Menyusuri Cinta Pri Utami, Wapres Asosiasi Panas Bumi Internasional

Konten Media Partner
22 Maret 2021 20:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pri Utami. Foto: Humas UGM
zoom-in-whitePerbesar
Pri Utami. Foto: Humas UGM
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cinta memiliki dimensi yang luas, tak sekadar rasa antara dua insan manusia. Pri Utami, bahkan jatuh cinta pada panas bumi. Benar, panas bumi, Anda tidak salah baca. Pri Utami adalah seorang dosen sekaligus pakar geotermal dari Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM.
ADVERTISEMENT
Kiprahnya sebagai ilmuwan panas bumi membuatnya didapuk sebagai Woman in Geothermal Ambassador (Duta Geothermal) oleh International Geothermal Association (IGA) pada 2015. Pada tahun itu, dia juga mendapatkan penghargaan dari pemerintah New Zealand atas keseriusan dan dedikasinya mengembangkan penelitian tentang panas bumi.
Pada Juli 2020, Pri Utami terpilih sebagai Wakil Presiden IGA setelah bersaing dengan lebih dari 4.000 anggota dari 65 negara. Sebelumnya, perempuan yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi FT UGM itu juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia. Pendeknya, ia adalah perempuan langka di Indonesia, bahkan dunia, sebab tak banyak perempuan yang bisa menempati tanggungjawab terkait panas bumi, seperti Pri.
“Tapi itu semua (capaian karir) bukan yang utama, semua itu justru menjadi tantangan atau pancingan untuk berbuat lebih banyak dalam pengembangan panas bumi ini,” kata Pri Utami dalam diskusi daring yang diadakan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Jumat (12/3).
ADVERTISEMENT
Panas bumi menurut dia bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, salah satunya untuk sumber energi listrik. Panas bumi merupakan energi yang ramah lingungan dan rendah emisi, sehingga dinilai bisa menjadi solusi untuk mengatasi krisis energi.
Pri Utami dalam diskusi daring yang diadakan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Jumat (12/3).
Menurut Pri, Indonesia yang dilalui ring of fire memiliki potensi panas bumi yang sangat besar. Diperkirakan, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi lebih dari 20.000 MW. Potensi tersebut tersebar di lebih dari 250 lokasi, baik panas bumi dengan temperatur tinggi, menengah, dan rendah. Namun kebanyakan terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, serta Sulawesi Utara.
Sayangnya, potensi besar itu sampai sekarang belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Menurut dia, yang menjadi kendala utama saat ini adalah kurangnya keberpihakan serta ketidaktahuan para pengambil kebijakan tentang energi panas bumi. Selain itu, pengembangan panas bumi juga butuh biaya besar dan waktu eksplorasi yang lama.
ADVERTISEMENT
Masa eskplotasi panas bumi bisa menghabiskan waktu selama lima sampai enam tahun, dulu bahkan bisa mencapai 10 sampai 15 tahun. Biaya untuk pengeboran satu sumur panas bumi saja bisa menghabiskan biaya hingga 10 juta dolar AS, dan itu belum tentu berhasil. Sehingga memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan pengembangan energi panas bumi.
“Tapi jika menemukan resource yang benar dan produktif,maka tidak ada lagi biaya yang dikeluarkan, hanya untuk maintenance saja,” kata dia.
Padahal, masyarakat Indonesia menurut dia sudah mengenal dan memanfaatkan panas bumi sejak lama. Yang tercatat pemanfaatan panas bumi sudah dilakukan sejak abad ke-9 di Candi Umbul Magelang, Jawa Tengah, sebagai tempat pemandian air panas.
“Nenek moyang kita sudah suka dengan air panas, tidak hanya di Jawa Tengah, ada juga di Jawa Timur di Candi Songgoriti, di Jawa Barat, di Bali di Lombok. Masyarakat kita sejak dulu sudah memanfaatkan panas bumi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Awalnya Bercita-cita Jadi Duta Besar
Ilustrasi pembangkit panas bumi. Foto: Gusti
Sejak kecil, Pri Utami tak pernah bermimpi menjadi seorang ilmuwan panas bumi. Dia justru sangat berambisi untuk jadi seorang duta besar. Hingga ketika dia duduk di bangku SMA, dia membaca sebuah buku berjudul Exploring Earth Science karya Stephen Reynolds dan Julia K Johnson’s yang ada di perpustakaan sekolahnya.
Di sana, Pri Utami terpukau dengan kisah Julia K Johnson’s, yang juga seorang pakar geologi perempuan.
“Lalu saya pikir, kok keren ini (ilmuwan geologi). Akhirnya saya lupakan itu cita-cita menjadi duta besar, saya mantap pengin jadi geologist,” kata Pri Utami.
Tapi cita-cita itu ternyata tidak sepenuhnya hilang, karena saat ini, Pri Utami telah menjadi duta besar panas bumi perempuan yang diakui oleh dunia internasiona.
ADVERTISEMENT
Lulus dari SMA, Pri Utami pun mantap untuk melanjutkan studinya ke Teknik Geologi UGM. Tapi saat itu dia masih belum mengenal teknologi panas bumi. Ketika dia kuliah, belum ada mata kuliah tentang geologi panas bumi maupun teknologi panas bumi, yang ada baru mata kuliah perpindahan panas.
Perkenalannya dengan teknologi panas bumi justru terjadi secara tidak sengaja ketika dia dan keluarganya sedang piknik ke Dieng, Jawa Tengah. Di sana, dia melihat teknologi pemanfaatan panas bumi yang langsung menyita perhatiannya.
Yang awalnya datang ke Dieng untuk berwisata, dalam sekejap berubah menjadi mata kuliah 2 SKS. Tanpa rasa malu, dia langsung menumpahkan semua rasa ingin tahu yang ada di kepalanya terkait teknologi pengelolaan panas bumi tersebut. Piknik keluarga itulah yang kemudian menjadi pintu gerbang Pri Utami menjadi ilmuwan panas bumi seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
“Harus banyak piknik memang, kurang piknik itu berbahaya,” kelakarnya.
Jalan Panjang Kuliah Panas Bumi di New Zealand
Pri Utami. Foto: Humas UGM
Piknik di Dieng membuat Pri Utami benar-benar jatuh cinta pada panas bumi. Dia akhirnya memutuskan untuk meneliti energi panas bumi untuk skripsinya. Modal nekat, dia datang ke Pertamina di Jakarta, yang saat itu sudah ditugaskan untuk mengembangkan lapangan panas bumi.
“Saya nekat ke sana tidak punya ilmu, saya dimarahi di sana. Ngapain ini anak bikin repot, kita ini kerja ya bukan belajar,” kata Pri Utami.
Pri Utami akhirnya meminjam sejumlah buku tentang panas bumi di Pertamina. Dia menemukan banyak buku karya para profesor dari New Zealand yang kemudian dia lahap habis.
Beberapa tahun berselang, ketika dia sudah menjadi dosen di UGM, dia mendengar ada kursus yang diadakan oleh para ilmuwan panas bumi dari New Zealand.
ADVERTISEMENT
“Saya nimbrung saja, lalu saya ngomong, saya kenal lho sama bapak-bapak ini. Lalu saya cerita kalau saya sudah membaca karya-karya mereka. Jadi saya tidak punya malu kalau bertanya-bertanya begini,” ujarnya.
Dari situ, jalannya untuk terus mendalami panas bumi semakin terbuka. Pri Utami mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Universitas Auckland untuk mempelajari panas bumi.
New Zealand dia pilih karena negara kecil itu meski potensi panas buminya tidak seberapa, tapi ilmu tentang teknologi panas buminya berkembang pesat hingga disebut-sebut sebagai pusat unggulan panas bumi dunia. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan panas bumi hebat yang lahir dari New Zealand.
“Karena ilmuwannya itu hidup dalam lingkungan yang nyaman, mendapatkan fasilitas yang baik, kalau gagal enggak diejek-ejek, tetapi justru dipakai untuk menggali apa yang belum diketahui,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di Auckald, Pri Utami berhasil meraih gelar master dan doktor di bidang panas bumi. Setelah lulus, dia bahkan ditawari untuk menjadi dosen dan peneliti tamu di kampus tersebut.
Menurut dia, tidak banyak ilmuwan perempuan yang berkecimpung di bidang panas bumi. Bahkan yang bergerak di bidang geologi secara luas pun jumlahnya belum banyak. Tapi semakin ke sini, menurut dia ilmu panas bumi ini sudah tidak melihat gender lagi karena semakin banyak juga perempuan-perempuan yang mulai mendalami ilmu tentang panas bumi.
“Sekarang mahasiswi saya yang mengambil panas bumi lumayan banyak, karena geologi sendiri kan perepuannya tidak banyak,” kata Pri Utami.
Mengidolakan Louis Pasteur dan BJ Habibie
Pri Utami (gaun merah biru deret paling depan) bersama sejumlah peserta dalam workshop tentang “Integrated Resources Management in Asian Cities: the Urban Nexus” di kantor PBB di Bangkok, Thailand pada 14 – 16 November lalu. Foto: Humas UGM.
Sebagai seorang ilmuwan, ada dua sosok yang paling diidolakan oleh Pri Utami: Louis Pasteur dan BJ Habibie. Louis Pasteur adalah seorang ilmuwan di bidang kimia dan mikrobiologi dari Prancis yang berhasil menemukan vaksin.
ADVERTISEMENT
Perkenalan Pri Utami dengan Pasteur terjadi ketika dia masih SD. Saat itu, Pri Utami adalah seorang ketua kelas, dan ketika giliran imunisasi, dia adalah anak pertama yang mendapatkan giliran vaksin di kelasnya.
Pri Utami sangat takut disuntik, apalagi banyak yang bilang imunisasi akan menyebabkan dia demam. Kemudian, gurunya bercerita bahwa vaksin tersebut awalnya dirintis dan ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Louis Pasteur.
“Saya berpikir, saya enggak kenal karena beliau sudah meninggal di tahun 1895 tetapi beliau bisa menyelamatkan anak-anak macam saya supaya jangan sakit,” kata Pri Utami.
Ketika beranjak dewasa, dia membaca sebuah kalimat yang pernah dituliskan Pasteur. Kalimat itu adalah, sains itu tidak mengenal negara, tidak mengenal batas-batas apapun, sebab pengetahuan adalah milik kemanusiaan dan merupakan cahaya yang menerangi dunia.
ADVERTISEMENT
“Itulah yang memotivasi saya sehingga saya senang berkolaborasi dengan siapapun di dunia ini,” ujarnya.
Selain Pasteur, BJ Habibie juga menjadi salah seorang ilmuwan yang namanya paling sering dia dengar, selain karena Habibie merupakan presiden ketiga Indonesia. Dia terpukau dengan kisah-kisah Habibie dengan pesawatnya. Bagi seorang anak yang masih beliau, kisah tersebut sangat menarik bagi dia, karena di negara yang dikelaskan sebagai negara berkembang ini ternyata ada ilmuwan hebat yang diakui oleh dunia seperti Habibie.
“Kalau Pak Habibie mainnya pesawat terbang, kalau saya ngertinya panas bumi maka saya harus membikin energi yang berlimpah di negeri kita itu, bukan hanya sekadar energi alternatif atau pilihan tetapi harus menjadi energi andalan kita,” kata Pri Utami. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT