Ledakan Limbah Medis COVID-19 Ancam Keselamatan Masyarakat

Konten dari Pengguna
15 Juli 2020 19:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi limbah medis. Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi limbah medis. Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 menyisakan persoalan serius, yakni membludaknya limbah medis. Data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan, sejak November 2019 sampai Maret 2020 saja, limbah alat pelindung diri (APD) naik nyaris 10 kali lipat. Pada November 2019, jumlah limbah APD yang diolah di insinerator (alat pembakar sampah) tiap hanya 60 kilogram, sementara pada Maret 2020 sudah mencapai 500 kilogram.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, limbah medis yang diolah di insinerator pada November 2019 hanya sebesar 2.159 kilogram, dan pada Maret 2020 naik hampir dua kali lipat di angka 4.000 kilogram. Dan diperkirakan sampai saat ini jumlah limbah medis yang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) angkanya terus membesar.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imral Agus Nurali mengatakan peningkatan limbah medis ini diakibatkan beberapa faktor utama, di antaranya karena jumlah pasien positif, PDP, maupun ODP terus meningkat setiap hari. Selain itu, sebaran kasus juga sudah terjadi di hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, yakni mencapai 461 kabupaten dan kota. Akibatnya, peningkatan limbah medis dari fasyankes pun tidak bisa dihindarkan.
Imral Agus juga mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian serius dalam persoalan limbah COVID-19, di antaranya timbulan limbah COVID-19 yang sangat bervariasi dan semakin banyak. Kemudian keterbatasan fasilitas pengolah di daerah yang tidak seimbang dengan jumlah fasyankes yang ada.
ADVERTISEMENT
“Kemudian ada transporter yang tidak mau mengangkut limbah COVID-19, sehingga menumpuk dalam waktu lama,” ujar Imral Agus dalam seminar daring yang diadakan oleh Direktorat Kesehatan Lingkungan Kemenkes, Rabu (15/7).
Regulasi mengatur limbah medis karena limbah ini dampaknya sangat buruk pada lingkungan dan kesehatan. Terlebih di tengah pandemi, limbah-limbah infeksius sangat berpotensi menyebarkan penyakit jika limbah tidak diolah secara tepat. Ledakan jumlah limbah infeksius jelas sangat mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Pengolahan Limbah Masih Bergantung pada Pihak Ketiga
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imral Agus Nurali. Foto: Widi Erha.
Dari 12.893 fasyankes baik puskesmas maupun rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia, sampai saat ini hanya 1.279 fasyankes yang bisa mengolah limbahnya sendiri sesuai standar. Artinya baru 9,97 persen fasyankes di Indonesia yang sudah bisa mengolah limbahnya sendiri, sementara sisanya masih bergantung pada pihak ketiga. Jumlah ini masih sangat jauh dari target Kemenkes yang menargetkan 2.600 fasyankes sudah bisa mengolah limbah medisnya sendiri pada 2020.
ADVERTISEMENT
Di Provinsi Riau, 70 persen dari seluruh limbah medis merupakan limbah COVID-19, dan 100 persen limbah COVID-19 tersebut harus diolah oleh pihak ketiga. Di Kalimantan Utara, dimana 20 persen limbah medis yang dihasilkan merupakan limbah COVID-19, hanya 1 persen limbah COVID-19 yang bisa diolah secara mandiri oleh fasyankes. Di Jawa Barat, 77 persen limbah COVID-19 masih diolah oleh pihak ketiga, dan di Jawa Tengah hanya 4 persen limbah COVID-19 yang bisa diolah secara mandiri.
“Jadi memang kita lihat bagaimana ketergantungan dengan pihak ketiga,” kata Imral Agus.
Sebaran perusahaan pengolahan limbah B3 medis juga tidak merata, dari 14 perusahaan, 11 ada di Jawa, tepatnya dua di Banten, tujuh di Jawa Barat, serta di Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing ada satu perusahaan.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak tahu yang di Aceh, yang di Papua, di Sulawesi Utara, Maluku Utara, itu mengirimnya harus ke arah sini (Jawa) yang relatif jaraknya jadi lebih jauh jadi biayanya jadi lebih mahal,” lanjutnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, karena jaraknya yang jauh maka potensi terjadinya pelanggaran semakin besar, misalnya limbah dibuang di tengah jalan atau dijual. Imral Agus tidak mempersoalkan pelibatan pihak ketiga dalam pengolahan limbah medis, termasuk limbah COVID-19. Asalkan, fasyankes memiliki nilai tawar dalam kontrak kerja sama dengan pihak ketiga tersebut.
Misalnya, fasyankes harus meminta bukti pembakaran limbah kepada pihak ketiga. Untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak ketiga, misalnya penjualan lagi limbah medis, ketika mengeluarkan limbah-limbah tajam atau plastik seperti botol infus, fasyankes juga perlu mencacahnya lebih dulu.
ADVERTISEMENT
“Saya pesan dua hal, dalam MoU harus minta bukti bakarnya. Kemudian yang kedua sudah dicacah dulu sebelum dipihakketigakan maupun diolah sendiri,” ujarnya.
Penanganan Limbah Medis di Masa Pandemi
Aristin Tri Apriani dari Direktorat Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 KLHK . Foto: Widi Erha
Aristin Tri Apriani dari Direktorat Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 KLHK mengatakan bahwa ada tiga prinsip dalam pengelolaan limbah B3. Prinsip itu di antaranya penghasil limbah harus bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan, kedua pengelolaan limbah B3 dilakukan sebisa mungkin dekat dengan sumber limbah, serta pencegahan pencemaran mulai dari limbah itu dihasilkan sampai ditimbun.
Dalam situasi darurat pandemi, pengelolaan limbah infeksius menurut Aristin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengelolaan limbah medis biasanya. Untuk proses pengemasan, limbah harus dipilah sesuai jenisnya kemudian dilakukan penyemprotan dengan desinfektan sebelum diikat. Karena merupakan limbah infeksius, untuk membedakan maka kantong yang digunakan untuk membungkus diusahakan berwarna kuning dan tertutup.
ADVERTISEMENT
“Kalau terpaksa tidak ada (plastik kuning), maka bisa menggunakan warna lain asal diberi simbol infeksius. Jika simbol infeksius tidak punya maka bisa dituliskan limbah infeksius, limbah COVID dan sebagainya,” ujar Aristin Tri Apriani.
Limbah infeksius juga harus disimpan di tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3. Namun jika fasyankes belum punya izin TPS, maka bisa disimpan dalam gedung khusus supaya pengelolaan limbah infeksius bisa dikendalikan oleh fasyankes bersangkutan. Hal itu bertujuan supaya limbah infeksius terkumpul dalam satu titik, tidak tersebar di setiap sudut fasyankes. Kemudian masa penyimpanan limbah B3 maksimal adalah 2 x 24 jam.
Pengangkutan limbah infeksius harus dilakukan menggunakan angkutan yang tertutup serta harus dilakukan penyemprotan desinfektan terhadap kemasan limbah maupun alat angkut. Sedangkan untuk proses pengolahan atau pemusnahan, sebisa mungkin dilakukan di lokasi terdekat. Pemusnahan dilakukan menggunakan insinerator dengan suhu 800 derajat celcius atau menggunakan autoclave yang dilengkapi shredder (mesin penghancur). (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT