Musik Ignatia Nilu, Berserah pada Kepurbaan Gua Tabuhan Pacitan

Konten dari Pengguna
25 Oktober 2019 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ignatia Nilu dalam poster October Meeting
Alunan musik mengalun dengan tempo lambat siang itu. Lama-kelamaan, suara yang menyerupai tabuhan gamelan itu berbunyi dengan tempo yang semakin cepat. Suara itu tidak berasal dari panggung pertunjukan gamelan Yogya-Solo atau pertunjukan wayang kulit. Suara itu berasal dari dalam gua yang masih aktif di daerah Pacitan, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Namanya gua Tabuhan, berada di Desa Wereng, Kecamatan Punung, sekitar 20 kilometer di sebelah barat pusat kota Pacitan. Dari perut gua itulah suara-suara yang menyerupai gending-gending gamelan itu berasal. Tapi di dalam Gua Tabuhan ternyata tak ada gamelan sama sekali. Hanya ada beberapa orang yang tengah menabuh stalaktit dan stalakmit secara bergantian hingga menghasilkan irama laiknya gending Jawa.
Beberapa stalaktik masih meneteskan air, tanda gua itu merupakan gua aktif. Semburat cahaya juga menyelusup lewat mulut gua, memberikan sedikit penerangan di dalam gua.
Suasana magis di dalam gua itu diceritakan oleh Ignatia Nilu, seorang kurator independent, komposer, dan produser budaya, ketika dia melakukan riset untuk mengadakan pertunjukan musiknya di Gua Tabuhan.
ADVERTISEMENT
“Target Juli tahun depan. Kan pas juga, sudah nggak hujan, nggak terlalu panas juga,” kata Nilu ketika ditanya kapan pertunjukannya di gua Tabuhan akan digelar, setelah mengisi diskusi dalam October Meeting, di Tembi Rumah Budaya, Bantul, DIY, Rabu (23/10).
Tabuhan Project
Stalaktit dan stalakmit di Gua Tabuhan Pacitan. Foto dokumentasi Ignatia Nilu
Dalam proyek yang dinamai Tabuhan Project itu, Nilu tidak sendiri. Dia berkolaborasi dengan dua rekannya, Elisabeth Schimana, seorang komponis Austria dan Misbach Daeng Bilok, seorang pegiat seni musik yang sudah lama bergelut dengan instrumen musik bambu. Sudah sejak akhir tahun lalu Nilu menyiapkan proyek ini, sekarang, persiapannya sudah mencapai 40 persen.
Sebelumnya, Nilu sempat mencari gua-gua di daerah Gunungkidul yang cocok untuk proyeknya itu. Sayangnya, gua-gua di Gunungkidul ternyata tidak ada yang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Kebanyakan, karateristik gua di Gunungkidul adalah gua vertikal yang sulit diakses. Hal itu tentu akan sangat menyulitkan proses persiapan maupun pelaksanaan pertunjukannya.
ADVERTISEMENT
“Audiens kan nanti susah juga ya,” kata Nilu.
Di Gunungkidul nihil, Nilu dan timnya geser ke tempat lain di Solo. Namun di Solo ternyata juga tidak ada gua yang sesuai dengan kebutuhan pertunjukannya. Hingga akhirnya dia mendapatkan informasi tentang Gua Tabuhan yang ada di Pacitan.
Mendekatkan Manusia dengan Alam
Penanda situs Gua Tabuhan Pacitan. Foto dokumentasi Ignatia Nilu
Perkembangan teknologi dengan segala inovasinya lambat laun dirasa menjauhkan manusia dengan alamnya. Padahal, menurut Nilu, teknologi awalnya tercipta sebagai respons atas fenomena alam yang ada. Gampangnya, alam yang dulunya merupakan sumber inspirasi, kini justru sangat jauh dengan kehidupan manusia.
“Kami percaya sebenarnya alam ini akan menjawab tantangan di masa depan. Artinya masa depan kita adalah alam,” kata kurator dan penulis kelahiran Salatiga, Jawa Tengah ini.
ADVERTISEMENT
Dari refleksinya atas relasi manusia, teknologi, dan alam tersebut, Nilu mencoba menciptakan inovasi untuk mementaskan sebuah presentasi bunyi dengan cara-cara yang tidak merusak alam. Presentasi bunyi ini tidak hanya soal musik-musik yang harmonis, tapi juga bunyi-bunyi yang disharmonis seperti yang dihasilkan alam.
Nilu mengerjakan gagasannya dengan menjadikan Gua Tabuhan sebagai instrumen musik dalam proyeknya. Dalam pertunjukannya nanti, Nilu juga tidak akan memakai pengeras suara atau loadspeaker. Tujuannya, supaya audiens benar-benar mendengar orisinalitas bunyi-bunyi yang dihasilkan dari elemen alam.
Alasan lain Nilu tak memakai instrumen-instrumen modern dalam proyek ini karena dia menilai modernisme sangat berdampak bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Yang paling sederhana, misalnya, kabel. Untuk membuat kabel dibutuhkan tembaga, sementara untuk mendapatkan tembaga maka harus ada pertambangan. Itu hanya satu elemen kecil yang wajib dipakai dalam instrumen-instrumen modern.
ADVERTISEMENT
Ekologi Gua
Salah satu sudut Gua Tabuhan Pacitan. Foto dokumentasi Ignatia Nilu
Masyarakat Pacitan di sekitar Gua Tabuhan begitu antusias dengan apa yang sedang dikerjakan oleh Nilu dan kawan-kawannya. Nilu bahkan merasa heran ketika melihat rasa ingin tahu masyarakat di sana begitu tinggi. Dari konteks sosial, Nilu sadar bahwa Gua Tabuhan memiliki relasi kuat dengan kehidupan masyarakat setempat. Terlebih selama ini sudah sering dilakukan pementasan oleh masyarakat di sana dengan menabuh stalaktit dan stalakmit.
Namun, pementasan di gua, menurut Nilu, masih perlu dikaji lebih jauh, terutama dari sisi ekologinya. Ada potensi kerusakan gua jika stalaktit terus menerus ditabuh dalam jangka waktu yang lama.
“Seharusnya dikawal oleh para akademisi dan praktisi yang sekarang belum ada di sana (Gua Tabuhan),” kata Nilu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, persepsi budaya yang berkembang di tengah masyarakat bahwa stalaktit bisa terus menerus bisa dijadikan sebagai instrument musik harus diubah sedikit demi sedikit. Bahwa penabuhan stalaktit dan stalakmit juga merupakan intuisi artistik masyarakat, maka penggeseran persepsi harus dilakukan perlahan. Menurutnya, harus ada seseorang yang menawarkan metode lain tanpa harus meninggalkan tradisi yang sudah ada.
“Alih-alih dengan menabuh seluruh stalaktik yang ada di sana, pelan-pelan digeser bahwa kita bisa bermain dengan yang lain tanpa meninggalkan tradisi yang ada di sana,” kata Nilu.
Dalam pertunjukannya nanti, Nilu tidak sepenuhnya menggunakan bunyi-bunyi dari tabuhan stalaktit dan stalakmit. Bunyi stalaktit dan stalakmit itu nantinya akan berfungsi sebagai tolakan musiknya saja.
Teknologi Akustik Purba
Gua Tabuhan menyediakan ruang akustik yang tak kalah dengan amfiteater modern, bahkan mungkin lebih baik. Foto dokumentasi Ignatia Nilu.
Sebagai kurator di ARTJOG, sebuah festival seni kontemporer internasional yang berpusat di Yogyakarta, Nilu tahu, untuk menyewa instrumen-instrumen modern seperti sound system tidaklah murah. Jadi pertanyaannya, bisakah seniman merespons apa yang sudah disediakan oleh alam tanpa harus mengubah lelaku karyanya ?.
ADVERTISEMENT
“Waktu saya ke sana (Gua Tabuhan), pertanyaan itu langsung terjawab,” kata Nilu.
Pertama melihat, mendengar, dan merasakan suasana di Gua Tabuhan, Nilu langsung jatuh cinta. Menurutnya, arsitektur dan akustik Gua Tabuhan sangat indah. Di sana, dia mendapat pengalaman bunyi dan visual sekaligus.
“Misalnya arsitektural stalaktitnya itu gila banget. Warnanya, terus dinamikanya, bahkan suhunya, karena semakin dalam kan semakin dingin,” katanya.
Dunia modern memiliki amfiteater, tempat di mana masyarakat urban bisa mendapatkan fenomena akustik di ruang terbuka bersama alam. Dunia tradisional, sebenarnya malah memiliki teknologi akustik purba yang sudah disediakan oleh alam tanpa intervensi manusia.
“Dan di sini, manusia diajak berkolaborasi, tidak hanya mengintervensi,” jawab Nilu kenapa kita harus datang ke pertunjukannya pertengahan tahun depan.
ADVERTISEMENT
Satu lagi yang membuat Tabuhan Project sangat sayang dilewatkan adalah komposisi musiknya sangat spesifik. Artinya, komposisi musiknya bukanlah komposisi tunggal untuk dimainkan ulang di banyak tempat. Alih-alih, karya yang akan ditampilkan akan mengikuti ruang yang ada, sesuai site spesifik Gua Tabuhan.
“Dan yang jelas, saya tidak ingin memementaskan satu komposisi dengan cara yang sangat barat untuk dilihat oleh orang-orang timur,” kata dia. (Widi Erha Pradana / YK-1)