Logika di Balik Dorongan Kebun Binatang Boleh Menjual Satwa Liar Dilindungi

Konten dari Pengguna
10 Juli 2020 10:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi harimau. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi harimau. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kebun binatang menjadi salah satu titik utama habitat satwa liar di kawasan kota. Sayangnya pengelolaan kebun binatang di Indonesia masih jauh dari ideal, sehingga satwa-satwa liar yang ada di dalamnya justru seringkali telantar.
ADVERTISEMENT
GBPH Prabukusumo, putra Sri Sultan HB IX yang juga seorang pencinta satwa mengatakan inti dari kebun binatang adalah bagaimana menyediakan kandang yang nyaman, pakan yang baik, serta infrastruktur yang nyaman bagi pengunjung.
Namun yang menjadi persoalan, hampir semua kebun binatang di Indonesia hanya menggantungkan biaya operasionalnya pada penjualan tiket kepada pengunjung. Akibatnya, dari 58 kebun binatang di seluruh Indonesia hanya empat yang masuk kategori baik.
“Walaupun di situ ada unsur harus diternak, sebagai tempat konservasi, tempat penelitian, tempat wisata, dan tentu saja dikelola secara ekonomi, tapi kalau pendapatannya hanya dari tiket saja saya rasa tidak akan cukup untuk memenuhi asupan-asupan makanan yang cukup bergizi bagi hewan-hewan satwanya yang ada di kebun binatang,” ujar GBPH Prabukusumo dalam seminar daring yang diselenggarakan Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (9/7).
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi persoalan itu, GBPH Prabukusumo mengatakan bahwa semestinya kebun binatang diberikan hak untuk menjual koleksinya. Aturan yang ada saat ini, kebun binatang hanya boleh melakukan barter. Sementara praktik barter dinilai tidak jelas penentuan nilai tiap satwa.
Karena tidak boleh menjual koleksinya, maka kebun binatang akan berpikir berulang kali untuk menernakan koleksi satwanya. Sebab, semakin banyak koleksi satwa yang dimiliki, artinya biaya operasional yang harus dikeluarkan juga semakin besar. Misal jika kebun binatang akan mengembangbiakkan singa, harimau, komodo, dan sebagainya, mereka harus berpikir ulang karena satu ekor saja bisa menghabiskan biaya besar dalam sehari. Sementara sumber pendapatan hanya didapatkan dari tiket penjualan saja.
“Dengan kebun binatang bisa melakukan penjualan, ini akan menambah income. Kalau ini bisa dijual, kebun binatang pasti akan menernak, jadi konservasinya itu ada,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, ketika sumber pendapatan hanya berasal dari tiket pengunjung saja, kebun binatang memilih untuk tidak menernak koleksinya karena khawatir malah akan kewalahan untuk mengurusnya. Sehingga satwa di dalam kebun binatang tidak lebih hanya menunggu mati saja.
“Itu kan dosa, aturan itu membuat dosa, tidak berperikehewanan kalau menurut saya. Kita harus berada pada prinsip-prinsip realitas,” ujarnya menegaskan.
Tidak Semua Satwa di Kebun Binatang Dikembangbiakkan
Manajer Konservasi Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka, Josephine Vanda Tirtayani mengatakan peran kebun binatang memang bukan sekadar sebagai tempat rekreasi, tapi juga ada fungsi edukasi, konservasi, dan penelitian. Karena itu, sebuah kebun binatang yang baik harus bisa menerapkan perawatan yang berbasis pada kesejahteraan satwa, menjadi tempat edukasi dan riset, pengembangbiakkan atau breeding yang terkontrol dan melakukan perencanaan koleksi, serta bisa memberikan andil terhadap perkembangan satwa di habitat aslinya.
ADVERTISEMENT
Fungsi modern kebun binatang, kata Vanda harus bisa menjadi tempat edukasi dan penelitian. Untuk mewujudkan fungsi ini, Kebun Binatang Gembira Loka menurutnya telah menjalin kerja sama dengan sejumlah institusi seperti UGM dan lembaga-lembaga konservasi satwa liar lain.
Terkait dengan pengembangbiakan atau breeding satwa, Vanda mengatakan bahwa upaya ini harus dilakukan secara terkontrol. Artinya dikembangbiakan atau tidak setiap individu harus ada perencanaan yang jelas dan terukur.
“Memang tidak semua satwa di kebun binatang untuk di-breeding-kan,” ujar Vanda di kesempatan yang sama.
Kesuksesan sebuah kebun binatang menurutnya tidak bisa hanya dilihat dari keberhasilannya mengembangbiakan koleksi satwanya saja. Yang paling penting menurutnya justru bagaimana lembaga konservasi eks-situ seperti kebun binatang dapat memberikan andil terhadap kelestarian satwa di habitat aslinya.
ADVERTISEMENT
“Caranya bisa dilakukan dengan banyak hal yang memang dasarnya kembali lagi dengan perawatan yang baik, tempat edukasi dan riset, dan juga breeding terkontrol di mana menjadi potensi juga satwa-satwa yang di-breeding-kan di lembaga konservasi bisa berpotensi untuk dilepasliarkan,” ujarnya.
Pencinta Satwa Pelestari Sejati
Mendagri menyerahkan koleksi kulit satwa liar dari warga kepada BKSDA. Foto: Pro Fauna.
GBPH Prabukusumo mengatakan bahwa para pencinta satwa liar, bahkan yang memelihara satwa dilindungi pun tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Dalam konteks tertentu, dia justru mengatakan para pencinta satwa ini adalah pelestari sejati.
Pelestarian satwa liar kata dia tidak bisa hanya dilakukan di habitat aslinya saja, tapi juga di luar habitat, salah satunya melalui para pencinta atau penggemar satwa. Meski di setiap provinsi ada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), nyatanya tidak ada peningkatan populasi satwa-satwa tertentu secara signifikan. Kendati demikian, tidak bisa juga menyalahkan sepenuhnya petugas BKSDA, sebab mereka memang digaji bukan atas dasar kecintaannya terhadap satwa.
ADVERTISEMENT
“Berbeda dengan pencinta, penggemar, pelestari satwa. Karena mereka mengelola satwa itu dengan hati,” kata GBPH Prabukusumo.
Dia mengatakan, pelestarian satwa di luar habitatnya dengan diternakan sama pentingnya dengan pelestarian secara insitusi. Prabukusumo mencontohkan bagaimana upaya pelestarian jalak Bali dalam sepuluh tahun terakhir oleh para pencinta burung. Dulu, jalak Bali yang sempat nyaris punah, sekarang jumlahnya sudah melimpah berkat para pencinta burung yang membudidayakannya secara mandiri.
“Kalau dulu peternak itu disita, mungkin sekarang sudah punah. Sekarang mau cari jalak Bali 1 juta ekor juga ada,” ujarnya.
Kendati demikian, bukan berarti semua orang dibebaskan memelihara satwa liar. Pemerintah kata Prabukusumo harus membuat aturan-aturan untuk pemeliharaan satwa liar, terutama satwa-satwa yang sudah langka.
ADVERTISEMENT
Konservasi tidak Sekadar Masalah Ekologi
Senada dengan GBPH Prabukusumo, Guru Besar Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM, Satyawan Pudyatmoko juga mengatakan bahwa kedudukan para penangkar satwa liar seharusnya diletakkan dalam kedudukan yang terhormat di dalam upaya konservasi.
“Karena mereka sebenarnya adalah konservasionis sejati,” ujar Satyawan Pudyatmoko.
Punahnya harimau Jawa merupakan pengalaman buruk dunia konservasi kita. Jika saja dulu ada yang menangkarkan harimau Jawa, seperti orang-orang menangkarkan jalak Bali, bukan tidak mungkin harimau Jawa masih bertahan sampai sekarang bahkan terlepas dari ancaman kepunahan.
Pendekatan in-situ dan eks-situ, kata Satyawan harus berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam upaya konservasi satwa liar. Pasalnya, pendekatan in-situ menghadapi ancaman serius seperti perburuan liar dan kerusakan habitat. Akibatnya, satwa liar di habitat aslinya sulit sekali mengalami peningkatan populasi meski sudah dilakukan pelepasliaran berkali-kali.
ADVERTISEMENT
“Misalnya tadi jalak Bali, di Taman Nasional Bali Barat itu jumlahnya kecil meskipun secara reguler diadakan pelepasliaran. Lalu yang di eks-situ itu jumlahnya luar biasa banyaknya,” lanjutnya.
Kondisi ini menurutnya harus saling melengkapi, bahwa penangkaran seharusnya menjadi bagian dari upaya konservasi eks-situ. Namun yang terjadi saat ini, para penangkar satwa liar masih banyak yang belum memiliki izin, terutama penangkar-penangkar kecil.
Apalagi jika melihat tingkat perdagangan satwa liar ilegal, baik di lingkup nasional maupun internasional sampai sekarang masih sangat tinggi. Hal ini menurut Satyawan perlu dibuatkan regulasinya, selain untuk mengurangi tingkat perdagangan satwa ilegal juga untuk membantu upaya konservasi melalui para penangkar.
“Sehigga satwa liar itu selain sebagai satu kekayaan spesies juga bisa menjadi suatu kekayaan ekonomi," kata Setyawan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT