Mengenal Batik Lek Iwon asal Yogyakarta yang Dipesan Raja Belanda

Konten dari Pengguna
25 Februari 2020 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lek Iwon, kiri, berfoto bersama Kepala Urusan Politik Kerjaan Belanda Roel Van Der Veen yang memesan batik untuk Raja Belanda, Willem-Alexander. Foto : dokumen Lek Iwon
zoom-in-whitePerbesar
Lek Iwon, kiri, berfoto bersama Kepala Urusan Politik Kerjaan Belanda Roel Van Der Veen yang memesan batik untuk Raja Belanda, Willem-Alexander. Foto : dokumen Lek Iwon
ADVERTISEMENT
Siang itu Iwan Setiawan tengah sibuk mendampingi para wisatawan dari Bali yang sedang melihat batik-batik di galeri miliknya. Galeri Batik Elok milik Lek Iwon, sapaan akrab Iwan Setiawan, di Kampung Tamansari, Kecamatan Kraton, Yogyakarta itu sebenarnya tidak terlalu besar.
ADVERTISEMENT
Tapi siapa sangka di galeri itu terpajang sebuah mahakarya milik Lek Iwon, sebuah kemeja batik yang dipesan langsung oleh Raja Belanda, Willem-Alexander.
Lek Iwon belum memiliki nama khusus untuk batiknya itu, tapi dia menyebut motif batik itu dengan nama klasik kontemporer. Motif ini adalah yang pertama dibuat oleh Lek Iwon sejak menjadi seniman batik selama puluhan tahun. Dalam karya batik klasik kontemporer ini, Lek Iwon menggabungkan beberapa motif khas Jogja sebagai isian.
“Ada empat motif yang saya masukkan, ada parang, truntum, ukel, sama kawung,” ujar Lek Iwon sembari menunjukkan motif batik yang dia buat, Jumat (21/2).
Ketika batik-batik kontemporer biasanya menggunakan bantuan kuas, Lek Iwon menggunakan canting untuk membuat semua motif di batiknya. Teknik yang dia gunakan adalah gerakan canting ekspresif yang mengalir deras.
ADVERTISEMENT
“Jadi gerakan cantingnya itu bebas, ekspresif, bentuknya bebas. Jadi cantingnya itu meliuk-liuk, setelah itu baru kita kasih isinya,” lanjutnya sembari mencontohkan liak-liuk tangannya di udara.
Lek Iwon sedang mempraktekkan bagaimana menggoreskan canting pada batik kontemporer buatannya. Foto : Widi Erha Pradana
Ketika pembuatan batik pada umumnya diawali dengan membuat pola, pada pembuatan batik klasik kontemporer ini Lek Iwon langsung meliuk-liukkan cantingnya yang sudah berisi malam atau lilin cair secara bebas. Sementara untuk proses berikutnya seperti pewarnaan dan sebagainya, tak jauh beda dengan pembuatan batik pada umumnya.
“Kalau suruh buat lagi, motifnya mungkin bisa sama, tapi gerakan tangannya itu kan pasti berbeda,” ujarnya.
Melalui perpaduan berbagai macam motif klasik Jogja di dalam batiknya, Lek Iwon ingin merangkum kekayaan batik khas Jogja menjadi satu. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam motif-motif klasik tersebut dijadikan satu, sehingga dalam selembar kain mengandung berbagai pesan dan harapan.
ADVERTISEMENT
Misalnya motif parang rusak yang melambangkan keperkasaan, kawung bermakna harapan agar manusia selalu ingat asal usulnya, ukel bermakna sebuah harapan adanya rahmat dan berkat, serta truntum yang bermakna rasa cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang.
Dalam proses pewarnaan, Lek Iwon menggunakan indigosol sebagai bahan pewarnanya. Bahan pewarna yang berasal dari Jerman ini memiliki keunikan tersendiri ketimbang pewarna lainnya.
“Dia baru akan muncul warnanya kalau sudah dijemur. Sebelum dijemur, warnanya itu enggak kelihatan. Istimewanya di situ,” ujarnya.
Hasil pewarnaan dengan indigosol kata Lek Iwon juga paling kuat, tidak akan luntur seperti ketika menggunakan bahan pewarna lainnya. Hal ini karena adanya proses oksidasi ketika pewarna tersebut dijemur di bawah terik matahari.
ADVERTISEMENT
“Tapi kelemahannya kalau mendung begini, pembatik yang pakai indigosol gigit jari udah. Jadi warnanya muncul tapi enggak cerah,” lanjutnya.
Rejeki Bangun Kesiangan
Lek Iwon memperlihatkan kemeja batik pesanan Raja Belanda. Foto : Widi Erha Pradana
Saat itu pertengahan Desember, Lek Iwon belum bangun ketika Roel Van Der Veen sampai di galeri batik miliknya. Semalam, Lek Iwon, bekerja lembur sampai dini hari, sehingga bangun kesiangan. Lek Iwon kaget ketika tetangganya membangunkan dia, mengatakan ada tamu penting yang sudah menunggunya, yaitu Roel Van Der Veen yang adalah Kepala Urusan Politik Kerajaan Belanda.
Kedatangannya ke galeri milik Lek Iwon itu untuk mengabari, bahwa pada 11 Maret nanti, Raja Belanda, Willem-Alexander akan datang ke galerinya sekaligus memesan sebuah batik buatannya.
“Saya bangun tidur, belum mandi, nggak pakai sandal waktu menemui Profesor Roel. Enggak enak sebenarnya, tamu penting,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Oleh tamunya itu, Lek Iwon ditantang untuk membuat pesanan raja Willem-Alexander dalam waktu dua bulan. Tanpa pikir panjang, Lek Iwon langsung menerima tantangan itu. Tak ada motif khusus yang dipesan oleh Raja Belanda, semua corak dan motif batik dipercayakan sepenuhnya kepada Lek Iwon, sehingga dia bisa bebas berekspresi dan menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Beberapa pekan berselang, Roel kembali datang ke rumah sekaligus galerinya untuk mengecek kesiapan batik pesanan sang raja. Ketika melihat progress Lek Iwon, Profesor Roel langsung terkesan, pasalnya batik pesanan sang raja sudah hampir jadi. Padahal, kunjungan Raja Willem-Alexander baru akan dilakukan dua bulan yang akan datang.
“Ketika kemarin Profesor Roel datang gladi buat resik, sudah jadi (baju batiknya). Wah seneng banget, dicobalah itu, pas. Yang satu diambil sama dia, yang satu diambil langsung oleh raja 11 Maret nanti,” kata Lek Iwon.
ADVERTISEMENT
Total, untuk dua kain batik, lelaki yang sudah mulai belajar membatik sejak kelas 5 SD itu hanya membutuhkan waktu 10 hari. Sementara proses menjahitnya menghabiskan waktu sekitar empat hari.
Harga Wajar untuk Raja Belanda
Kain batik motif kontemporer sebelum dijahit menjadi kemeja. Foto : dokumen Lek Iwon
Lek Iwon butuh waktu lama untuk memberikan jawaban ketika Profesor Roel menanyakan harga batik buatannya. Dua minggu setelah ditanya, Lek Iwon baru memberikan jawaban. Selama dua pekan itu, dia diliputi rasa bimbang tak menentu. Lek Iwon juga meminta pendapat kepada saudara, desainer, serta sang istri.
Awalnya, dia berniat untuk memberikan saja batik itu secara gratis. Toh, dia yakin nantinya pasti akan berdampak baik pada penjualan batiknya ke depan. Tapi pikirannya berubah ketika mendengar masukan dari sang istri.
ADVERTISEMENT
“Mbok jangan digratiskan Pak, kan bisa buat nutup yang sepi-sepi kemarin,” kata Lek Iwon menirukan perkataan sang istri.
Setelah minta pendapat dengan sejumlah orang, keputusannya bulat. Lek Iwon menjawab pesan dari Profesor Roel dengan menyebutkan angka Rp 950 ribu. Nilai yang wajar, bahkan mungkin terlalu murah untuk ukuran mahakarya.
“Meskipun raja, saya enggak mau ngetok harga mas. Jadi saya kasih harga standar. Batiknya Rp 800 ribu, terus ongkos jahitnya Rp 150 ribu,” lanjutnya.
Benar saja, setelah berita tentang batiknya yang dipesan oleh raja Belanda menyebar, mulai banyak orang-orang memesan batik yang serupa dengan yang dipesan Raja Belanda. Ada dari Muara Enim, Jakarta, Probolinggo, dan sejumlah daerah lain.
Namun Lek Iwon tidak memasang tarif yang sama kepada masyarakat dengan tarif yang dia berikan kepada Raja Belanda. Dia cenderung akan menyesuaikan kemampuan masyarakat, sebab dia ingin semua orang bisa menikmati dan menggunakan keindahan batik.
ADVERTISEMENT
“Enggak tega saya kalau harganya sama (dengan Raja belanda). Jadi saya lihat juga kemampuannya. Karena saya ingin mas, semua orang itu bisa menikmati batik,” ujarnya.
Membatik Tak Cukup dengan Skill
Berbagai corak batik kontemporer karya Lek Iwon yang masih dalam proses pembuatan. Foto : Widi Erha Pradana
Dalam sehari, Lek Iwon biasa membatik sekitar lima jam. Sisanya, biasa dia gunakan untuk menyambut wisatawan maupun kegiatan lainnya. Di sela kesibukannya Lek Iwon selalu membagi pengetahuannya tentang batik pada para pengunjung. Nah, menurut Lek Iwon, yang jarang diketahui adalah, tak cukup seseorang memiliki skill atau keterampilan saja.
“Dikiranya hanya perlu keterampilan saja untuk bisa membatik dengan bagus. Padahal minimal tiga yang harus dimiliki (untuk bisa membatik) mas, skill, pengetahuan, sama sikap kerja,” ujarnya.
Skill dan pengetahuan mudah dikuasai jika seseorang giat berlatih. Namun sikap kerja, tak semua orang bisa menguasainya. Lek Iwon bercerita, ketika ujian sertifikasi kompetensi membatik, teman-temannya yang bisa dibilang punya skill yang mumpuni, justru gagal karena sikap kerjanya tidak memenuhi.
ADVERTISEMENT
“Sikap kerja itu cara menyiapkan batik dari awal sampai selesai harus bagus. Dalam arti setelah makai harus bersih, posisi cantingnya harus sesuai, peralatan harus tertata rapi, tidak berantakan,” lanjut Lek Iwon.
Hal ini yang menurutnya kurang disadari oleh banyak pembatik. Selain itu, hal wajib lain yang harus dimiliki oleh seorang pembatik adalah kesabaran. Ketika seorang pembatik mulai memegang canting dan mulai menggoreskannya ke kain, rasanya sudah mulai bermain.
“Saya menemukan keheningan, kesabaran, terus fokus itu di batik mas,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)