Membaca Kerentanan Yogyakarta Menghadapi Pandemi Virus Corona

Konten dari Pengguna
2 April 2020 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah kampung di DIY memasang spanduk lockdown di pintu kampung mereka. Salah satunya terlihat di pintu masuk Masjid Al-Inabah di Sidoarum, Godean, Sleman. Foto : Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kampung di DIY memasang spanduk lockdown di pintu kampung mereka. Salah satunya terlihat di pintu masuk Masjid Al-Inabah di Sidoarum, Godean, Sleman. Foto : Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Sejumlah peneliti dari berbagai instansi mencoba memprediksi kapan pandemi COVID-19 di Indonesia akan berakhir. Peneliti dari alumnus Departemen Matematika Universitas Indonesia (UI), memprediksi pandemi akan mencapai puncaknya pada 16 April.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Barry Mikhael Cavin dkk ini menggunakan model matematika sederhana yang dikembangkan dengan model SIRU. Adapun data yang digunakan untuk simulasi adalah data kasus kumulatif yang dipublikasikan oleh kawalcovid19.id sejak 2 Maret hingga 29 Maret 2020. Data itu kemudian diaplikasikan dalam kurva eksponensial dan dihitung secara matematis untuk mendapatkan nilai estimasi kasus virus corona.
Hasilnya, pandemi akan mencapai puncaknya pada 16 April dengan kasus positif baru mencapai 546 per hari serta akumulasi kasus positif mencapai 17.000 kasus. Sementara pandemi diprediksi akan berakhir pada akhir Mei atau awal Juni.
Namun yang perlu dicatat adalah angka ini merupakan skenario terbaik, yang artinya hanya terjadi jika pemerintah mulai menerapkan kebijakan strategis dan masyarakat melakukan physical distancing secara ketat. Angka yang ada sangat mungkin lebih tinggi jika pemerintah tidak segera menerapkan kebijakan yang kurang tepat ditambah masyarakat yang tidak disiplin dalam menerapkan physical distancing.
ADVERTISEMENT
Tak hanya peneliti dari UI, para pakar dari FMIPA UGM juga mencoba memprediksikan kapan pandemi ini akan berakhir. Menggunakan model probabilistik data-driven model, Dedi Rosadi, pakar Statistika dari FMIPA UGM, salah seorang peneliti mengatakan puncak pandemi ini akan jatuh antara 7 sampai 11 April.
Adapun penambahan kasus positif diprediksi ada di angka 740 sampai 800 kasus tiap empat hari. Dedi memperkirakan, pandemi akan berakhir pada 29 Mei dengan total kasus positif minimal 6.174.
“Ini adalah skenario yang sangat optimis. Artinya dengan asumsi semua kebijakan pemerintah tepat dan berhasil,” ujar Dedi, Rabu (1/4) sore saat dihubungi.
Menurutnya, hasil prediksi ini perlu disampaikan mengingat ada sejumlah prediksi matematika lain yang hasilnya cenderung bombastis dan cenderung berlebihan sehingg berpotensi menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta Sulit Diprediksi
Sulit memprediksi kemungkinan kasus di DIY dengan data yang ada sekarang ini. Dedi mengatakan, dirinya belum bisa memprediksi kasus COVID-19 di Yogyakarta secara khusus karena data yang tersedia masih sangat minim.
“Data yang ada di Jogja belum cukup stabil untuk bisa diprediksi dengan baik,” ujarnya.
Prediksi ini menurutnya sangat penting untuk menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan adanya prediksi secara ilmiah, maka berbagai kebutuhan seperti jumlah tempat tidur di rumah sakit yang ideal, alat pelindung diri (APD), hingga ventilator yang harus tersedia bisa dipetakan.
“Tapi saya belum punya data yang cukup untuk melakukan itu. Secara teori konsep bisa (memetakan),” lanjut Dedi.
Hingga 1 April 2020, melihat data pada laman https://corona.jogjaprov.go.id/ total kasus positif COVID-19 di DIY mencapai 28 kasus, bertambah 4 kasus dari hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Alat Pelindung Diri yang Krusial
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kemarin mengumumkan kabar duka, dua lagi petugas gugur dunia dalam pertempuran di garis depan menghadapi COVID-19. Artinya, sudah 11 dokter yang meninggal karena COVID-19 selama sebulan terakhir.
Kabar duka itu memperlihatkan, betapa krusialnya alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Dalam sebuah jurnal yang dimuat dalam Journal of American Medical Association, dengan sampel 138 pasien, 29 persennya adalah petugas layanan kesehatan. (h
Business Insider melaporkan ada sejumlah alasan kenapa petugas medis sangat rentan tertular COVID-19. Pertama karena karakteristik virus SARS-CoV-2 yang sangat menular, sedangkan para petugas medis terpapar lebih banyak partikel virus daripada masyarakat umum.
Faktor lain adalah kombinasi stres dan jam kerja yang panjang sehingga membuat sistem kekebalan tubuh mereka lebih rentan daripada masyarakat umum. Alasan lain adalah kurangnya pasokan APD ketika ada kenaikan gelombang pasien COVID-19.
ADVERTISEMENT
Lalu, Bagaimana Ketersediaan Stok APD di DIY?
Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan COVID-19, Berty Murtiningsih, ketika dihubungi Rabu (1/4) memaparkan jumlah ketersediaan APD di DIY per 31 Maret. Adapun rincian APD yang tersedia saat ini yaitu coverall 3.233 unit, cover sepatu 3.323 unit, masker N95 1.726 unit, sarung tangan 52.656 unit, serta masker bedah sejumlah 323.050 unit.
Adapun APD yang saat ini ketersediaannya sudah habis yaitu kacamata google, sepatu boots, dan sarung tangan panjang. Selain APD, DIY juga memiliki stok rapid diagnostic test (RDT) sejumlah 14.920 unit yang berasal dari kementerian kesehatan dan BNPB.
Sebelumnya, APD yang dimiliki oleh DIY telah didistribusikan ke sejumlah instansi seperti 27 rumah sakit rujukan, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) DIY, serta BLKK DIY.
ADVERTISEMENT
“Pengelolaan Logistik, termasuk pemenuhan APD bagi RS Rujukan dengan mekanisme sesuai jumlah pasien yang dirawat, dan pengajuan kebutuhan serta pengambilan di Gudang Farmasi Dinkes,” ujar Berty.
Ventilator dan Daya Tampung Rumah Sakit
Kapasitas rumah sakit menjadi hal krusial lainnya. Memang tidak semua orang yang terinfeksi COVID-19 harus dirawat di rumah sakit. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen pasien COVID-19 bisa sembuh tanpa perawatan rumah sakit. Tapi 20 persen sisanya bukanlah jumlah sedikit.
Jama Network, dalam artikelnya melaporkan salah satu penyebab banyaknya korban meninggal karena COVID-19 di Italia salah satunya karena daya tampung rumah sakit yang kelebihan beban. Sistem rumah sakit yang kita miliki, tidak dirancang untuk beban pasien dalam situasi epidemi, apalagi pandemi. Akibatnya, pertumbuhan kasus yang eksponensial dapat terjadi dan mengubah keadaan darurat kesehatan masyarakat menjadi krisis operasional.
ADVERTISEMENT
Di DIY, pemerintah telah menyiapkan 27 rumah sakit rujukan, empat merupakan rumah sakit yang ditunjuk langsung oleh Kemenkes, sedangkan 23 sisanya ditetapkan melalui Pergub DIY.
“Saat ini (tempat tidur) yang didedikasikan untuk pelayanan COVID-19 ada 12 critical dan 243 noncritical,” kata Berty.
Tempat tidur critical disediakan untuk pasien-pasien kritis yang memerlukan perawatan intensif. Sementara tempat tidur noncritical disiapkan untuk merawat pasien yang tidak butuh perawatan intensif. Kunci dari ruang perawatan intensif ini adalah adanya ventilator.
Di AS dan negara-negara Eropa, ketersediaan ventilator menjadi isu serius dalam menangani pandemi ini. WHO mengatakan, 1 dari 6 atau 16 persen pasien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami gejala parah, yakni kesulitan bernapas hingga membutuhkan ventilator. BBC melaporkan, banyak kasus pasien yang seharusnya bisa diselamatkan di bebagai negara, namun nyawanya tidak tertolong karena tidak adanya ventilator.
ADVERTISEMENT
Dan di DIY, hanya ada 12 ruang perawatan intensif, yang artinya hanya ada 12 ventilator yang tersedia. Jika melihat dari asumsi WHO, dimana 16 persen pasien COVID-19 perlu penanganan intensif, maka dengan stok 12 ventilator batas aman DIY untuk pasien yang perlu dirawat di rumah sakit adalah 75 orang.
Rakyat Yogya musti benar-benar memantau bahwa jumlah positif corona di DIY tidak sampai melewati 75 orang dalam satu hari. Dan datangnya para pemudik dari Jakarta adalah faktor x yang beresiko secara cepat menaikkan jumlah kasus. Dalam sepekan kemarin tercatat 100 ribu pemudik telah memasuki Yogyakarta. (Widi Erha Pradana / YK-1)