Lagu Rantau di Sepanjang Jalan Jogja-Banyumas

Konten dari Pengguna
5 Januari 2020 5:41 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Landscape sawah dan pegunungan Menoreh di Kulon Progo. Foto : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Landscape sawah dan pegunungan Menoreh di Kulon Progo. Foto : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Sepeda motor aku pacu kencang menyusuri Jalan Jogja-Wates. Hari ini, aku akan pulang kampung ke Banyumas yang sudah hampir setengah tahun tertunda. Bukankah semua yang pergi tujuan terakhirnya adalah pulang?
ADVERTISEMENT
Gas aku tarik, sampai speedometer menunjukkan angka 100 kilometer per jam, sangat cepat untuk ukuran motor matic dengan kapasitas mesin 110 cc.
Motor, mobil, bus, dan truk-truk besar aku lewati. Aku meliuk, memasuki celah-celah sempit di antara bus dan mobil. Adrenalinku hidup lagi, entah kapan aku merasakan sensasi seperti ini. Hanya lampu merah yang bisa menahan laju motorku.
Atasanku di media tempat aku bekerja, sebenarnya melarangku untuk naik motor. Ini musim hujan, perjalanan jauh, kalau aku jatuh sakit, halaman yang kami kelola di kumparan bisa saja tak ada isi. Ya, bisa saja aku pulang naik bus atau kereta yang tentu lebih aman dan nyaman, tapi sensasi berkendara motor jarak jauh tak mungkin aku rasakan.
ADVERTISEMENT
Lalu lintas Kamis (2/1) siang itu ramai lancar. Tapi masalah serius ada di depan mata, di atasku awan hitam sudah menunjukkan tanda-tanda akan turunnya hujan. Biarlah, toh aku sudah terbiasa dengan gigil dan sepi, all is well. Sepanjang jalan aku ditemani musik Silampukau, Lagu Rantau (Sambat Omah) yang menggema di earphone yang kupakai.
“Sumpah aku ingin, rumah untuk pulang,” bunyi lirik lagu itu ketika aku melewati jembatan Sungai Progo. Aku jadi tak sabar untuk sampai ke rumah, melepas rindu yang sudah sekian lama tertambat. Meski sampai rumah pun, aku pasti bingung mau ngapain.
Tertahan Barisan Pohon Palem
Barisan pohon palem seperti memecah angin pantai yang berhembus ke jalan raya Wates. Foto : Widi Erha
Tarikan gas masih belum aku kendurkan. Awan hitam perlahan juga mulai memudar. Semesta tampaknya mendukung kepulanganku. Tapi, jalanan Kulon Progo kini mulai bergelombang dan banyak tambalan di sana-sini. Berbeda jauh sekali dengan terakhir aku lewat situ pakai motor.
ADVERTISEMENT
Bagi motor yang besarnya tak seberapa seperti motorku, kondisi itu sangat terasa. Tapi pikirku, ini masih lebih baik dari jalanan di Jawa Tengah nanti yang penuh dengan lubang-lubang berbahaya nan mematikan. Aku sama sekali tak mengurangi kecepatan.
Hingga akhirnya aku melewati Tugu Pensil di Pengasih, Kulon Progo. Semua berjalan lancar sebelum aku merasa ada yang menahan laju motorku. Tarikan gas sudah pol, tapi jarum speedometer masih tertahan di angka 80. Aku lihat ke spion, jangan-jangan ada makhluk astral yang membonceng di jok belakangku. Aman, aku pikir, hantu mana yang sudi menumpang motor butut seperti punyaku? Mending juga numpang mobil-mobil yang isinya cuman satu atau dua, biar enggak mubazir-mubazir amat joknya.
ADVERTISEMENT
Khawatir ada yang salah dengan mesin motorku, aku kendurkan tarikan gas. Angin rasanya berembus sangat kencang, aku amati sekitar ternyata ada pemandangan menarik. Pohon palem menjadi penghias utama sepanjang jalan provinsi di Kulon Progo. Entah, dari dulu aku sangat suka melihat pohon palem, bentuknya yang sederhana namun tegas tanpa percabangan memberikan sensasi tertentu ketika aku melihatnya. Anehnya, baru kali ini aku sadar kalau pohon palem yang berjejer di sepanjang jalan itu ternyata sangat indah.
Tak ingin kehilangan momentum, aku berhenti di tepi jalan. Aku letakkan tas di dashboard motor dan duduk santai memandang daun-daun pohon palem itu melambai diempas angin. Aku nyalakan sebatang tembakau sekalian untuk istirahat. Bus-bus besar, truk, mobil, dan semua kendaraan lalu lalang di depanku tanpa permisi. Tapi bodo amat, aku ingin merasakan dunia yang diputar dengan lambat, menikmati embusan anginnya, kicauan burungnya, hijau rerumputan, dan semua hal yang tak pernah bisa aku rasakan di kehidupan kota yang serba cepat.
Aku memandang jauh ke selatan, hamparan sawah yang menghijau membuat mataku betah memandang lama-lama. Pandangan kualihkan ke utara, di ujung sana, bukit-bukit hijau yang menyusun pegunungan Menoreh mengingatkanku pada pendakian ke Gunung Lawu beberapa waktu lalu. Jadi pengin muncak lagi.
ADVERTISEMENT
Perhatianku tertuju pada barisan pohon palem. Lama memandangnya, aku teringat cerita seorang kawan yang kuliah di jurusan Teknik Sipil. Kata dia, pohon palem dikenal sebagai pohon monumental. Biasanya, pohon palem ditanam sebagai pengarah jalan menuju sebuah tempat yang monumental, seperti patung atau tugu.
Palem juga disebut-sebut sebagai pohon yang sangat mudah tumbuh, bahkan di daerah gersang seperti di pinggiran jalan raya. Karena tak memiliki akar utama, pohon palem sangat ramah terhadap jalan atau bangunan di sekitarnya. Tapi ingatanku kembali tertuju pada embusan angin yang menahan laju sepeda motorku. Mungkinkah pohon-pohon palem ini yang membuat embusan angin terasa lebih kencang?
Batangnya yang tunggal dan daunnya yang tidak rimbun itu apakah sengaja melewatkan angin dari selatan dan utara agar kendaraan yang melaju tidak terlalu cepat? Entahlah. Aku ingat mobil ringsek berkarat yang dipajang di pinggir jalan sebelum Tugu Pensil tadi yang menandakan bahwa area itu memang rawan kecelakaan lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Tak terasa hampir 15 menit aku duduk termangu di atas jok motor. Tembakau di tanganku hanya tersisa satu hisapan terakhir, aku hisap dalam-dalam, aku embuskan, kumatikan baranya, lalu puntungnya aku masukkan ke saku tas. Perjalanan kembali berlanjut.
Pohon Asem, Temanku Saat Patah Hati
Deretan pohon asem di Purworejo. Foto : Widi Erha
Motorku terus melaju ke barat, tapi bukan untuk mencari kitab suci. Gas aku kendorkan ketika mobil-mobil di depanku menurunkan kecepatan. Ternyata aku sampai di megaproyek Yogyakarta International Airport (YIA). Aku melaju pelan sembari melempar pandangan jauh ke bangunan yang kayaknya dari kejauhan sangat megah itu.
Sekelebat terlintas ingatanku akan sebuah masjid di ujung selatan sana, Masjid Al Hidayah namanya. Aku ingat, tiga tahun lalu aku pernah menumpang tidur di masjid itu. Tapi kabarnya, Masjid Al Hidayah sudah dirobohkan karena adanya pembangunan YIA. Masjid ini adalah bangunan terakhir yang dirobohkan, menyusul bangunan-bangunan lain yang sudah lebih dulu rata dengan tanah. Tapi ingatan itu segera berlalu, seiring motorku yang juga sudah berlalu meninggalkan area bandara.
ADVERTISEMENT
Tak lama, sebuah gerbang selamat datang di Provinsi Jawa Tengah menyambutku. Aku sudah siap-siap dengan jalan berlubang dan bergelombang seperti terakhir aku melewatinya. Tapi ternyata aku keliru, jalan memasuki wilayah Purworejo ternyata sudah mulus, bahkan lebih mulus ketimbang jalan di Kulon Progo tadi. Tak ada lagi lubang-lubang yang dulu kerap hampir menjadi penjemput mautku.
Memasuki wilayah Purworejo ternyata jenis pohon yang ditanam di pinggir jalan juga berubah, bukan lagi palem, melainkan pohon asem. Daunnya sangat rimbun dan hijau, aku seolah memasuki sebuah terowongan ke alam lain ketika melewati barisan pohon asem di kanan dan kiri jalan. Aku tak tahu, apakah pohon asem punya sejarah khusus dengan Purworejo. Yang aku tahu, pemandangan itu indah banget.
ADVERTISEMENT
Tapi keindahan itu terusik dengan sebuah pemandangan mengerikan, entah berapa bukit di sebelah utara jalan dikeruk nyaris habis. Aku berhenti, menganga melihat sebuah alat berat tengah mengeruk salah satu bukit. Belakangan aku tahu, bukit-bukit itu diratakan untuk menutup lahan tempat dibangunnya YIA di Kulon Progo yang aku lewati tadi.
Bukit yang ditambang untuk pengurukan bandara YIA. Foto : Widi Erha
Hatiku kalut, aku sedih, ingin marah rasanya, tapi tak tahu harus marah pada siapa. Tak mungkin aku marah pada operator alat berat itu, tak mungkin juga aku marah pada petugas kemanan yang terlihat sangat mengantuk ketika menjaga palang pintu masuk ke area proyek. Ah, aku tak tahu harus bagaimana.
Akhirnya aku berhenti di bawah pohon asem yang cukup besar. Aku nyalakan lagi sebatang tembakau dan kuhisap sembari melihat segala kengerian yang ada di depanku. Sial, semakin lama aku memandangnya, semakin hatiku rasanya teriris-iris.
ADVERTISEMENT
Aku teringat Pak Bambang di Lintang Panglipuran yang memutuskan untuk menghabiskan sisa usianya untuk mengabdi pada alam. Aku teringat pohon jenitri di rumah Pak Bambang, aku teringat beringin soekarno di Sanata Dharma, aku teringat randu alas UNY, aku teringat ribuan pohon yang binasa akibat proyek pembangunan ini. Aku melihat pohon-pohon di sana yang seolah melambai kepadaku dan berteriak, “tolong aku!”
Aku teringat hewan-hewan, ular, musang, bajing, burung, serangga, tikus, katak, capung, kupu-kupu, kelabang, kalajengking, dan semua hewan yang menjadi tunawisma karena rumahnya dihancurkan. Aku teringat berapa mata air yang akan mati setelah bukit-bukit ini diratakan. Aku teringat para pejabat yang sedang saling lempar tanggung jawab atas masalah banjir di Jakarta dan sekitarnya. Aku teringat para pakar dan ahli yang sedang berdebat tentang penyebab banjir. Dan aku melihat semua itu di depan mataku, sekarang. Aku patah hati, sepatah-patahnya.
ADVERTISEMENT
Langit ternyata mendung kembali. Semesta tampaknya mengerti apa yang aku rasakan. Hujan turun cukup deras, tapi pohon asem melindungiku. Hanya beberapa tetes saja yang tembus dan jatuh di lereng pipiku hingga banjir. Aku teringat kampung halamanku lagi, bagaimana nasibnya sekarang? (Widi Erha Pradana / YK-1)