Memahami Rasa Marah Publik pada Pelanggar Aturan Pembatasan Sosial

Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 10:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggota TNI AD bersama Satpol PP Kota Bogor mengatur arus lalu lintas di kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Anggota TNI AD bersama Satpol PP Kota Bogor mengatur arus lalu lintas di kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
ADVERTISEMENT
Tahun ini menyebalkan. Hampir seluruh penghuni bumi sepakat dengan itu. Pandemi memaksa orang-orang yang biasa kelayapan untuk berada di rumah, mereka yang biasanya tidak berada di rumah di jam-jam tertentu dipaksa berdiam diri di rumah seharian. Sebagian kebebasan diri hilang, dan pengorbanan ini harus dilakukan demi kebaikan bersama yang lebih tinggi. Namun selalu ada orang-orang yang entah sengaja atau tidak melanggar aturan pembatasan.
ADVERTISEMENT
Rasa jengkel karena sebagian kesenangan yang harus dikorbankan demi kebaikan bersama itu ditambah dengan perilaku orang-orang yang entah kenapa masih terus melanggar aturan pembatasan.
Setiap berita yang mengabarkan adanya pelanggaran aturan, sudah pasti mendatangkan komentar negatif. Sosial media berisi sumpah serapah bagi para pelanggar. Jika Anda tidak bisa menghargai kami yang berdiam diri di rumah, hargai petugas kesehatan yang hampir tidak bisa beristirahat atau pulang ke rumahnya.
Apa itu Marah
Untuk mengerti kenapa perilaku orang-orang ini sanggup membuat darah kita mendidih, Joel Kouame, seorang psikoterapi yang berpraktik di Alma New York City, mengatakan kita harus mengetahui peran marah dalam hidup kita. “Marah adalah penjaga kita –yang berperan untuk melindungi kita dari apapun yang kita sangkakan sebagai ancaman pada keamanan kita dan keamanan pada apapun yang kita anggap bernilai,” katanya seperti dimuat Wellandgood.
ADVERTISEMENT
Secara biologis, ‘hal-hal yang membuat kita marah’ adalah rangsangan yang membangkitkan sistem saraf simpatik, memicu respons perlawanan kita. Respons ini pada gilirannya meningkatkan fungsi tubuh seperti kekuatan dan kecepatan, dua hal penting yang membuat kita tampil lebih baik untuk dapat selamat dari ancaman.
Kenapa Kita Marah?
Dari semua ketidakpastian, kita semua tahu bahwa semua orang berpotensi tertular dan menularkan. Semua orang bisa menjadi ancaman. Dan ancaman terbesar kita saat ini adalah coronavirus penyebab COVID-19, dibuatlah aturan pembatasan untuk memutus mata rantai penyebaran.
Dengan mengikuti aturan itu, ancaman dirasa berkurang, karena aturan itu dibuat untuk menjaga keselamatan bersama. Selama aturan tersebut ditaati, orang-orang tidak memiliki alasan untuk marah karena aturan sudah mampu memberikan perlindungan pada diri dan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Namun ketika aturan ini tidak diikuti, naluri melindungi yang kita miliki keluar, menguasai respons diri. “Semakin menyimpang dari aturan, semakin besar kemarahan di dalam diri yang muncul karena mereka membutuhkan perlindungan,” kata Kouame.
Memahami Sebab
Memahami adalah kunci untuk mengakses kasih sayang. Kita bisa memahami jutaan orang yang kehilangan pekerjaannya dan tidak mendapat bantuan kesejahteraan dari pemerintah untuk tetap beraktifitas di luar rumah. Menganggap bahwa virus yang sudah membunuh 300-an ribu jiwa ini tidak lebih menakutkan daripada kelaparan. Ya, kita bisa memahami dan memaafkan orang-orang seperti ini.
“Itu bertentangan dengan perilaku manusia untuk merasa nyaman ketika ada bahaya yang dirasakan, dan jika bahaya itu mengikuti aturan, akan hampir naluriah bagi orang itu untuk menentang aturan dan menjaga keselamatan mereka,” kata Kouame.
ADVERTISEMENT
Namun ada juga sebagian lainnya yang tidak punya urgensi apapun untuk berada di luar dan tetap melakukan pelanggaran.
Menurut psikolog klinis, Aimee Daramus, PsyD, sebagian orang mungkin berpegang teguh pada keyakinan mereka bahwa virus ini tidak seberapa mengancam, mungkin tidak mau menerima aturan pembatasan sebagai ciri dari kepribadian mereka.
“Pemberontak adalah gambaran ikonik, sehingga sebagian orang belum mau melepaskan gagasan bahwa mereka lebih pintar dan seksi jika melanggar aturan,” katanya. “Jangan menolak mereka pada tingkat pribadi, cukup beritahu mereka bahwa Anda tidak akan mengambil risiko dengan keselamatan Anda dengan berada di dekat mereka dan bahwa mereka dapat menjadi bagian yang lebih besar dari hidup Anda ketika mereka menghormati keselamatan Anda.”
ADVERTISEMENT
Bagaimana Mengatasi Rasa Marah
Kasatpol PP DKI Jakarta, Arifin, memberikan teguran keras terhadap pengelola McD Sarinah. Foto: Dok. Satpol PP
Melihat kebutuhan pada pemberontakan seperti ini akan membantu Anda untuk memadamkan rasa amarah dalam dada saat menghadapi para pelanggar, namun Anda tetap bisa dan harus berupaya untuk memediasinya.
Untuk melakukannya, Kouame menyarankan berbagai teknik, termasuk relaksasi otot progresif, melakukan kegiatan yang menggerakkan respons prasimpatis (menenangkan) seperti merajut, menggambar atau menulis, dan yang terpenting, menantang persepsi bahwa Anda dalam bahaya langsung.
Dan sementara mengatakan kepada diri sendiri untuk tenang di tengah pandemi mungkin salah, lonjakan kortisol yang menyertai kemarahan tidak sehat dan tidak ada gunanya membiarkan para pelanggar aturan pembatasan mengancam kesehatan Anda dua kali, fisik dan psikis.
Dengan kata lain, alih-alih mengeluarkan kata-kata kasar di media sosial tentang betapa tolol dan cerobohnya tindakan-tindakan para pelanggar aturan ini, Anda memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengguncang mereka dengan membuat mereka mengakui ketakutan mereka dan kemudian memberikan mereka bukti betapa menularnya dan mematikannya virus ini. Virus ini tidak sebanding dengan pose di penutupan sebuah gerai makan cepat saji atau selembar baju baru di hari raya. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)
ADVERTISEMENT