Minum Jamu dengan Menutup Hidung itu Keliru, Hirup Aromanya Seperti Minum Wine

Konten dari Pengguna
19 Agustus 2020 12:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jamu. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jamu. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Berapa jenis jamu yang kamu tahu? Beras kencur, pahitan, kunyit asam, gepyokan, atau pegal linu? Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada 2012 silam, di 209 dari 1.068 suku di Indonesia mencatat ada 15.773 ramuan kesehatan yang biasa mereka konsumsi. Selain itu, riset tersebut juga mencatat total ada 1.740 bahan berbeda yang digunakan untuk membuat ramuan.
ADVERTISEMENT
“Artinya apa? Beras kencur, kunyit asam, itu baru dua dari 15.773 ramuan yang berpotensi untuk dikulik,” kata Jony Yuwono, pendiri Acaraki Jamu Café beberapa waktu lalu dalam sebuah webinar.
Tiap daerah menurut Jony memiliki ramuan minuman khasnya masing-masing, yang dibuat dengan bahan-bahan yang banyak tumbuh di sana. Sayangnya kata Jony, eksplorasi terhadap ramuan-ramuan ini masih sangat kurang.
Jika kopi dan teh bisa menjadi tren di tengah masyarakat, baik tua maupun muda, jamu menurut Jony mustinya juga bisa menjadi tren. Sayangnya generasi muda saat ini sudah semakin jauh dengan jamu. Dari survei yang telah dilakukan oleh Jony kepada anak-anak muda, 70 persennya enggan meminum jamu karena rasanya yang pahit, 20 persen menjawab karena bahan dan proses pembuatannya tidak jelas, sedangkan 10 persennya menjawab karena semakin susah menemukan jamu dan sejumlah alasan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Kopi juga pahit, kok orang-orang pada minum kopi?” lanjutnya.
Mencari Cita Rasa Jamu
Ilustrasi rempah-rempah. Foto: Pixabay.
Setiap jenis kopi yang berbeda selalu memiliki cita rasa yang berbeda, lidah manusia mampu merasakan empat rasa: manis, asin, pahit, dan asam. Bahwa rasa kopi adalah pahit adalah mutlak. Tapi bagaimana cara menikmati kopi akan sangat mempengaruhi seseorang bisa merasakan cita rasa lain atau tidak.
Jika lidah bisa merasakan empat jenis rasa, maka hidung bisa merasakan ratusan jenis aroma. Karena itu, cara menikmati kopi yang benar adalah dengan menyeruputnya, yakni menghirup aromanya dengan hidung dan merasakan rasanya dengan lidah.
“Kombinasi antara rasa di lidah dan aroma dari hidung itulah yang disebut flavor (cita rasa),” ujarnya.
Tidak hanya kopi, hampir semua minuman populer di dunia cara menikmatinya tidak pernah jauh dari cara itu. Sebut saja teh, wine, whisky, beer, kombucha, matcha, cara menikmatinya semua sama yakni dengan mengombinasikan hidung dan lidah. Sementara kita tahu, anak-anak ketika minum jamu justru hidungnya ditutup, metode ini dikenal dengan nama ‘dicekok’.
ADVERTISEMENT
Untuk itu Jony mencoba mendatangkan kencur dari Wonogiri dan dari Lampung untuk mengeksplorasi rasa dan aromanya. Dan ternyata dari rasa maupun aroma keduanya memiliki perbedaan.
“Jadi bukan hanya kopi saja. Kenapa kita tidak juga menjelajahi rempah-rempah nusantara,” ujarnya.
Dari situ dia kemudian memperlakukan rempah-rempah layaknya memperlakukan kopi. Jony membuat jamu dengan metode yang sama persis dengan membuat kopi. Alat-alatnya juga sama, misal mesin V60 untuk menghasilkan jamu dengan aroma pekat namun rasa yang agak ringan, jika ingin mendapatkan rasa dan aroma yang seimbang maka menggunakan French Press, atau jika ingin mendapatkan rasa yang pekat maka diseduh menggunakan manual espresso.
“Kenapa tidak kita perlakukan rempah seperti kopi?. Ini bisa, sangat bisa, dan akan dapat pengalaman minum yang luar biasa,” ujar Jony.
ADVERTISEMENT
Jejak Jamu di Era Nenek Moyang
Relief jamu di candi. Foto: Widi Erha Pradana.
Sahid Teguh Widodo, peneliti di Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) menyebutkan bahwa jamu sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam. Bagi masyarakat tradisional, jamu digunakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan, serta menjaga kebugaran.
“Kita memiliki begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alami. Nenek moyang kita dulu sangat kreatif dan sangat inovatif dalam memanfaatkan sumber daya alami,” ujar Sahid Teguh Widodo di kesempatan yang sama.
Kebiasaan meracik dan meminum jamu bahkan sudah ditemukan di relief Candi Borobudhur (825M) di bagian kamadhatu dan rupadhatu. Dalam relief tersebut diceritakan bahwa meracik dan meminum jamu pada masa itu adalah suatu kebiasaan di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, jamu juga telah tercatat di relief Candi Prambanan (850M), Penataran (1200M), Sukuh (1437M), serta di Candi Tegalwangi pada masa Kerajaan Hindu Buddha pasca abad 15. Dalam prasasti Madhawapura, yakni pada masa Majaahit abad 12, disebutkan adanya profesi peracik jamu yang disebut acaraki.
Selain itu masih sangat banyak manuskrip-manuskrip kuno yang di dalamnya juga menyinggung jamu, misalnya Serata Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Serat Kagungan Dalem Racikan Jampi Jawi, hingga Serat Centhini Jilid 1 sampai 12.
“Namun kita tahu serat-serat semacam itu banyak cerita yang sifatnya simbolistik dan tidak bisa diterjemahkan secara leterlek,” lanjutnya.
Belajar dari manuskrip-manuskrip kuno tentang jamu, Sahid mengatakan perlunya penggunaan rempah sebagai jamu atau obat tradisional dalam pelayanan pengobatan formal di tanah air melalui saintifikasi jamu. Pengembangan penelitian filologis manuskrip Jawa Kuna tentang jamu dan obat tradisional juga perlu terus dilakukan dan didigitalisasi.
ADVERTISEMENT
Pengenalan obat sejak dini melalui berbagai media seperti film-film pendek sejak anak-anak juga harus terus ditingkatkan. Sosialisasi kepada masyarakat luas tentang jamu juga perlu digencarkan demi menjadikan jamu sebagai kekuatan bangsa.
“Kemudian yang terakhir ada modernisasi produk jamu dan perluasan keragaman. Saya kira antara industri, pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan itu merupakan kesatuan yang bagus,” ujarnya.
Di Hadapan Krisis Bahan Baku
Ektrak berbagai rempah di pasar tradisional di India. Foto: Pixabay.
Selain pasar, industri jamu saat ini juga sedang mengalami krisis bahan baku. Selain dinilai sulit, bahan-bahan jamu juga juga memiliki nilai ekonomi yang rendah sehingga kurang dimintati petani.
“Sehingga yang ada mereka beralih menanam kopi dan teh,” kata Acaraki Jamu Café, Jony Yuwono.
Apalagi berdasarkan Ristoja Kemenkes pada 2015, ditemukan 49,5 persen dari pengobat tradisional yang membuat jamu sudah berumur 60 tahun ke atas dan hanya sepertiga yang punya murid. Artinya bukan tidak mungkin satu atau dua dekade ke depan ketika para pembuat jamu pensiun dan resepnya tidak diturunkan maka lama-lama akan hilang.
ADVERTISEMENT
Dengan resepnya hilang maka pedagang tidak akan menjual, jika pedagang tidak menjual maka petani juga tidak akan menanam. Jika petani tidak menanam, maka bahan-bahan jamu bisa saja punah kapanpun.
“WHO pada tahun 2012 mengatakan sesuatu yang sangat menarik, dia bilang jangan sampai obat untuk penyakit masa depan keburu punah sebelum penyakitnya datang,” lanjutnya.
Hal ini membuat industri jamu perlu melakukan pembinaan-pembinaan terhadap petani rempah. Seperti yang terjadi ketika dunia perkopian meledak, industri-industri kopi juga turun ke petani untuk melakukan pembinaan dari mulai penanaman, perawatan, sampai perlakuan pascapanen.
“Sehingga dari hulu ke hilir, bisa menyajikan produk dengan kualitas yang tinggi,” ujarnya.
Jika bisa dikemas lebih menarik dan diolah dengan teknik yang tepat, bukan tidak mungkin jamu akan menjadi gaya hidup di tengah masyarakat seperti yang terjadi pada teh dan kopi. Apalagi jika menelusuri sejarahnya, jamu berasal dari bahasa Jawa Kuna, yakni jampi husada yang berarti doa kesehatan.
ADVERTISEMENT
“Sewajarnya jamu adalah gaya hidup, doa bisa bermacam-macam, beda agama beda doa, tapi yang pasti tujuannya satu. Jadi kalau maknanya doa kesehatan, apakah hanya berdoa ketika sakit? Tidak. Doa seharusnya dilakukan secara rutin, jadi artinya jamu bukanlah sesuatu yang diminum ketika sakit, tapi secara rutin,” ujar Jony. (Widi Erha Pradana / YK-1)