Krisis Pangan di Depan Mata, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Konten Media Partner
23 Juni 2022 16:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani muda di Kulonprogo menjajakan sayur mayur. Foto: Hernawan
zoom-in-whitePerbesar
Petani muda di Kulonprogo menjajakan sayur mayur. Foto: Hernawan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tanda-tanda krisis pangan sudah muncul. Petani gagal panen karena iklim yang tidak menentu, cuaca ekstrem, kebanjiran atau kekeringan, bencana alam, hingga diserang hama dan penyakit.
ADVERTISEMENT
“Itu sebenarnya tanda-tanda krisis pangan akan terjadi. Jumlah penduduk terus naik, sementara kenaikan jumlah pangan tidak seimbang dengan kenaikan jumlah penduduk," kata pengajar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Jaka Widada, dalam keterangan tertulis UGM, Rabu (22/6).
Menurutnya, FAO sebagai badan pangan dunia memperkirakan pada 2050 penduduk dunia tembus 10 miliar. Jumlah penduduk yang sedemikian besar tersebut memerlukan jumlah pangan yang banyak pula.
Untuk itu, agar tidak terjadi kelaparan, produksi pangan dunia harus ditingkatkan. Produksi pangan idealnya berkisar 70 persen dari jumlah penduduk. Padahal saat ini sejumlah negara hanya mampu menyediakan 10 persen.
“Memang antar negara yang satu dengan negara yang lain beda-beda. Bisa-bisa di tahun-tahun itu akan banyak tragedi kelaparan juga. Untuk negara-negara seperti Cina, Israel, Amerika, Uni Eropa sejak sekarang sudah mempersiapkan," katanya.
ADVERTISEMENT
Untuk menghadapi krisis pangan, Jaka memaparkan beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat. Di antaranya upaya menghadapi perubahan iklim, mengembangkan varietas pangan yang adaptif, mengatasi persoalan pupuk, menyetop perilaku boros pangan, hingga melakukan regenerasi petani.
Salah satu dampak perubahan iklim ada pada kondisi air tanah. Jika masyarakat saat ini hanya mengandalkan air tanah sebagai sumber pengairan, maka dikhawatirkan 10 tahun ke depan sumber-sumber air habis dan akan memunculkan kekeringan permanen di sejumlah daerah.
“Pembangunan sejumlah embung sudah benar meski terkadang belum pas karena dilakukan dengan tidak memperhatikan posisi strategis embung sebagai daerah tampungan air," ucapnya.
Varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim juga harus dikembangkan. UGM misalnya mengembangkan varietas padi Gama Gora (Gogo Rancah) dengan kebutuhan air jauh lebih sedikit. Jika umumnya varietas padi saat ini dengan produktivitas 1 kilogram beras butuh sekitar 2.500 liter air, varietas baru diupayakan hanya perlu 50-100 liter air.
ADVERTISEMENT
“Jadi harapannya ke sana mampu mengembangkan varietas-varietas adaptif terhadap perubahan iklim," ucapnya.
Petani di Bantul memanen padi. Foto: Hernawan
Selain itu, menurutnya, harga pupuk saat ini sangat mahal dan diperkirakan akan terus naik seiring langkanya sumber daya alam pembuatan pupuk, seperti gas alam.
Oleh karena itu, pertanian hemat pupuk atau produksi pupuk mandiri juga perlu dikembangkan. Langkah ini bisa menggantikan pupuk pabrikan. Contohnya sudah ada seperti di Aceh dan Riau yakni pembuatan pupuk nitrogen yang murah.
“Sayangnya petani Indonesia secara umum belum memperhatian hal-hal seperti itu," ungkapnya.
Menurut Jaka, edukasi kepada anak muda agar tertarik menjadi petani juga penting. Untuk itu, hasil-hasil pertanian harus menjanjikan di mata mereka. Pertanian juga harus dikenalkan lewat aplikasi dan model-model otomatisasi.
ADVERTISEMENT
“Intinya dengan internet of thinks. Mudah-mudahan menarik anak-anak muda menjadi petani milenial tapi dengan penghasilan yang cukup," katanya. (akh)