Mengembalikan Kepercayaan Diri Keluarga, Solusi Masalah Pendidikan Masa Pandemi

Konten dari Pengguna
31 Agustus 2020 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sanggar Anak Alam (SALAM), di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Sanggar Anak Alam (SALAM), di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Reni Kusumawardani, ibu dengan tiga anak yang masih duduk di bangku SD dan TK di Yogyakarta harus mengerahkan tenaga ekstra sejak pemerintah memberlakukan kebijakan belajar dari rumah (BDR). Mendidik tiga anak tentu bukan perkara gampang, apalagi dengan keterbatasan perangkat seperti gawai dan kuota internet.
ADVERTISEMENT
“Kan semuanya sekarang online semua, kalau anak tiga tapi HP cuman satu kan susah,” ujar Reni beberapa waktu lalu di Yogyakarta.
Apalagi sebagai seorang ibu rumah tangga, pekerjaannya tentu bukan hanya menemani dan membimbing anaknya belajar saja. Reni juga harus masak, mencuci, beberes rumah, dan kadang harus membantu sang suami mencari tambahan penghasilan. Pandemi benar-benar membuat keadaan finansial keluarganya goyah.
Belum karena sudah terlalu lama belajar dari rumah, anak-anaknya mulai sering merengek dan bertanya kapan bisa masuk sekolah lagi. “Mereka sudah mulai bosan di rumah, pengin sekolah, ketemu ibu guru sama temen-temen,” lanjutnya.
Kesulitan tidak hanya dialami oleh Reni sebagai orangtua siswa, Etik Triharjanti, seorang guru kelas I di SD Kanisius Wirobrajan, Yogyakarta, juga harus jungkir balik dalam mendidik murid-muridnya di tengah pandemi ini. Belajar dari rumah justru membuat beban kerjanya makin berat, tidak ada jam kerja yang pasti. Terkadang dia bahkan harus melayani pesan-pesan dari para muridnya sampai larut malam, mengingat kesibukan tiap orangtua siswa yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Apalagi saya kan sudah tua mas, kalau harus lihat HP terus lama-lama kan mata saya sakit,” ujar perempuan yang usianya sudah memasuki kepala lima itu.
Tugas Etik makin berat karena keterampilan setiap orangtua siswa dalam menggunakan teknologi berbeda-beda. Ada yang sudah sangat akrab, namun ada yang perlu bimbingan khusus, bahkan dalam menggunakan sejumlah fitur pada aplikasi pesan singkat.
“Padahal saya sendiri juga harus menyesuaikan, saya harus belajar dari awal juga pakai aplikasi-aplikasi kayak zoom, kemudian bikin media belajar yang cocok untuk pembelajaran daring,” kata Etik.
Kepala SD Negeri Samirono, Depok, Yogyakarta, Isti Yunaidah, mengatakan bahwa kendala utama yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran di tengah pandemi ini adalah tidak meratanya teknologi. Ada kesenjangan kemampuan penggunaan teknologi di kalangan guru muda dan guru-guru senior. Belum lagi ditambah faktor dari siswa, dimana kemampuan siswa dan orangtua terkait akses teknologi juga masih terdapat kesenjangan. Akibatnya, ada beberapa guru yang terpaksa harus datang ke rumah siswanya yang tidak memiliki perangkat memadai demi bisa memberikan pembelajaran.
ADVERTISEMENT
“Karena tidak semua orangtua siswa itu punya HP ya, dan maaf, tidak semua orangtua juga bisa IT,” ujar Isti Yunaidah.
Pandemi Membuat Ruang Belajar Siswa Lebih Luas
Suasana belajar di SALAM. Foto: Widi Erha Pradana.
Semua persoalan yang dialami oleh Reni, Etik, Isti, dan mungkin sebagian besar orangtua dan guru di Indonesia itu tidak terjadi di Sanggar Anak Alam (SALAM), di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. SALAM memiliki peserta didik dari tingkat Kelompok Bermain (KB) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun pendiri SALAM, Sri Wahyaningsih, justru mengatakan bahwa adanya pandemi justru membuat peserta didik mereka jauh lebih produktif.
Dilaksanakannya pembelajaran dari rumah, justru membuat anak-anak memiliki lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang mereka minati. Mereka bisa melakukan hal-hal yang selama ini belum sempat terealisasi karena keterbatasan waktu.
ADVERTISEMENT
“Ada yang menjadikan hasil risetnya sebagai cerpen, ada yang bikin novel juga, kemarin ada yang rekaman. Yang keterampilannya di bidang musik juga ada yang bikin konser online. Jadi mereka malah lebih kreatif,” ujar Wahya, sapaan akrab Sri Wahyaningsih ketika ditemui di SALAM, Jumat (24/8).
Satu-satunya yang menjadi persoalan saat ini adalah hilangnya momen anak-anak untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, terutama untuk peserta didik di tingkat KB dan Taman Anak (TA). Untuk mengatasi hal itu, satu kali dalam sepekan diadakan pertemuan anak-anak dan orangtua di sekolah dalam kelompok kecil supaya tetap bisa menerapkan protokol kesehatan.
“Kadang ada juga yang bilang kangen gitu, terus kami lakukan pertemuan virtual lewat Zoom,” lanjutnya.
Adanya pandemi justru menyediakan laboratorium nyata bagi murid di SALAM untuk mengaktualisasikan pengetahuan-pengetahuan yang selama ini mereka pelajari di sekolah. Empat pilar pendidikan yang dicetuskan SALAM, yakni pangan, kesehatan, lingkungan hidup, serta sosial budaya. Dan di masa pandemi ini, pilar tersebut semakin dikuatkan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya anak-anak mungkin baru sampai pada tahap menghafal, namun dengan adanya pandemi mereka jadi makin paham betapa pentingnya empat pilar tersebut. Misalnya pentingnya bercocok tanam untuk menopang kebutuhan pangan, kembali mengonsumsi empon-empon, mencuci tangan, serta menjaga kebersihan lingkungan.
“Jadi pandemi ini malah jadi semacam anugerah untuk kita. Menjadi semacam laboratorium untuk anak-anak mengaktualisasikan semua pengetahuan yang selama ini hanya ada di kepala,” lanjutnya.
Di SALAM, anak-anak kata Wahya diajak untuk belajar dari semua peristiwa yang terjadi. Dan Pandemi merupakan peristiwa yang sangat penting, yang mungkin tidak semua generasi bisa mengalaminya.
“Kalau pandemi tidak bisa membuat kita belajar dan berubah menjadi lebih baik, kayaknya enggak akan ada yang bisa membuat kita berubah lagi,” ujar Wahya.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan
Permainan anak di SALAM. Foto: Widi Erha Pradana.
Pelajaran berharga yang mesti diambil dari adanya pandemi adalah keluarga merupakan sumber dan tempat belajar yang utama. Wahya menjelaskan bahwa ada tiga tempat belajar bagi anak seperti yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara dalam konsep Tri Sentra Pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Sementara selama ini, sekolah menjadi satu-satunya tempat belajar bagi siswa. Sehingga di situasi seperti sekarang, ketika sekolah tidak diizinkan untuk beroperasi, maka semua kaget dan kewalahan karena tidak siap memberikan pembelajaran untuk anak, terutama orangtua. Mereka tidak punya kepercayaan diri untuk mendidik anaknya dan menggantungkan semua tugas pendidikan kepada sekolah.
Karena itu, keluarga sebagai pemegang fungsi pendidikan yang utama harus dikembalikan lagi. Jika keluarga mampu menjalankan fungsi pendidikannya, maka masalah-masalah pengajaran tidak akan ada lagi.
ADVERTISEMENT
“Sejak awal kita sudah punya kesepakatan dengan orangtua, bahwa mereka harus terlibat dalam proses pendidikan anak,” ujar Wahya.
Sejak awal, yang belajar di SALAM bukan hanya anak, tapi juga orangtua. Begitupun saat pandemi seperti sekarang. Mereka menggunakan metode mentoring, dan yang dimentori oleh fasilitator bukanlah anak, melainkan orangtua. Fasilitator dan orangtua melakukan komunikasi yang intens untuk sama-sama belajar dan berbagi pengetahuan bagaimana mendidik anak-anak mereka.
Sehingga selain fasilitator, orangtua juga menjadi teman belajar anaknya di rumah. Paradigma belajar juga tidak melulu membaca buku pelajaran atau menghafal rumus-rumus matematika. Proses belajar bisa dilakukan dari hal-hal sederhana, misalnya dengan mengajak sang anak diskusi tentang menu makan malam apa yang paling cocok dihidangkan.
ADVERTISEMENT
“Dari situ kan anak belajar bagaimana membuat kesepakatan. Dan ketika sudah membuat kesepakatan, maka dia akan belajar bertanggung jawab dan menerima konsekuensi atas sesuatu yang sudah dia sepakati,” lanjutnya.
Pandemi telah memberikan pelajaran penting, bahwa ternyata pendidikan di sekolah selama ini belum berhasil membuat anak bisa belajar secara mandiri. Tragisnya, keluarga juga sama tidak siapnya menjadi teman belajar anak yang baik. Karena itu, menurut Wahya solusi atas persoalan pendidikan di tengah pandemi ini bukanlah pembelajaran daring. Bukan dengan mengirimkan soal-soal kepada siswa melalui WhatsApp untuk dikerjakan, lalu guru mengoreksinya.
“Tapi kembalikan lagi peran keluarga sebagai tempat belajar yang utama. Bangun ekosistem belajar yang sehat di dalam keluarga,” ujarnya menegaskan.
Jika keluarga sudah mampu menjalankan fungsi pendidikannya, maka ketika berada di sekolah siswa bisa mengeksplorasi lebih banyak hal yang mereka inginkan. Fungsi sekolah sebagai tempat untuk bersosialisasi dan berkolaborasi akan lebih optimal.
ADVERTISEMENT
“Kalau kata Romo Mangun, anak adalah mahaguru bagi dirinya dan sumber belajar bagi tema-temannya, jadi di sekolah ketemu saling belajar dan bersinergi, bukan untuk bersaing,” ujar Wahya.
Pendidikan Berbasis Riset
Pendiri SALAM, Sri Wahyaningsih. Foto: Widi Erha
Kegiatan pembelajaran di SALAM tidak disekat-sekat dengan mata pelajaran. SALAM mengusung konsep pendidikan berbasis riset, dimana setiap anak dibolehkan untuk melakukan riset atau memulai pembelajarannya sesuai dengan ketertarikannya masing-masing.
“Karena kami percaya setiap anak itu unik, punya potensi yang berbeda-beda, dan itu membutuhkan ruang untuk bisa menumbuhkan itu,” ujar Wahya.
Setiap anak boleh memilih topik risetnya sesuai minat mereka. Hingga lulus SMP, mereka juga dibebaskan untuk menjelajah berbagai bidang, mulai dari memasak, membatik, seni, otomotif, dan sebagainya. Sebab masa-masa itu dianggap sebagai masa petualangan. Baru ketika sudah beranjak ke bangku SMA, riset mereka mulai dikerucutkan ke bidang-bidang yang memang mereka minati.
ADVERTISEMENT
Memang ada pengetahuan-pengetahuan dasar yang perlu dikuasai siswa, seperti membaca atau berhitung. Namun pengetahuan dasar itu disisipkan di dalam setiap riset yang dilakukan oleh mereka.
Misalnya Wahya mencontohkan, ada anak kelas 5 yang melakukan riset tentang cokelat. Karena kelas 5 sudah harus mendapatkan pengetahuan tentang geografi, maka dalam risetnya anak bisa diarahkan untuk menguasai pengetahuan dasar tersebut. Misalnya dimulai dari ketinggian yang paling cocok untuk tanaman cokelat, di Indonesia tempat mana saja yang cocok dengan ketinggian tersebut.
“Kemudian mereka buka peta. Misalnya cokelat cocoknya di dataran tinggi, di Indonesia dataran tinggi itu ada di mana saja,” ujarnya.
Atau diarahkan untuk menguasai pengetahuan dasar sejarah, maka anak bisa diajak untuk belajar bagaimana sejarah cokelat, siapa yang menemukan, dan bagaimana membuatnya. Dari segi ilmu sosial, anak bisa diajak untuk mencari di mana saja tempat-tempat untuk menemukan bahan pembuatan cokelat, di pasar tradisional, supermarket, kemudian apa yang membedakan di antara keduanya, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Jika mau diarahkan ke kompetensi dasar berhitung, anak bisa diajak untuk menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan-bahan pembuatan cokelat, jika diolah menjadi berapa banyak, kemudian jika dijual dengan harga sekian berapa pendapatannya, dan sebagainya. Intinya, dari satu topik riset saja, berbagai pengetahuan dasar bisa disisipkan ke dalamnya.
Dan di sini peran orangtua sebagai teman belajar bagi anak sangat penting. Orangtua akan menjadi kolega bagi setiap anaknya dalam melakukan risetnya masing-masing. Dan ini semua sudah dijalankan oleh SALAM sejak pertama mereka berdiri, sehingga di situasi pelik seperti ini mereka tidak pernah dibuat pusing oleh koneksi internet, perangkat yang tidak mumpuni, atau kesenjangan keterampilan penggunaan teknologi.
“Teknologi itu hanya salah satu media dalam pendidikan, dan pendidikan itu tidak boleh hanya bergantung pada satu media atau metode tertentu. Sebetulnya pendidikan yang berhasil ya yang bisa melewati semua proses, kita bisa menghadapi segala situasi,” ujar Wahya menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT