Melihat Proses Bird Banding di Yogyakarta

Konten dari Pengguna
25 Desember 2019 19:34 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemasangan cincin dilakukan dengan sangat hati-hati sesuai ukuran kaki burung. Foto : Maya Puspitasari
zoom-in-whitePerbesar
Pemasangan cincin dilakukan dengan sangat hati-hati sesuai ukuran kaki burung. Foto : Maya Puspitasari
ADVERTISEMENT
Sore itu hujan deras mengguyur Yogyakarta. Ribuan burung layang-layang asia yang siang tadi menyebar, berkelana mencari makan ke berbagai tempat, mulai pulang ke tempat peristirahatan mereka di tengah guyuran hujan yang tak kunjung reda. Burung migrasi yang jumlahnya ratusan ribu itu ketika malam akan istirahat di daerah Gondomanan, di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo, Belakang Pasar Beringharjo, dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Ras ini kemungkinan dari Rusia, sebagian sampai ke Indonesia dan sebagian ada yang langsung ke Australia,” kata Pakar Burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Pramana Yuda, Minggu (22/12) sore.
Saat itu, Pramana Yuda dan beberapa pengamat burung dari sejumlah universitas yang tergabung dalam Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) tengah mengamati burung layang-layang asia yang sedang sibuk-sibuknya mencari tempat istirahat di kabel, pepohonan, atau gedung-gedung belakang Pasar Beringharjo.
Para pengamat burung itu memiliki sebuah misi, yakni melakukan penandaan terhadap burung layang-layang Asia itu. Penandaan ini dilakukan dengan memberikan cincin di kaki burung atau secara ilmiah disebut sebagai bird banding.
“Itu cincinnya adalah cincin logam, ada nomor serinya, satu burung satu nomor. Itu mengindikasikan identitas individu itu,” lanjut Pramana.
ADVERTISEMENT
Cincin yang dipasang bukan sembarang cincin, di Indonesia, hanya cincin yang dikeluarkan oleh LIPI yang boleh digunakan untuk menandai burung. Karena merupakan jenis burung migran, dengan adanya penandaan seperti ini, nantinya ketika ada peneliti dari belahan bumi lain yang menangkapnya akan tahu daerah distribusi burung layang-layang asia sampai mana saja.
“Dari penandaan ini, salah satunya nanti kita tahu daerah distribusinya sampai mana, migrasinya sampai mana,” ujarnya.
Bukan Sekadar Menandai
Burung layang asia sedang berusaha dilepaskan dari jaring perangkap. Foto : Maya Puspitasari
Hujan yang cukup deras sempat menunda proses penandaan burung layang-layang Asia. Baru selepas maghrib, ketika hujan mulai reda, proses penangkapan burung untuk ditandai dimulai. Jaring dibentangkan menggunakan tongkat sepanjang tujuh meter. Salah seorang peneliti mulai menggiring burung-burung itu menggunakan tongkat panjang untuk masuk ke perangkap jaring yang sudah disiapkan.
ADVERTISEMENT
Meski jumlahnya sangat banyak, namun ternyata menangkap burung layang-layang asia tak semudah yang dibayangkan. Burung pertama bisa ditangkap sekitar 20 menit usai para peneliti membentangkan jaring.
“Memang tidak mudah menangkap burung-burung ini, karena tinggi kan. Kalau di tempat aslinya, burung ini relatif lebih mudah ditangkap, mereka bisa ditangkap di sarangnya. Atau di beberapa negara ada stasiun permanen untuk banding, di sana keberhasilan menangkap burung tentu lebih tinggi, kalau kita memang belum,” kata Pramana.
Proses penandaan tak hanya memasang cincin di kaki burung, ada beberapa hal terkait burung layang-layang asia yang didata. Salah satunya adalah pendataan morfometrik, yakni ukuran tubuh burung. Beberapa hal yang diukur seperti berat badan, panjang kepala dan paruh, panjang sayap, ekor, usia, jenis kelamin, hingga peluruhan bulu-bulu primer pada burung.
ADVERTISEMENT
Kaki kanan layang-layang asia dipasangi cincin resmi yang dikeluarkan oleh LIPI, sementara kaki kiri dipasang cincin berwarna tanpa nomor berwarna merah.
“Sebagai tanda kalau yang warna merah ini ditangkapnya di sini (di Jogja),” ujar salah seorang peneliti lain, Zulkarnain Asshidiqie yang tengah sibuk memasang cincin di kaki seekor layang-layang asia.
Beberapa dari mereka juga tampak sibuk meneliti keberadaan parasit yang ada pada tubuh burung. Ada dua jenis parasit yang diteliti, yakni ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar tubuh burung tersebut, misalnya kutu, ceplak, atau tungau. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh si burung.
Untuk meneliti endoparasit, para peneliti harus mengambil sampel darah burung. Sayangnya darah burung layang-layang asia sangat cepat menggumpal, sehingga penelitian ini belum bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Penelitian tentang parasit pada burung layang-layang asia ini baru pertama kali dilakukan. Kalau di luar (negeri) mungkin sudah ada ya, tapi kalau di sini baru kali ini,” kata Janu Sambada, peneliti lain yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Total pada hari pertama pencincinan pada Sabtu (21/12) ada 8 burung yang berhasil diberi cincin. Dan pada hari Minggu (22/12) ada 12 burung yang diberi cincin. Dengan jumlah cincin yang masih sangat sedikit, peneliti di Rusia atau di negara-negara lain butuh keberuntungan yang sangat besar untuk menangkap burung yang sudah diberi cincin ini.
Pramana mengatakan, ada cincin berteknologi GPS yang di beberapa negara maju sudah digunakan dalam bird banding. Namun karena harganya masih sangat mahal, peneliti di Jogja dan Indonesia pada umumnya belum bisa menggunakan.
ADVERTISEMENT
"Satu cincinnya masih puluhan euro," kata Pramana.
Bagaimana Mereka Terbang Ribuan Kilometer
Jaring lebar sedang berusaha didirikan untuk menjerat burung layang asia. Foto : Maya Puspitasari
Agak mustahil ketika membayangkan bagaimana burung layang-layang dengan tubuh dan sayap kecilnya terbang dari Rusia sampai Yogyakarta yang jaraknya nyaris 8.000 kilometer. Mereka harus melewati hujan, badai, dan terik matahari di atas samudera.
“Burung-burung migran itu ada yang memanfaatkan kolom udara di atas, biasanya burung-burung raptor. Burung-burung kecil seperti layang-layang asia kemungkinan juga hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya seperti raptor yang tinggi sekali,” kata Pramana.
Burung-burung migran, tak terkecuali layang-layang asia ini biasanya memanfaatkan arah angin, memanfaatkan energi di alam untuk mempermudah proses migrasinya. Burung layang-layang asia yang ada di Yogyakarta, kemungkinan bermigrasi melalui jalur pesisir atau darat, bukan jalur laut.
ADVERTISEMENT
Belum diketahui secara pasti, apakah layang-layang asia bermigrasi secara langsung dari tempat aslinya atau sempat berhenti di suatu tempat untuk istirahat. Tujuan akhirnya pun belum diketahui pasti, apakah Indonesia merupakan tujuan akhir atau nantinya mereka akan melanjutkan proses migrasi sampai ke Australia.
Proses migrasi adalah proses evolusi yang telah berjalan cukup lama. Ketika musim dingin, burung di belahan bumi utara punya dua pilihan, menetap di tempat asalnya dengan sumber daya yang terbatas atau pindah ke tempat dengan sumber daya yang lebih besar.
“Tampaknya layang-layang ini memilih untuk migrasi, dan ketika di sana musim sudah baik, dia akan kembali lagi. Dan ini menjadi siklus tahunan,” lanjutnya.
Sayangnya, belum ada kajian berapa lama burung-burung migran ini mulai mengembangkan evolusi atau perilaku untuk berpindah tempat. Ada asumsi siklus migrasi tahunan ini sudah dimulai sejak bumi ini mengalami perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
“Proses-proses itu saya kira bukan ribuan tahun, tapi sudah sejak jutaan tahun yang lalu,” ujar Pramana.
Pakar Burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Pramana Yuda (kanan) bersama dua peminat pengamat burung junior Jogja, Naira dan Aqila. Foto : Maya Puspitasari
Secara nasional, burung layang-layang asia memang bukan termasuk satwa yang dilindungi. Tetapi karena termasuk burung migran, burung ini dilindungi oleh konvensi internasional.
Masyarakat kerap mengeluhkan banyaknya kotoran burung layang-layang asia, terutama karena menimbulkan bau tak sedap. Namun yang perlu diketahui, burung layang-layang sebenarnya memberikan manfaat besar untuk manusia. Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, mangsa utama burung layang-layang asia adalah berbagai jenis serangga.
“Beberapa serangga yang dimakan oleh burung ini adalah termasuk serangga-serangga yang berpotensi menjadi hama. Jadi sebenarnya kedatangan mereka di sini termasuk salah satu agen yang membantu untuk mengontrol populasi serangga,” kata Pramana. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT