Lamporan dari Blora, Memuja Tuhan dengan Menjaga Asal Muasal

Konten dari Pengguna
20 September 2019 5:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pukul lima sore, tokoh pemuda setempat Sri Purbo Harjono berkirim pesan whatsapp, “Obor telah disiapkan, Bung. Lu sampai mana.” Saya sudah mau sampai, jadi saya balas pesannya dengan sebuah gurauan, “Satu puisi saja tentang peristiwa malam ini maka aku akan sudah berada di Kunduran, bung !.”
ADVERTISEMENT
Purbo, lewat 30 tahun, bujang, lulusan arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), berprofesi sebagai arsitek di Jakarta, tapi sejak lebaran lalu ia terus saja mengabarkan hal-hal seputar desa asalnya, Kunduran, sebuah kecamatan 30 kilometer dari Blora menuju Surakarta. Saya mengenalnya melalui puisi, meski setahu saya Purbo tak serius menulis puisi, tak pernah menelurkan buku kumpulan puisi, tapi ia sering berkeliaran di forum-forum puisi atau sastra secara umum baik offline atau online atau halaman para penyair atau penulis di media sosial.
“Aku gelisah ama kampungku Bung. Pemudanya urban, termasuk aku. Saat pulang, kok rasanya ada sesuatu yang lowong di atiku. Semua tampak terekonomisasi, padahal kami, desa kami miskin, kering. Jadi, apa maknanya menjadi orang Kunduran, kalau ukurannya ekonomi semata?,” gerutunya suatu waktu melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang rumit memang. Pertanyaan khas penyair. Tapi dia arsitek yang bayarannya, sepertinya lumayan. Tapi dasar penyair, baiklah kita dengarkan.
Purbo tak balik ke Jakarta sejak lebaran. Pada Agustus lalu ia bersama beberapa pemuda setempat, sebagian lulusan universitas dari Yogya dan Solo, sebagian tamatan SMA setempat, mengawal agenda karnaval 17 Agustus menjadi lebih tertata. Ada lomba foto, ada media sosial, ada brand “Kunduran Pitulasan Carnaval,” ada pemaknaan atas peristiwa yang disebar melalui rilis pers yang berisi tak sekadar urutan kegiatan. Kala itu, Purbo menyebut Upacara Kebo Ketan, acara kultural yang diinisiasi oleh Bramantyo Prijosusilo di Ngawi, sebagai inspirasi.
Nah, pada Kamis (19/9) kemarin, Purbo bersama pemuda-pemuda kampung setempat, kembali menginisiasi Lamporan, sebuah upacara kampung yang telah dilupakan sebagian warga Kunduran, karena upacara yang sebenarnya dilakukan turun-temurun tiap bulan Suro ini, artinya setahun sekali, terakhir kali diadakan sudah sewindu lalu.
ADVERTISEMENT
Delapan menit setelah permintaan puisi saya, sebuah puisi atau prosa dengan pilihan kata yang indah, meluncur melalui saluran whatsapp.
Obor-obor telah disiapkan, dua tiga empat ditanam pada pagar keliling punden. Kelak menjadi batas antara yang gelap dan terang ; Yang mampu menuntun orang-orang sampai tujuan.
Beberapa orang hilir mudik membawa barongan, barongan anyar dari pasar, barongan tua warisan empu maha hebat : konon ada isi, isi ilmu kebahagiaan, isi ilmu kesempurnaan.
Nanti ia akan melintas di depan rumahmu. Artinya kamu beruntung. Siapkan wangi-wangian asli, dari bunga terbaik yang dibawa Jibril. Agar Kau selamat, seperti Ahmad.
Sip Bung. Aku Sampai.
Ritual Cah Angon
Sumber gambar Pixabay
Lamporan di Kelurahan Kunduran telah berlangsung lama, sepanjang ingatan para tetua desa. Tradisi ini diadakan setiap Bulan Suro dan masa lalu, Lamporan dilakukan oleh cah angon, anak kecil penggembala ternak, untuk menolak wabah penyakit dan mengusir makhluk halus yang mengganggu keamanan desa.
ADVERTISEMENT
Di Kunduran, masyarakat mengenal dua acara dalam lamporan. Yang pertama adalah lamporan yang diadakan di sawah-sawah di pinggiran desa. Dalam lamporan model ini, masyarakat melakukan semacam ‘perang’ api dengan masyarakat desa sebelah. Sebuah pertandingan saling lempar Ndaru, kepal dari tanah liat dan daun kelapa yang dibakar, yang kemudian diakhiri dengan rangkulan persaudaraan. Yang kedua, upacara lamporan dengan menggunakan obor dan arak-arakan barongan yang dilakukan oleh anak-anak kecil, yang dulu dilakukan oleh bocah-bocah angon, para penggembala ternak. Prosesi ini diadakan di dalam desa dengan mengambil rute jalan-jalan tepian desa. Diadakan dua kali dalam dua malam Jum’at yang berbeda.
“Mengingat lamporan adalah sebuah ritual yang sakral, maka dalam prosesi pun ada syarat-syarat tertentu yang diberlakukan. Seperti rute atau jalur yang ditempuh . Titik mula dan akhir pemberangkatan adalah punden desa, yaitu Asem Gede, lalu berkeliling desa, dengan diselingi pemberhentian sementara di tiap perempatan atau pertigaan besar. Ada doa yang kudu dipanjatakan pada tiap jeda tersebut,” papar Purbo.
ADVERTISEMENT
Obor dan barongan pun terikat aturan. Obor yang dipakai pada Kamis (19/9) malam bukanlah sembarang obor. Obor semalam adalah obor yang telah dipakai pada malam Lamporan sepekan lalu. Barongan, untuk menuju lokasi pemberangkatan, tidak boleh barongan yang aktif atau sudah dimainkan. Barongan harus pasif, digulung-tidak dimainkan, baru dimainkan di arakan dan kembali digulung ketika hendak pulang, setelah arak-arakan usai.
Ratusan warga Kelurahan Kunduran Kecamatan Kunduran, pada malam Jumat itu tumpah ruah di sepanjang rute Lamporan sejauh 4 Kilometer mengelilingi desa. Anak-anak pembawa obor dan barongan, tak tampak lelah dan haus sebab hampir sebagian besar warga mengeluarkan minuman dan hidangan kecil di depan rumahnya untuk disantap oleh para peserta Lamporan.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah warga mengindahkan himbauan kita untuk mensuport minum dan hidangan ala kadarnya,” kata Wahyudi, salah satu panitia lamporan.
Wahyudi bercerita, melaksanakan lamporan bukannya tanpa halangan. Ada beberapa warga dengan keyakinan Islam tertentu menganggap bahwa memberi sesaji di pohon Asem Gedhe yang jadi punden (tempat suci) adalah tindakan syirik.
Purbo menimpali,”memang kita harus bijak melihatnya. Jangan juga membenci keyakinan yang berbeda. Kalau bagi kita, aneh saja kalau minta-minta atau nyembah pohon sebab sesaji ini kan hanya symbol.”
Pohon dan Ternak, Ekspresi Tuhan
Warga memadati ritual di Punden pohon Asem Gedhe di Kunduran Blora
Purbo anak seorang dalang dan sinden, jadi saya dengarkan bagaimana dia mendongeng tentang makna-makna di balik upacara Lamporan.
Cah angon sebagai pelaksana upacara lamporan, pembawa obor keliling desa, menurut Purbo, adalah subjek utama dari upacara lamporan. Mereka, anak-anak kecil itu, adalah penerus utama dunia agraris. Angon ternak adalah peristiwa kerja, produksi, tapi sekaligus main-main. Berbeda dengan definisi kerja era modern, anak kecil yang bekerja adalah eksploitasi anak. Padahal di dunia agraris, pergi ke sawah menggembala ternak, bagi anak-anak, adalah main-main.
ADVERTISEMENT
“Hewan ternak bagi orang dewasa adalah komoditi tapi bagi anak-anak mereka adalah kawan main. Ingat kan gambar cah angon di atas kerbau sambil meniup seruling, betapa damainya dunia mereka,” kata Purbo.
Jadi, cah angon sebagai subjek, menurut Purbo, membawa percakapan panjang tentang dunia agraris seisinya. Tentang kerja, tentang suka gembira saat panen, tentang duka saat gagal panen dan matinya ternak karena hama, tapi juga memberi arti penting bagi regenerasi. Dalam peristiwa Lamporan, anak-anak lah yang bisa mengusir kesialan dan melawan wabah penyakit yang menyerang desa. Artinya, menurut Purbo, berilah kesempatan anak-anak untuk mengalami dunia anak dengan seluas-luasnya karena anak-anak yang tumbuh kembangnya masih bersentuhan dengan alam dengan riang gembira, dialah yang bisa menyelamatkan orang dewasa.
ADVERTISEMENT
“Dalam dunia modern hari ini anak-anak sering kehilangan intuisinya, kegembiraannya, apalagi sentuhannya dengan alam. Mereka dikurung oleh ruang kelas, hapalan ngaji, dan game atau youtube,” jelas Purbo.
Bambu sebagai alat utama Lamporan, adalah kegelisahan utama Purbo sebagai arsitek. Bambu telah banyak dilupakan oleh masyarakat desa. Semua diganti semen dan besi. Padahal semuanya didatangkan dari kota, dari pabrik, bahkan diimpor dari China. Bambu, masyarakat bisa menanamnya sendiri, menguatkannya dengan merendamnya di sungai.
Sedangkan pohon sebagai punden, Purbo tegas mengatakan bahwa percaya pada Allah tapi membenci pohon adalah tanda ketuhanan yang lahir dari hapalan semata dan bukan pemahaman akan siapa yang membikin hidup. Benar bahwa semuanya dibuat oleh Tuhan dan kita hidup karena belas kasih Allah. Tapi, Allah memberikan semuanya melalui banyak perantara yang bisa dilihat dan diraba dengan jelas. Manusia bisa hidup karena bernafas, minum air, dan makan. Oksigen, air, dan makanan, semua dihasilkan oleh pohon.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau pohon tak lagi dianggap penting itu justru tanda kita tidak mengenal Allah. Seolah-olah Allah itu langsung memasukkan oksigen ke paru-paru kita, memasukkan makanan ke perut kita, padahal kan tidak. Semua ada prosesnya, dan jelas di depan mata,” kata Purbo yang menyebut Tuhan dan Allah dan Allah subhanahuwata’ala secara berganti-ganti.
Pelupaan terhadap ekspresi Allah di muka bumi, menurut Purbo adalah kecenderungan dari cara beragama modern, tidak saja Islam tapi juga oleh banyak agama lain, yang melihat agama hanya pada aspek ritualnya saja. Sholat, ke gereja, memakai symbol-simbol agama dalam kehidupan sehari-hari, tapi justru melupakan kehadiran Tuhan di muka bumi setiap hari.
“Modernitas membuat kita bisa seolah-olah makan tanpa kehadiran tanaman dan hewan di sekitar kita karena semuanya bisa dibeli pakai uang. Ingat, di Kunduran yang kekeringan ini, kalau kita tidak menjaga pohon, suatu hari pasti akan kering kerontang. Mau mengandalkan air kemasan ? itulah syirik modern, lebih percaya pada pabrik ketimbang buatan langsung Allah, yakni tumbuhan dan binatang,” jelas Purbo.
ADVERTISEMENT
Di Kunduran, tak hanya pohon yang diganti beton, ternak juga pelan-pelan menghilang, apalagi cah angon, karenanya, pelaksana lamporan juga banyak dilakukan para pemuda, ketimbang anak-anak. Ekonomi agraris tak lagi menjanjikan sedang mengejar ekonomi kota bukan hal yang gampang. Hutan jati Kunduran seperti jadi penanda perbatasan, antara kisah lama dan kisah baru warga Kunduran yang menanti di depan. Malam telah larut, Lamporan membawa kenangan orang-orang tua Kunduran pada Lamporan di masa kecil mereka. Wajah-wajah gembira karena mereka merasakan keguyuban warga yang luar biasa.
“Tolong ikut membantu pemuda Kunduran menjaga tradisi Lamporan ya Mas,” kata salah satu orang tua Kunduran yang enggan menyebutkan namanya.
Baik Pak, jawab saya. (Anasiyah Kiblatovski)
ADVERTISEMENT