnetik. Jenitri, menurut Pak Bambang, juga menghasilkan oksigen siang dan malam. Sehingga, pada malam hari di bawah pohon jenitri, rasanya juga begitu segar karena bisa menghirup berlimpah oksigen. Benarkah ?
ADVERTISEMENT
“Memang belum ada penelitian ilmiah soal jenitri ini. Apakah malam menghasilkan oksigen, bagaimana mekanisme ilmiahnya, saya juga tidak tahu,” katanya.
Pak Bambang melanjutkan kisahnya dengan cerita seorang profesor di India yang membuat perkebunan khusus jenitri. Di bawah perkebunan itu kemudian dibangunlah barak-barak pengungsian. Setelah itu, profesor tersebut mengumpulkan orang-orang penderita penyakit pernapasan seperti TBC, asma, ispa dan sabagainya. Selama tiga bulan mereka tinggal di barak itu dengan aktivitas sehari-hari hanya makan, tidur, dan aktivitas-aktivitas ringan lainnya.
“Setelah tiga bulan dia panggil dokter untuk ngecek orang-orang itu. Ternyata sekitar 98 persen sehat, nggak sakit lagi,” katanya.
Beberapa anak penderita asma, seturut cerita Pak Bambang, setelah tidur di bawah pohon jenitri secara rutin beberapa lama, perlahan asma yang diderita pun mulai reda bahkan sembuh sama sekali.
ADVERTISEMENT
Bambang Sriyono sangat menyayangkan belum adanya penelitian ilmiah soal pohon jenitri. Karena itu, ketika ditanya cara kerja pohon jenitri kenapa bisa menghasilkan menyembuhkan asma dan menghasilkan oksigen di malam hari tanpa sinar matahari, Pak Bambang juga tak bisa menjelaskannya.
Imajinasi Acil
Acil (kiri) bersama salah satu pengunjung kebun, Wanda (kanan) di bawah pohon Jenitri. Foto oleh : Widi Erha.
Cerita tentang Jenitri masih terus lanjut hingga ke bagian belakang kebun. Di sana ada Sigit Apriyanto alias Acil, 24 tahun, ketua Komunitas Lintang Panglipuran yang memiliki pembawaan sangat ceria dan mudah bergaul dengan siapapun. Di halaman belakang kebun, Acil baru saja selesai merawat bibit-bibit tanaman mereka. Ada bermacam tanaman di sana, mulai dari tanaman obat, kayu keras, juga bermacam tanaman buah.
Acil tak tertarik membicarakan jenitri secara ilmiah. Alih-alih, dia memiliki dugaan, pohon jenitri di depan pondok Pak Bambang adalah jelmaan manusia yang memutuskan untuk bertapa dan berdiam diri di situ dalam terpaan panas maupun hujan.
ADVERTISEMENT
“Dan akhirnya dia melepaskan nafsu atau apa, dan mengubahnya menjadi cinta kasih yang bisa kita lihat dengan memberikan oksigen 24 jam, atau dengan biji yang mengandung elektromagnet,” kata mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di UNY itu.
Saya terperangah mendengar perkataan Aci.
Menurut Acil, ada sisi lain yang perlu digali dari pohon jenitri dan pohon-pohon lain pada umumnya, selain dari sisi ilmiah, yakni dari sisi religiusitasnya.
Pohon jenitri sangat dekat dengan agama hindu. Di India, jenitri bahkan dijuluki Rudraksha atau ‘Air Mata Dewa Siwa’. Konon, jenitri tumbuh dari air mata Dewa Siwa yang menetes di bumi. Karena itu, di India, jenitri menjadi buah yang disucikan, dikeramatkan, bahkan dipercaya mampu membersihkan dosa. Sisi-sisi religius seperti inilah yang menurut Acil juga penting untuk digali.
ADVERTISEMENT
Berbuah Sepanjang Musim
Buah pohon jenitri. Foto oleh : Widi Erha
Pak Bambang menunjukkan dua buah jenitri yang sudah jatuh kepada saya. Buah yang satu berwarna hijau, sedangkan satunya berwarna ungu. Buah jenitri yang berwarna ungu inilah buah yang sudah matang dan siap dipanen. Biasanya, puncak panen buah jenitri ini jatuh sekitar September. Tapi, secara umum, buah jenitri ini selalu berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
Kata Pak Bambang dan Acil, daging buah jenitri yang sudah matang, bisa dimakan. Meski agak ragu, saya mencoba memkannya. Di lidah saya, tekstur daging jenitri terasa seperti tekstur alpukat, namun rasanya samar-samar mirip jambu biji.
Saat ini, daun pohon jenitri di kebun Lintang Panglipuran sedang tidak terlalu lebat. Selain karena musim kemarau berkepanjangan, kata Pak Bambang pohon jenitri miliknya itu sebenarnya agak rusak karena rimbunnya pohon markisa yang merambat. Batang-batang pohon jenitri beberapa patah karena tak kuat menahan beratnya buah markisa. Namun, sekarang pohon markisa itu sudah dibuang dan dibersihkan dari pohon jenitri. Meski begitu, ketika sudah masuk musim penghujan sekitar Maret nanti, menurut Pak Bambang, daun pohon jenitri akan kembali hijau dan lebat.
ADVERTISEMENT
Kemampuan pohon jenitri dalam memperbaiki kualitas udara kata Pak Bambang, tidak perlu diragukan lagi. Kemampuan menyimpan air tanahnya juga lumayan. Pak Bambang sempat memiliki cita-cita memiliki lahan yang luas untuk menanam lebih banyak pohon jenitri dan pohon-pohon lain. Namun hal itu belum bisa terwujud.
“Manusia tanpa pohon, tewas. Tapi pohon tanpa manusia akan tetap hidup, bahkan akan semakin berlipat ganda,” pesan Pak Bambang. (Widi Erha Pradana / YK-1)