Nadiem Makarim Mesti Coba Pembelajaran Matematika Realistik

Konten dari Pengguna
25 November 2019 12:46 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa belajar matematika. Foto dari : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa belajar matematika. Foto dari : Pixabay
ADVERTISEMENT
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya pintar matematika? Hampir bisa dipastikan orang tua selalu ingin anaknya pintar 'bahasa angka' ini. Masih melekat sangat kuat dalam ingatan saya ketika SD dulu, bagaimana orang tua saya marah besar ketika mendapati nilai matematika saya hanya 60. Namun jika mata pelajaran bahasa, olahraga, atau seni budaya hanya dapat 40, orang tua saya tak pernah mempersoalkan.
ADVERTISEMENT
Doktrin kebanyakan orang tua kepada anaknya agar pintar matematika sangat masif, bahkan ketika si buah hati masih sangat belia. Tapi jika melihat hasil tes Program for Internatonal Student Assessment (PISA), dari 72 negara yang dinilai, skor matematika siswa Indonesia masih ada di 10 besar terbawah. Fakta itu tentu saja sangat kontras dengan bagaimana orang tua di Indonesia mendoktrin anak-anaknya untuk menguasai matematika sejak dini.
Dosen Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNY, Atmini Dhoruri, mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi dunia matematika kita saat ini karena ada kesalahan dalam cara pembelajaran. Cara belajar matematika kita sampai sekarang masih sangat abstrak, sehingga siswa cenderung hanya menghafal rumus-rumus tanpa pernah memahami untuk apa sebenarnya dia belajar itu.
ADVERTISEMENT
“Seharusnya dari awal pembelajarannya lebih realistik, yang lebih dekat dengan siswa. Itu harus dimulai sejak masih SD,” ujar Atmini pekan lalu.
Dosen Matematika Pascasarjana UNY, Sugiman, mengatakan bahwa hampir semua negara berkembang mengalami persoalan serupa dalam dunia matematika. Rendahnya skor tes PISA negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia, menurut Sugiman karena adanya perbedaan indikator penilaian dengan yang diajarkan kepada siswa.
Dalam standar PISA, menurut Sugiman penilaian yang dilakukan bukan sekadar matematika formal, tapi bagaimana siswa dapat mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan matematika.
“Kita belum pernah diajarkan secara mendasar, bagaimana sih berkreasi, bagaimana memecahkan masalah, sehingga ketika diberikan soal yang levelnya memecahkan masalah, barangkali siswa itu ngerti maksudnya saja tidak,” ujar Sugiman.
ADVERTISEMENT
Karena itu, teori pembelajaran matematika yang paling cocok untuk diterapkan, khususnya dalam level pendidikan dasar adalah pembelajaran matematika realistik. Terlebih pembelajaran matematika realistik memang didesain khusus untuk mengembangkan dunia matematika.
“Beda dengan metode lain seperti CTL (Contextual Teaching and Learning), Inquiry, PBL (Problem Based Learning), yang bisa digunakan di semua mata pelajaran. Kalau ibarat dokter, matematika realistik itu dokter spesialis, bukan dokter umum,” kata Sugiman.
Pembelajaran Matematika Realistik
Dosen Matematika Paskasarjana UNY, Sugiman. Foto oleh : Widi Erha
“13 + 24 berapa mas?” tanya Sugiman kepada saya sembari meletakkan kertas berisi angka 13 dan 24 di meja depan kami.
“37 Pak,” jawab saya, bukan hal sulit hanya untuk menjumlahkan dua bilangan itu.
“Gimana caranya?” tanya Sugiman.
“4 ditambah 3 kan 7, 1 ditambah 2 hasilnya 3. Jadi hasil akhirnya 37,” jawab saya.
ADVERTISEMENT
“Terlalu cepet, itu kan kalau yang sudah pinter matematika,” kata Sugiman.
Dia lalu melepas kertas yang berisi angka 3 dan di baliknya ternyata ada angka 0, sehingga tertinggal angka 10. Begitu juga dengan bilangan 24, dia ambil angka 4 sehingga tinggal menyisakan angka 20. Angka 3 dijumlahkan dengan 4, sedangkan 10 ditambahkan dengan 20. Hasil keduanya ditambahkan satu sama lain sehingga menghasilkan 37.
“Kalau gitu kan anak juga tahu, oh 13 ternyata terdiri dari 10 dan 3. 24 ternyata terdiri dari 20 dan 4. Jadi mereka tahu prosesnya, tahu asal mulanya,” ujar Sugiman yang saya balas dengan anggukan.
“Berarti lama dong pak? Harus sabar banget gurunya,” tanya saya lagi.
“Ya memang, kuncinya matematika realistik itu gurunya mau nggak berkorban? Bisa nggak sabar?” jawab Sugiman.
ADVERTISEMENT
Sedikit penggambaran Sugiman setidaknya memberikan gambaran dalam bayangan saya bagaimana seharusnya seorang guru, khususnya guru di pendidikan dasar mengajar matematika. Metode yang dipraktikkan oleh Sugiman merupakan penerapan teori Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
PMR atau Realistic Mathematics Educations (RME) pertama kali dikembangkan oleh matematikawan Belanda, Hans Freudental pada 1977. Menurut Freudental, matematika harus dekat dengan kehidupan nyata dan relevan dengan siswa dan serta kehidupan masyarakat. Sehingga, matematika dapat memiliki nilai manusiawi.
Namun, teori ini tentu tidak bisa ditelan bulat-bulat, penerapannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di tiap negara. Di Indonesia, RME mulai dikembangkan sejak 1998 dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Bukan hanya di Indonesia, RME juga sudah diterapkan di banyak negara, tentunya dengan nama dan penyebutan yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
“Karena yang diserap bukan namanya, tapi napasnya, ruh-ruhnya. PMRI suatu teori belajar matematika yang tidak peduli pada kurikulum, di kurikulum manapun bisa masuk, karena dia teori belajar,” ujar Sugiman.
Ada empat tingkatan dalam matematika realistik, konkret, model dari konkret, model untuk abstrak, dan abstrak atau matematika formal. Konkret yang dimaksud di sini adalah contoh nyata yang bisa ditemukan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan abstrak adalah bentuk ketika matematika sudah menjadi rumus-rumus. Sementara model dari konkret dan model menuju abstrak adalah jembatan, supaya siswa bisa memahami bagaimana bentuk abstrak tersebut dihasilkan.
“Namun kelemahan yang di lapangan adalah begitu konkret, langsung loncat ke abstrak. Di tengahnya itu enggak ada,” ujar Sugiman.
ADVERTISEMENT
Model pembelajaran matematika realistik lahir di sekolah dasar. Sebab, di matematika dasar penuh dengan fenomena-fenomena konkret yang bisa diangkat ke abstrak. Misalnya materi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, volume bangun ruang, dan sebagainya yang semuanya mudah disajikan secara konkret. Berbeda dengan matematika-matematika yang sudah di tingkat SMA, dimana untuk menyajikannya secara realistik akan lebih sulit.
Meski sudah cukup lama digagas di Indonesia, namun sampai sekarang perkembangan PMRI belum terlalu menggembirakan. Menurut Sugiman, hal itu karena fundamental PMRI tak bisa dikuasai oleh guru secara instan. Sebab, matematika realistik ini bukanlah teori yang sederhana, perlu ketelatenan tingkat tinggi yang dimiliki setiap guru untuk menerapkan model pembelajaran ini.
Guru Harus Mau Berkorban
Ilustrasi dari Pixabay
Karena langsung berinteraksi dengan siswa, peran guru dalam pembelajaran matematika realistik menjadi sangat sentral. Namun pertanyaan selanjutnya, maukah guru-guru kita berkorban lebih banyak lagi?
ADVERTISEMENT
Ya, sebab menurut Sugiman, guru harus memiliki kesabaran, ketelatenan, dan kreativitas tingkat tinggi untuk menemani siswanya berproses. Guru yang tingkatan matematikanya sudah di tingkatan abstrak harus mau menjemput siswanya ke bawah. Sayangnya, menurut Sugiman sangat sedikit guru yang telaten mengajari siswanya satu-satu menggunakan model seperti itu.
Untuk menjemput siswa dari tingkatan konkret menuju tingkat abstrak, guru membutuhkan sebuah jembatan seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Jembatan inilah yang tidak semua guru bisa membuatnya. Karena itu, selain harus menyadari perannya, harus tahu bagaimana menjalankan perannya.
“Jadi pertama paradigma guru harus diubah, karena guru memegang peranan penting. Maukah guru susah payah menjemput siswanya ke atas? Kalaupun mau adakah kompetensi guru itu?” ujar Sugiman yang juga sudah aktif berkecimpung di PMRI sejak awal digagas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Sugiman, permasalahan guru inilah yang perlu diperbaiki pertama kali. Perbaikan itu mencakup dua poin utama, kesadaran guru untuk mau turun ke bawah dan kemampuannya membuat jembatan untuk membawa siswa dari tingkat konkret menuju abstrak.
Tapi, tugas guru kan sekarang sudah sangat berat dengan segala pekerjaan administrasinya?
Solusinya adalah dengan memberikan lebih banyak tuntunan dan tontonan kepada guru, memberikan panduan dan contoh-contoh yang lebih eksplisit untuk memudahkan pekerjaan guru. Semua bahan dan fasilitas yang diperlukan untuk mengajar matematika secara realistik disiapkan, sehingga guru hanya tinggal memakai saja.
“Jadi seperti dimanjakan guru itu. 70 persen (bahan ajar) disiapkan oleh tim, 30 persen guru berkreasi,” ujar Sugiman.
Berjalan Bersama Teknologi
Memberikan pelatihan matematika realistik kepada guru di seluruh Indonesia tentu bukan perkara gampang, tak bisa instan dan yang jelas butuh biaya besar. Sugiman melihat perkembangan teknologi yang ada menjadi sebuah potensi besar bagaimana agar penerapan matematika realistik bisa lebih efisien.
ADVERTISEMENT
“Jadi kumpulkan ahli dari berbagai bidang untuk membuat aplikasi tentang matematika realistik yang bisa didownload oleh semua guru di Indonesia, bagus banget itu,” kata dia.
Melihat Nadiem Makarim yang menjabat sebagai Mendikbud sekarang memiliki latar belakang teknologi yang baik, Sugiman berharap nantinya akan ada gebrakan-gebrakan pemanfaatan teknologi untuk menerapkan matematika realistik.
Ilmu matematika merupakan dasar berpikir yang tetap dan tidak berubah, tidak seperti ilmu teknologi yang sangat cepat perkembangannya. Sehingga, pembuatan aplikasi cukup dilakukan sekali untuk digunakan 10 atau 20 tahun ke depan, tidak seperti buku LKS yan setiap semester harus diganti. Di samping itu, pemanfaatan teknologi seperti aplikasi ini juga dinilai sangat membantu guru dalam membuat jembatan-jembatan dalam matematika realistik.
ADVERTISEMENT
“Kalau Pak Nadiem tahu (matematika realistik) ini, mungkin saya bisa diundang,” ujar Sugiman diikuti gelak tawa.
Namun, yang perlu diperhatikan juga jangan sampai teknologi itu nantinya justru mengesampingkan aktivitas siswa untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Jika hal itu terjadi, maka yang ada siswa hanya pintar matematika namun tidak bisa mempresentasikan atau mengemukakan gagasan dan idenya dengan meyakinkan.
“Siswa ke sekolah tidak untuk mencari informasi, tapi untuk belajar berkreasi. Jadi matematika realistik memberikan kesempatan anak untuk mengemukakan gagasan dan idenya, keberanian untuk mengemukakan gagasan itu poin penting di matematika realistik,” ujar Sugiman. (Widi Erha Pradana / YK-1)