Makna Tradisi Tawaf saat Malam Satu Sura

Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 13:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: akun resmi media sosial Pura Pakualaman
zoom-in-whitePerbesar
Foto: akun resmi media sosial Pura Pakualaman
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tradisi mengitari benteng saat malam satu suro tidak lain adalah ritual tawaf yang memang merupakan tradisi yang sudah sangat tua dan dijalani oleh hampir semua agama. Dalam dunia spiritual, ada dua dua metode berjalan melingkar, yakni melawan arah jarum jam dan searah jarum jam.
ADVERTISEMENT
Dalam ajaran Hindu dan Budha, berjalan melingkar melawan arah jarum jam disebut prasawiya, sementara mengikuti arah jarum jam disebut pradaksina. Prasawiya dilakukan untuk membangun hubungan vertikal dengan Tuhan, sementara pradaksina ditujukan untuk membentuk moralitas.
“Itu mengapa candi-candi pradaksina, yang pembacaan reliefnya searah jarum jam, ikon-ikonnya pasti manusia. Tapi kalau candi prasawiya, ikonnya pasti dewa-dewa. Tradisi Islam juga sangat kental dengan tawaf yang dilakukan ketika naik haji, ini mohon tanya kepada yang pakar Islam biar tidak keliru,” demikian kata spritulialis Jawa, Hangno Hartono ketika ditemui saat pembukaan galeri wayangnya di daerah Pajangan, Bantul, Rabu (19/8).
Pada malam satu suro ini, metode berjalan melingkar adalah dengan melawan arah jarum jam atau prasawiya. Sebab, perayaan suro ini memang ditujukan untuk membangun hubungan ilahiah antara manusia dengan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya malam satu suro kerap diidentikkan dengan hal-hal mistik dan klenik yang irasional. Ada kecurigaan, bahwa ada pihak yang sengaja membangun stigma tersebut untuk mendiskreditkan budaya Jawa. Ini merupakan cara-cara yang biasa dilakukan kolonial untuk melakukan penguasaan terhadap bangsa lain. Selain itu, stigma-stigma mistik yang kerap dilekatkan pada malam satu suro juga merupakan upaya peyoratif atau penyempitan makna terhadap budaya tersebut sehingga makna yang sebenarnya menjadi kabur.
“Supaya generasi berikutnya itu takut, tidak maju, terasing dari identitasnya sendiri. Sehingga mitos-mitos itu sengaja diciptakan untuk menjauhkan bangsa dari kulturalnya,” ujar Hangno.
Ketika masyarakat telah diputus dari ajaran-ajaran leluhurnya, maka dia mereka akan kehilangan identitas dan jati dirinya. Sehingga mereka akan menjadi bangsa yang tidak percaya diri atau minderan.
ADVERTISEMENT
Jamasan, Mencuci Benda Pusaka yang Mengasyikan
Salah satu pegiat budaya Syafaad Noor Rahman menunjukkan ukiran basmalah pada kerangka keris Pangeran Diponegoro. Foto: Istimewa.
Salah satu tradisi yang unik dilakukan ketika bulan suro adalah jamasan atau mencuci benda-benda pusaka seperti keris atau tombak. Menurut Hangno, jamasan juga termasuk upaya mengapresiasi budaya yang dimiliki.
“Ketika kita membersihkan itu kita merasakan ada semacam kebanggaan terhadap budaya kita,” kata Hangno.
Mencuci benda pusaka bersama kawan-kawan lain juga merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Namun lagi-lagi, tradisi ini kerap dikait-kaitkan dengan hal-hal ang irasional seperti klenik. Padahal, mereka pada dasarnya sama dengan para penghobi lain, misalnya para penghobi mancing, kolektor tanaman hias, penghobi motor atau sepeda, dan sebagainya.
“Ada momen, waktu yang sama untuk membersihkan pusaka, itu menyenangkan. Jadi sebenarnya sama saja kayak orang-orang hobi mancing, terus mancing bareng kan menyenangkan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Stigma-stigma klenik yang kerap dilekatkan pada tradisi jamasan ini kata Hangno juga tidak lain merupakan upaya mendiskreditkan budaya. Makna yang sebenarnya sengaja dibuat kabur, supaya budaya tersebut pelan-pelan mati dan orang Jawa tidak mengenal lagi jati dirinya. (Widi Erha Pradana / YK-1)