Nasib Pria Lajang di Masa Pandemi, Siapa Peduli?

Konten Media Partner
16 Februari 2021 14:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pria lajang yang ditemani kucingnya. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pria lajang yang ditemani kucingnya. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Masalah kesepian yang mengganggu kesehatan mental semakin menjadi-jadi di masa pandemi ini. Kebijakan demi kebijakan pemerintah demi menekan angka persebaran COVID-19 membuat kegiatan kelayapan dan kongkow-kongkow menjadi lebih sulit dan tidak sesering yang biasanya dilakukan. Meskipun kebijakan ini bisa diakali dengan sangat mudah, tetap saja menyendiri di rumah masih lebih sering dilakukan dengan berbagai alasan dan pembenarannya.
ADVERTISEMENT
Menjadi lelaki lajang yang tinggal sendiri di masa pandemi ini adalah sesuatu yang sulit. Tidak untuk mengatakan bahwa penderitan para pria jomlo lebih istimewa daripada kelompok lainnya, namun penderitaan mereka berbeda. Mereka adalah jenis yang diharapkan tangguh menghadapi dinginnya kesepian di masa pandemi.
Laki-laki lajang adalah demografis yang diabaikan, dan hanya ada sedikit layanan dan dukungan khusus yang ditujukan untuk kesejahteraan mereka. Kelompok melajang sudah bertahun-tahun menjadi sasaran ejekan dan hinaan, dan jenis kelamin laki-laki membuat mereka diharapkan tangguh menghadapi kelajangannya.
Lebih buruk lagi, pria yang belum menikah dapat distigmatisasi dan diejek di sektor masyarakat tertentu, yang dapat membuat banyak pria lajang mempertanyakan gagasan tentang masyarakat inklusif. Semua ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, sebuah penelitian skala besar di AS menemukan bahwa pria yang tidak menikah berusia 40-60 tahun memiliki kemungkinan 3,5 kali lebih besar untuk meninggal karena bunuh diri dibandingkan dengan pria yang menikah dan wanita yang belum menikah. Demikian pula, penelitian besar AS lainnya menemukan bahwa pria yang belum menikah berusia 40-75 tahun memiliki risiko bunuh diri 2 kali lipat dibandingkan dengan pria menikah pada kelompok usia yang sama.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pria lajang memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi daripada pria menikah. Pria lajang memiliki risiko sebesar 3,6%, dua kali lebih berisiko ketimbang pria menikah yang hanya 1,7%. Sementara penelitian lainnya menemukan bahwa pria lajang memiliki tingkat kecanduan yang jauh lebih tinggi daripada demografi lain termasuk pria menikah ataupun wanita lajang.
ADVERTISEMENT
Hasil riset tersebut dimuat oleh Psychology Today, dalam laporan bertajuk, The Mental Health of Single and Divorced Men. Namun data-data tersebut berasal dari penelitian di AS. Beda tempat beda pula hasilnya. Kami menemui beberapa pria jomlo yang hidup sendiri di Jogja.
Komunikasi dan Sentuhan
Ilustrasi pria dan guling. Foto: Istimewa.
Saat orang-orang lebih banyak di rumah, terutama karena anak-anak yang masih pelajar bersekolah dari rumah, membuat orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kesejahteraan keluarganya, dan secara tidak sengaja meninggalkan orang-orang yang melajang sendirian.
Seperti kisah Paijo, dia jomlo seumur hidupnya yang sudah 33 tahun. Dia mengaku sangat sulit untuk bisa berkumpul dengan teman-temannya (yang hampir semuanya sudah menikah) untuk sekedar mengobrol. Dia juga jarang mendapat dukungan dari keluarganya, komunikasinya jarang terjadi, karena dia seorang laki-laki yang sudah lama merantau, dan dianggap sudah terbiasa dengan kondisi ini. Kesendirian adalah hal yang biasa dialaminya dan diharapkan bisa diatasinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai seseorang yang biasa keluar kota setidaknya dua minggu sekali, berada di rumah terus menerus membuatnya benar-benar frustasi. Hari-harinya berisi kegiatan yang sama, melihat langit-langit dan dinding yang sama. Dia bahkan membanting smartphone-nya ketika Google memberikan laporan perjalanan bulanannya. Paijo hanya menempuh jarak total 13 km selama satu bulan. Itu hasil mondar mandir dari rumah kontrakan ke tempat kerja. Hanya 13km!! Itu sebuah penghinaan baginya.
Lain halnya dengan Dudung, lajang 35 tahun ini memilih untuk menghabiskan waktunya dengan berkomunikasi di dunia maya. Dudung melakukan video call ke teman-temannya, dari yang akrab hingga yang tidak. Setidaknya dia bisa melakukan 3-5 kali video call grup dalam seminggu. Dan ketika dia bosan melakukannya, dia mulai mengomentari postingan di Instagram, Facebook dan Twitter dengan harapan seseorang akan membalas komentarnya dan terjadi orbolan panjang.
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan untuk bepergian dan berkumpul bersama teman-teman ini telah merampas kebahagiaan para lajang ini untuk dapat bertahan di kondisi keras pandemi. Begitupun dengan bersentuhan, kebutuhan bersosial manusia yang juga sangat penting setelah berkomunikasi.
Menurut Tiffany Field, direktur Touch Research Institute di Universitas Miami, sentuhan terbukti secara sains sangat krusial untuk menstabilkan mood. Sebaliknya, jika tidak mendapatkannya maka Anda bisa berada dalam kondisi kecemasan dan depresi.
Kebutuhan untuk bersentuhan inilah yang membuat Mantho (30), warga Sleman, membeli bantal guling baru dan bahkan menamainya satu per satu hanya untuk memberi sensasi pelukan yang diinginkannya.
Di saat ratusan ribu orang meninggal, jutaan terinfeksi, masih ditambah miliaran orang miskin baru akibat pandemi ini, dan juga pertarungan para buzzer, siapa yang akan mendengarkan kisah para lelaki lajang kesepian ini. Mereka kelompok rentan. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)
ADVERTISEMENT