NASA Bantah Matahari Lockdown Akan Sebabkan Berbagai Bencana

Konten dari Pengguna
19 Mei 2020 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : ESA/NASA
zoom-in-whitePerbesar
Foto : ESA/NASA
ADVERTISEMENT
Matahari lockdown yang tren di media sosial dan mesin pencarian beberapa hari terakhir banyak dikaitkan dengan akan datangnya bencana musim dingin berkepanjangan. Dalam sebuah tanya jawab komentar di blog Global Climate Change, NASA (The National Aeronautics and Space Administration) membantah hal tersebut.
ADVERTISEMENT
NASA Global Climate Change telah memuat artikel mengenai lockdown matahari pada 13 Februari lalu namun kolom komentar kembali ramai dalam beberpaa waktu terakhir.
Apa sebenarnya matahari lockdown? Itu adalah masa dimana matahari tengah memasuki masa istrahat. Setelah tahun-tahun sibuk, melewati periode letusan dahsyat dan ledakan magnetik yang mengirim kilatan radiasi ke ruang angkasa, sudah 100 hari di tahun ini tidak ada bintik matahari terdeteksi.
Bola gas berpijar ini akan memasuki periode yang disebut sebagai periode Dalton Minimum (yang merujuk pada seorang meteorologis asal Inggris, John Dalton yang menemukan fenomena aktivitas minimum matahari ini di akhir 1700-an).
Itu adalah fase dimana, bintik matahari atau sun spot menghilang sehingga berdampak pada penurunan sinar matahari yang amat drastis. Medan magnet matahari akan melemah, yang membuat sinar kosmik ekstra ke tata surya. Kelebihan sinar kosmik ini akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronom.
ADVERTISEMENT
Dalam periode minimum, matahari tidak menjadi kurang aktif melainkan tetap aktif namun dalam cara berbeda. Periode minimum ini menarik bagi astronom dan ilmuwan untuk mengetahui bagaimana pengaruh aktivitas matahari pada cuaca di luar angkasa.
Narasi Bencana Berhamburan
Periode minimum matahari yang berdampak besar pada manusia pernah terjadi antara 1790 dan 1830 ketika jumlah bintik matahari dan aktivitas matahari berkurang. Itu adalah periode suhu yang lebih rendah dari rata-rata biasa. Periode tersebut ditandai dengan cuaca yang sangat dingin, gagal panen, kelaparan dan letusan gunung berapi.
Temperatur turun hingga 2 derajat Celsius selama lebih dari 20 tahun, suhu begitu rendah hingga Sungai Thames membeku dan di langit terjadi badai petir. Pada 1816, tercatat salju turun di bulan Juli, itu adalah tahun yang sering disebut sebagai “tahun tanpa musim panas.” Letusan Gunung Tambora pada April 1815 turut menyumbang penurunan suhu ini. Bersama-sama, semua itu menyebabkan gangguan pangan dunia, dan kerusuhan menyebar di seluruh Eropa.
ADVERTISEMENT
Saat ini kita sedang menghadapi persebaran coronavirus, yang mengguncang sistem kesehatan dan juga perekonomian. Peradaban manusia seperti berlari kencang menuju kehancuran, bencana demi bencana datang di saat bersama. Namun sebenarnya, periode minimum matahari pada tahun ini menurut NASA adalah fenomena biasa, putaran matahari bervariasi dari waktu ke waktu dalam pola 11 tahun yang biasa disebut siklus matahari.
Siklus Alami
climate.nasa.gov
Dalam sebuah postingan blog dari Global Climate Change, NASA dengan jengkel membantah akan adanya “jaman es mini” yang disebabkan penurunan energi matahari dalam beberapa dekade mendatang. “Ini hanya menjelaskan bahwa matahari melewati siklus aktivitas alami, terkadang menghasilkan banyak energi dengan banyak bintik matahari dan terkadang lebih sedikit energi dengan lebih sedikit bitnik,” jelas NASA.
ADVERTISEMENT
Namun, penurunan aktivitas matahari ini pernah mencapai titik terendah, kondisi yang NASA sebut sebagai kondisi Grand Solar Minimum. Yang menurut NASA kondisi tersebut mencapai puncak pada kejadian akhir 1600-an (100 tahun sebelum kejadian akhir 1700-an), saat suhu global turun dan sering disebut sebagai zaman es kecil. Kondisi penurunan pada masa itu juga sering disumbang oleh peningkatan aktivitas vulkanik.
“Bahkan jika Grand Solar Minimum bertahan satu abad, suhu global akan terus menghangat, karena lebih banyak faktor daripada hanya variasi dalam energi matahari yang mengubah suhu global di bumi, yang paling dominan saat ini adalah pemanasan yang berasal dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia,” kata NASA.
NASA menekankan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil masih enam kali lebih besar daripada pendinginan apapun yang bisa dimunculkan dari Grand Solar Minimum. Dampak perubahan iklim pada bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia masih lebih besar daripada dampak yang bisa ditimbulkan dari periode minimum matahari.
ADVERTISEMENT
Tak Perlu Risau
Menurut Jeff Knight, seorang ilmuwan dari Met Office, minimum matahari memang berkontribusi pada musim dingin yang lebih dingin. Dia mencontohkan pada minimun matahari terakhir yang terjadi pada 2008 dan 2010 yang mengakibatkan musim dingin yang lebih dingin dari biasanya di Inggris.
Sedangkan menurut Mather Owens, seorang profesor fisika luar angkasa di Universitas Reading, sejarah tidak akan terulang kembali. Kendati minimum matahari kali ini diperkirakan akan lebih parah daripada sebelumnya, namun kita tidak perlu khawatir bahwa bumi akan memasuki zaman es kecil.
Owens meyakinkan bahwa, “minimum matahari terjadi setiap 11 tahun sekali, jadi ini adalah kejadian yang cukup teratur.” Menurut catatannya, minimum matahari terakhir terjadi pada 2009-2010, yang seharusnya menjadi yang terdalam selama 100 tahun terakhir, dan kita melewati tahun-tahun paska krisis ekonomi dunia itu dengan cukup baik untuk berada di tahun ini, 2020, dimana periode minimum matahari terjadi di tengah pandemi. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)
ADVERTISEMENT