Musim Penghujan Datang Terlambat, Waspada Potensi Bencana Lebih Besar

Konten dari Pengguna
19 Desember 2019 8:41 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Banjir di area Jalan Peternakan II dan Kupuk Raya, Kapuk Muara, Jakarta Utara pada Maret 2019. Foto : Ferry Fadhlurrahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Banjir di area Jalan Peternakan II dan Kupuk Raya, Kapuk Muara, Jakarta Utara pada Maret 2019. Foto : Ferry Fadhlurrahman/kumparan
ADVERTISEMENT
Mundurnya musim penghujan selama hampir dua bulan bukan hanya mengakibatkan kekeringan di sejumlah daerah. Ketua Pusat Unggulan dan Inovasi Teknologi Mitigasi Kebencanaan GAMA-InaTEK, Teuku Faisal Fathani, mengatakan terlambatnya musim penghujan hingga dua bulan ini juga berpotensi memicu bencana alam lain seperti banjir dan tanah longsor.
ADVERTISEMENT
Menurut Faisal, terlambatnya musim penghujan seperti sekarang membuat intensitas hujan akan semakin tinggi dengan durasi yang pendek. Padahal, kemampuan drainase untuk mengalirkan air ke badan-badan sungai dan laut juga membutuhkan waktu.
"Kita harus siap-siap dan mewaspadai, karena ketika hujan itu turun dengan durasi yang pendek dan intensitas tinggi itu biasanya akan muncul bencana-bencana yang kita sebut water related disaster, atau bencana terkait keairan," ujar Faisal ketika ditemui di UGM, Selasa (17/13).
Bencana-bencana terkait keairan itu misalnya banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya.
Pakar Hidrologi dari Departemen Teknik Sipil UGM, Rachmad Jayadi, mengatakan dari sisi kesiapsiagaan semestinya soal musim penghujan yang datang terlambat tak jadi soal. Sebab, siklus periode musim penghujan sebenarnya sudah ada, jadi meskipun ada ketidaksesuaian dengan siklus normal, seharusnya kesiapsiagaan tetap dilakukan.
ADVERTISEMENT
"Tapi mungkin saja karena musim hujannya mundur, kita jadi terlena. Mungkin yang sebelumnya sudah disiapkan, tapi kok hujannya nggak turun-turun. Ketika terjadi hujan besar, kita jadi kewalahan," kata Rachmad Jayadi ketika ditemui di tempat kerjanya, Rabu (18/12).
Bencana Tanah Jenuh
Menurut Faisal, secara langsung memang tidak bisa diprediksi apakah potensi bencana banjir dan tanah longsor tahun ini lebih besar dibandingkan tahun lalu. Namun jika musim hujan tertunda, sementara curah hujan masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, maka dapat dipastikan akan ada akumulasi tinggi curah hujan di saat-saat tertentu. Akumulasi curah hujan yang tinggi inilah yang menurut Faisal perlu diwaspadai.
"Tetapi nanti di akhir-akhir musim hujan, ketika tanah mulai jenuh, ketika badan air telah terisi oleh banyak air, maka potensi terjadinya bencana keairan itu bisa lebih tinggi," lanjut Faisal.
ADVERTISEMENT
Perlu AMDAL Banjir
Pakar Hidrologi Departemen Teknik Sipil UGM, Rachmad Jayadi. Foto: Widi Erha
Dalam mengatasi bencana, menurut Rachmad Jayadi tak cukup hanya menyiapkan penanganan saat terjadi bencana saja. Pembangunan infrastruktur yang berlangsung secara masif menurutnya juga perlu mendapat perhatian lebih. Sebab, setelah ada infrastruktur dengan skala besar, otomatis akan mengubah karakteristik hidrologi.
Akibat pembangunan yang besar, permukaan tanah akan semakin rapat, sehingga ketika hujan turun, sebagian besar airnya akan menjadi limpasan atau run off. Ketika pembangunan semakin luas, maka air limpasan dari hujan akan semakin besar.
Beberapa upaya sebenarnya sudah dilakukan dengan adanya sumur resapan dan sistem biopori.
"Tapi itu tidak imbang antara peningkatan luas lahan yang terdampak pembangunan pembangunan dengan upaya-upaya itu. Itu hanya mampu untuk skala kecil," ujar Jayadi.
ADVERTISEMENT
Karena itu, sebelum adanya pembangunan dalam skala besar itu, kata Jayadi diperlukan regulasi khusus agar tidak mengakibatkan banjir.
"Kita perlu AMDAL spesifik, saya mengusulkan AMDAL banjir. Menurut saya sudah waktunya," lanjut Jayadi.
AMDAL khusus ini menurut Jayadi merupakan antisipasi bencana banjir yang perlu dilakukan di tahap perencanaan pembangunan. Peruntukan AMDAL banjir menurut Jayadi sangat penting, tidak hanya diterapkan dalam pembangunan oleh pemerintah, tapi juga swasta. Terlebih secara teori menurutnya ilmu hidrologi sudah sangat memadai didukung dengan teknologi yang semakin canggih.
"Ini hal yang baru mungkin, yang jelas pasti ada konsekuensinya, ada dampaknya, bahwa nanti pembangunan itu kan nanti pasti memerlukan alokasi biaya. Tetapi itu jauh lebih kecil dengan biaya yang dikeluarkan misalnya ketika terjadi banjir bandang," lanjut Jayadi.
ADVERTISEMENT
Jika kebijakan seperti itu tidak segera diterapkan, maka yang akan terus dirugikan adalah publik, alih-alih swasta yang memiliki infrastruktur tersebut. Saat ini, di dalam AMDAL memang sudah menyinggung dampak banjir, namun kata Jayadi masalah itu belum ditindaklanjuti dengan kajian yang detail.
"Sudah saatnya membuat AMDAL khusus untuk dampak banjir, tata cara, pedomannya, nanti bisa dibangun bersama antara pemerintah, swasta, dan juga masyarakat kampus," tegas Jayadi.
Langkah Antisipasi
Ketua Pusat Unggulan dan Inovasi Teknologi Mitigasi Kebencanaan GAMA-InaTEK, Teuku Faisal Fathani. Foto : ESP
Faisal mengatakan, bencana alam perlu dilihat secara holistik dari berbagai segi. Dalam siklus bencana, dikenal istilah 4R, yaitu risk reduction atau pengurangan risiko, readiness atau kesiapan dalam menghadapi bencana.
Selanjutnya adalah response yang dilakukan ketika bencana terjadi, serta yang terkahir adalah recovery, yakni penyiapan diri untuk musim bencana tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
"Biasanya kita hanya fokus pada response dan recovery. Tapi reduction dan readiness ini yang kurang," kata Faisal.
Karena itu, perlu ada upaya lebih untuk memperbaiki sektor pengurangan risiko dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Langkah pertama yang perlu dilakukan menurut Faisal adalah pemetaan multi-bencana.
"Seperti yang kita lakukan di Kabupaten Trenggalek, kita melakukan pemetaan multi-bencana. Di mana yang rawan tsunami, di mana longsor, di mana banjir, di mana kekeringan," kata Faisal.
Data terkait kondisi masyarakat juga sangat penting dalam upaya pengurangan risiko dan peningkatan kesiapsiagaan bencana. Misal, dalam suatu daerah diketahui masyarakatnya kuran berolahraga, maka perlu diadakan program olahraga yang baik. Atau masyarakatnya kurang tidur, maka mereka perlu diberikan relaksasi agar bisa istirahat dengan baik.
ADVERTISEMENT
"Jadi kita melakukan mapping, setelah itu kita masuk ke ranah untuk menentukan action plan, kita akan melakukan apa dengan hasil mapping kita ini," ujar Faisal.
Action plan itu misalnya dengan melakukan penanggulangan daerah-daerah rawan banjir melalui penyadaran masyarakat.
Saat action plan telah ditentukan, langkah berikutnya merambah ke kebijakan dan regulasi. Meski sudah ada action plan, misal tidak boleh membangun bangunan di sempadan sungai, namun jika tidak ada kebijakan dan regulasi yang mengatur maka masyarakat akan tetap membangun bangunan di daerah terlarang itu.
"Jadi yang pertama tadi mapping, kedua action plan, ketiga ada policy dan regulasi, dan yang keempat adalah pelaksanaan yang terintegrasi," kata Faisal.
Dalam penanganan dan penanggulangan bencana menurut Faisal memang tidak bisa hanya mengandalkan salah satu pihak saja. Perlu ada kontribusi semua pihak baik pemerintah, akademisi, juga masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Upaya masyarakat ini penting, sebab menurut Faisal, ketika ada bencana besar, 30 persen lebih upaya penyelamatan sebenarnya dilakukan oleh masyarakat sendiri.
"Sehingga yang paling penting sebenarnya penyadaran, kamu tinggal di daerah rawan bencana, terus apa yang harus kamu persiapkan," lanjut Faisal.
Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor
UGM bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan kerja sama untuk membuat sistem peringatan dini tanah longsor dan multi bencana. Dari 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten/kota di Indonesia, sistem peringatan dini ini sudah dipasang di 32 provinsi dan 120 kabupaten/kota.
Tak hanya itu, sistem peringatan dini ini juga sudah diekspor ke luar negeri seperti Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Argentina, dan sejumlah negara lainnya. Sistem peringatan dini tanah longsor dan multi bencana tersebut dibuat berdasarkan standar internasional yang diusulkan oleh UGM dengan tim yang diketahui oleh Teuku Faisal Fathani.
ADVERTISEMENT
"Sehingga seluruh dunia kalau mau menerapkan sistem peringatan dini longsor harus mengikuti sistem yang dikembangkan di UGM. Namanya ISO 22327 2018 tentang sistem peringatan dini longsor dan ISO 22328-1 2019 itu untuk multi-bencana," kata Faisal.
Sistem peringatan dini itu terdiri atas empat kuadran, risk asesmen atau penilaian risiko, diseminasi dan sosialisasi, warning system dan warning services, serta kemampuan merespon bencana.
"Nah ini semua dirangkum dalam ISO. Jadi namanya sistem peringatan dini multi-bencana harus ada penilaian risiko, harus ada diseminasi komunikasi, harus ada tim siaga bencana, harus ada SOP, harus ada peta evakuasi, harus ada alat pemantau, dan harus ada komitmen," ujar Faisal.
Faisal berharap dengan sistem peringatan dini yang sudah diterapkan, Indonesia bisa mengurangi potensi bencana secara signifikan pada musim penghujan tahun ini. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT