Memori Atletik dan Bangsa Pemenang Menuju Olimpiade Tokyo

Konten dari Pengguna
5 Januari 2020 19:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelari ras Mongoloid dan Kaukasoid berada dalam lintasan lari. Foto :
zoom-in-whitePerbesar
Pelari ras Mongoloid dan Kaukasoid berada dalam lintasan lari. Foto :
ADVERTISEMENT
Olahraga adalah bidang yang merayakan keunggulan personal atau tim, yang celakanya, hampir semua cabangnya sangat berkaitan dengan fisik. Nah, sangat bersifat fisik ini mau tidak mau akhirnya membuat olahraga begitu terkait erat dengan urusan ras. Maka tidak heran, jika dalam olahraga selalu muncul mitos-mitos, cerita dan legenda terkait keunggulan ras tertentu. Terutama oleh para fans yang melihat podium diisi oleh orang-orang dengan ciri fisik yang sama.
ADVERTISEMENT
Tentang keunggulan ras tertentu itu, riset seorang Profesor dari Universitas Duke bernama Adrian Bejan bersama Edward Jones yang bergelar doktor, dari Howard University yang merupakan seorang Afro-Amerika, membuat gempar satu dekade lalu.
Kedua peneliti ini menemukan bahwa orang kulit hitam memiliki torso (potongan tubuh dari bagian atas kepala sampai potongan paha) lebih pendek. Dengan torso yang pendek, orang kulit hitam mempunyai titik berat (center gravity) yang lebih besar ketimbang orang kulit putih. Perbedaan 3 persen lebih tinggi tersebut membuat seorang pelari kulit hitam mampu mendaratkan kakinya lebih cepat 0.15 detik daripada pelari kulit putih. Maka tidak heran jika sejak 1968, rekor dunia lari 100m putra dipegang oleh atlet kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Dan dengan 3 persen lebih rendah, perenang kulit putih bisa mengambang, memiliki area tubuh yang berada di atas air lebih banyak, sehingga bisa mengayuh tangannya lebih cepat. Sementara ras kulit kuning (Mongoloid), memiliki torso yang tidak panjang dan juga tidak pendek, sedang-sedang saja. Teori tersebut dipublikasikan dalam jurnal internasional Design and Nature.
Dalam kategori yang sama di nomor putri, hasilnya kurang lebih sama, kulit hitam di lintasan lari dan kulit putih di lintasan renang. Bisa dibilang, cabang renang adalah dominasi total kulit putih dan kuning. Raihan rekor hanya mencatatkan nama Jingyi Le sebagai perwakilan Mongoloid di antara nama-nama perenang Kaukasoid.
Dukungan Lingkungan
Untuk berada apalagi memenangkan lintasan diperlukan dukungan lingkungan. Foto : Pixabay
Namun, apakah itu berarti perenang kulit hitam tidak dapat memenangkan perlombaan di kolam yang diisi perenang kulit putih dan kuning? Apakah pelari kulit putih dan kuning tidak mampu bersaing di lintasan sprint bersama pelari kulit hitam?
ADVERTISEMENT
Olimpiade terakhir di Rio Brazil 2016 menjadi ajang bagi perenang kulit hitam meraih medali emas. Simone Manuel dari Amerika Serikat berhasil menjadi perenang kulit hitam pertama yang meraih medali emas. Berlomba di nomor 100m gaya bebas putri, Manuel finis berbarengan dengan lawannya, dengan catatan waktu yang sama. Keduanya dikalungi medali emas. Kejadian yang mirip pernah terjadi pada gelaran Olimpiade Sidney 2000, di nomor 50m gaya bebas putra. Dua perenang asal Amerika Serikat finis dengan catatan waktu yang identik, dan keduanya dikalungi medali emas, salah satunya bernama Anthony Ervin, seorang Afro-Amerika.
Masuknya dua nama perenang kulit hitam ke dalam sejarah peraih medali emas Olimpiade tersebut menegaskan bahwa, superioritas di sebuah cabang olahraga lebih ditentukan oleh kultur budaya dan popularitas cabang tersebut.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat, negara langganan juara umum Olimpiade, negara tersukses di cabang aquatik jelas lebih berpeluang menghasilkan juara-juara renang terlepas apapun rasnya.
Joan Ferrante, profesor sosiologi di Universitas Northern Kentucky bersepakat bahwa lokasi geografis, sumber daya finansial, pengaruh orang tua, teman sepermainan, dan orang-orang panutan berpengaruh terhadap prestasi seseorang dalam dunia olahraga. Kondisi ini akan jauh lebih signifikan jika melibatkan faktor genetis. Hasilnya, dunia olahraga akan selalu lekat dengan segregasi sosial, rasial, dan ekonomi.
Maka tidak mengherankan ketika negara-negara maju, mapan secara ekonomi, punya sejarah jaya, lingkungan yang mendukung baik itu masyarakatnya maupun sarana penunjangnya mampu mendominasi cabang-cabang olahraga tertentu.
Dari Florence Griffith-Joyner ke Tori Bowie, Amerika Serikat berusaha mengembalikan dominasinya di nomor 100m dan 200m putri. Tapi Jamaika punya sejarah bagus di lintasan cepat atletik, tradisi yang terjaga secara baik. Tuntunan sejarah dan tradisi yang membuat ibu-ibu macam Selly-Ann Fraser-Pryce mampu mendominasi lintasan satu dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Kemenangan China
Ketika Liu Xiang memenangkan medali emas 110m lari gawang putra pada Olimpiade Athena 2004, kita menyadari bahwa bakat yang dikembangkan dengan baik bisa menjadi juara, tidak peduli dari ras atau bangsa apa dia berasal. China yang merupakan negara tangguh di ajang Olimpiade, acapkali finish 3 besar, tapi tidak punya tradisi medali di cabang atletik, trek maupun lapangan.
Liu adalah atlet China pertama yang lolos babak final atletik lintasan, dan tidak hanya meraih medali emas dengan keunggulan waktu yang jauh, namun juga menyamai rekor dunia saat itu. Dua tahun setelahnya, rekor dunia lari gawang 110m putra resmi dipecahkan Liu Xiang. Dukungan negara terhadap perkembangan atlet sangat berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Temani Zohri Berlari
Lintasan Lalu Muhammad Zohri masih teramat panjang. Ekspektasi jangan ketinggian kalau dukungan minim. Foto : dokumen Kemenpora
Bagaimana dengan Indonesia? Negara yang memiliki 17 ribu lebih pulau yang pernah dua kali menjadi penyelenggara Asian Games dan empat kali SEA Games ini pernah memiliki Muhammad Sarengat. Sprinter kelahiran Banyumas itu meraih emas sprint 100m putra dengan catatan 10.40 pada ASIAN Games 1962 di Jakarta. Memecahkan rekor Asia pada kesempatan tersebut, dan hingga hari ini, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah meraih emas cabang atletik di Asian Games.
Lalu ada Purnomo Yudhi, pelari kelahiran Purwakarta ini merajai Asia Tenggara dan mengganggu di lintasan tingkat Asia. Sempat berkiprah hingga babak semifinal Olimpiade Los Angeles 1984. Legenda lari Indonesia lainnya adalah Mardi Lestari. Sprinter asal Binjai ini mencatatkan waktu 10.20 di lintasan 100m, menembus babak semifinal Olimpiade Seoul 1988. Rekor nasionalnya bertahan 20 tahun sebelum akhirnya dipecahkan Suryo Agung Wibowo. Suryo sendiri menjadi manusia tercepat Asia Tenggara dengan catatan 10.17 detik.
ADVERTISEMENT
Kemudian lahir Lalu Muhammad Zohri. Berbeda dari empat legenda di atas, dia tidak datang dari Jawa atau Sumatra yang memiliki fasilitas olahraga dan sarana penunjang, dia dari Lombok NTB. Saat dia memenangkan kejuaraan dunia IAAF 2018, Zohri membuktikan bahwa bakat hebat bisa muncul dari mana saja. Seorang Mongoloid sub Melayu yang lahir di Lombok bisa mengalahkan Negroid dan Kaukasoid di lintasan 100m putra. Atlit Indonesia memang tidak mendapatkan perlakuan yang sama mewahnya seperti atlet-atlet China ataupun Amerika Serikat, pun demikian, Zohri yang berasal dari desa Pemenang (nama desa) berhasil menjadi pria Asia pertama yang meraih medali di nomor 100m junior putra.
Salah satu cerita paling mengesankan pada gelaran Olimpiade Rio 2016 lalu adalah keberhasilan Carolina Marin menjadi juara bulutangkis Tunggal Putri. Dominasi Asia di nomor ini kandas oleh Spanyol yang tidak memiliki tradisi badminton, itu bahkan bukan olahraga popular disana. Berkah bakat acak Tuhan memang mengagumkan, tapi program pengembangan atlet lebih menentukan.
ADVERTISEMENT
Sementara keunggulan ras adalah topik sensitif dan masih bisa diperdebatkan, faktor-faktor penunjang seperti lingkungan pemenang (bukan nama desa), infrastruktur penunjang, dana melimpah, dan sistem pembinaan atlet yang tepat adalah aspek-aspek terpenting yang bisa diusahakan. Toh Swiss juga bisa melahirkan tim sepakbola pantai yang handal, menembus babak final Piala Dunia sepakbola Pantai tanpa memiliki garis pantai 1cm pun. Jangan biarkan Lalu Muhammad Zohri menjadi anomali yang numpang lewat. ( Anasiyah Kiblatovski / YK-1 )