Ngelinting Lebih Kena ke Otak, Cara Mahasiswa Hadapi Harga Rokok Naik

Konten dari Pengguna
2 Januari 2020 17:33 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ngelinting jadi pilihan mahasiswa menyiasati kenaikan harga rokok. Foto : Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Ngelinting jadi pilihan mahasiswa menyiasati kenaikan harga rokok. Foto : Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Di sore yang mendung awal tahun ini, Willy Andrian, 21 tahun, berjalan menyusuri Jalan Gejayang yang sedang ramai-ramainya oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Willy adalah mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Sore itu, tujuan di adalah sebuah toko tembakau di Jalan Gejayan, yang hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari indekosnya.
ADVERTISEMENT
Sejak semalam, persediaan tembakaunya habis, asem di bibirnya sudah tak tertahankan. Langkahnya dia percepat, melihat awan hitam yang menyelimuti Jogja seperti sudah tidak kuat menahan butir-butir air yang dikandungnya. Akhirnya sampai juga dia di toko tembakau langganannya, Toko Tembakau Rejeki namanya.
Puluhan kaleng seng (orang Jogja menyebutnya blek), ditata rapi, berjejer, isinya berbagai varian tembakau. Tanpa melihat daftar tembakau yang dijual dulu, Willy langsung menentukan pilihan pada tembakau favoritnya: Gayo.
Willy membali tembakau gayo setengah ons seharga Rp 30 ribu dan empat buah kertas rokok yang masing-masing harganya Rp 500. Persediaan itu bisa bertahan hampir satu minggu, jauh lebih murah ketika dia masih menggunakan rokok konvensional. Saat masih memakai rokok konvensional, sehari Willy bisa menghabiskan satu bungkus rokok seharga hampir Rp 20 ribu.
ADVERTISEMENT
“Kalau mulai coba-coba ngelintingnya sudah setahunan lebih, tapi aktif ngelinting ya dua tiga bulanan ini lah, waktu harga rokok naik pelain-pelan,” kata Willy, Selasa (31/12).
Lintingan Jadi Jawaban
Willy bisa dikatakan perokok berat, kadang dia lebih memilih puasa daripada tidak merokok. Kiriman mingguan dari keluarganya di Padang yang pas-pasan mengharuskan dia mengatur keuangan sebaik mungkin. Naiknya harga rokok karena kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok sangat terasa untuk dia.
“Untungnya masih ada (tembakau) gayo. Kalau enggak, bingung aku,” kata dia.
Sekarang, dalam seminggu Willy paling hanya membeli rokok konvensional satu bungkus, selebihnya ngelinting.
Muhammad Iqbal (20 tahun), mahasiswa Jogja lainnya, tak kalah aktifnya dengan Willy dalam hal menghisap tembakau. Dalam sehari, Iqbal bisa menandaskan dua bungkus rokok keretek yang sebungkus kini harganya hampir Rp 20 ribu.
ADVERTISEMENT
Tapi itu dulu, ketika awal-awal dia menjadi mahasiswa dan harga rokok masih terjangkau di kantongnya. Kini, pecinta keretek itu terpaksa harus menurunkan level rokoknya yang harganya lebih murah. Dia sekarang lebih sering membeli rokok yang harganya Rp 13 ribuan, itupun hanya dua sampai tiga kali seminggu.
“Kalau awal-awal itu tetap Dji Sam Soe, kalau uang sudah makin tipis ganti Sampoerna keretek. Kalau sudah enggak ada lagi, baru nyari lintingan,” kata mahasiswa asli Bangka itu.
Selain ngelinting sendiri, Iqbal sekarang juga lebih sering membeli rokok eceran ketimbang membeli satu bungkus sekaligus.
Aldo Septiawan, 22 tahun, mahasiswa lain justru memilih ngelinting karena rasanya yang lebih enak. Dia bukan pelinting pemula, sejak empat tahun lalu dia sudah memulai ngelinting, karena itu dia tidak pernah dibuat pusing oleh naiknya harga rokok.
ADVERTISEMENT
“Bolehlah jadi alternatif (ngelinting). Kalau aku paling suka (tembakau) temanggung, mantap itu. Tapi kalau pengin yang praktis, ya beli rokok konvensional aja,” kata dia.
Lulu Saputri, 21 tahun, seorang mahasiswi dari kampus swasta di Jogja mengatakan belum punya rencana apapun untuk menyiasati naiknya harga rokok. Sejauh ini, dia hanya menyiasatinya dengan berusaha mengurangi konsumsi rokok, yang sebungkus biasanya dua hari, sekarang rata-rata jadi tiga hari.
Baginya, sejauh ini kenaikan harga rokoknya masih terjangkau untuk dia. Tapi kalau benar cukai rokok nantinya dinaikkan 23 persen, harga rokok kesukaannya hampir menyentuh angka Rp 30 ribu, dan itu bukan nominal yang kecil bagi dia kalau hanya untuk menghisap tembakau.
“Ngelinting kayaknya menarik sih, dulu pernah juga, cuman enggak telaten, hehe,” ujarnya.
Suasana sore di Toko Tembakau Rejeki Jalan Gejayan. Foto : Widi Erha
Berkah Toko Tembakau
ADVERTISEMENT
Boy sudah setahun ini menjual tembakau di Toko Tembakau Rejeki, Jalan Gejayan. Di tokonya itu, dia menjual berbagai jenis tembakau dari berbagai daerah, setidaknya ada 24 varian yang dia jual. Sejak pemerintah mengumumkan rencananya menaikkan cukai rokok hingga 23 persen, penjualan tembakaunya mengalami kenaikan cukup signifikan.
“Ada pengaruhnya sih, signifikan lah pengaruhnya. (Peningkatannya) sampai 50 persen lebih lah,” kata Boy.
Sekarang, dalam sehari toko tembakaunya bisa meraup omzet penjualan hingga Rp 3 juta dalam sehari. Selain masyarakat umum, mahasiswa adalah konsumen terbesar yang membeli tembakau di tokonya.
“Kan trennya bergeser ya, dari rokok konvensional, rokok kemasan, orang sempat beralih ke vape. Terus dari vape, orang beralih kembali ke tembakau organik,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sejak isu kenaikan harga rokok, banyak pelinting pemula yang membeli tembakau di toko milik Boy itu. Awalnya mereka minta dilintingkan oleh Boy, lama-lama belajar melinting sendiri. Ada juga yang ingin lebih mudah biasanya membeli alat pelinting juga.
“Karena sudah mulai naik juga sebenernya kan, bukan naik lagi sih, ganti harga,” kata Boy diakhiri gelak tawa.
Ada beberapa varian tembakau yang paling menjadi favorit seperti gayo, madura, ploso gading, boyolali, juga temanggung. Namun perbedaannya tidak terlalu signifikan, hampir setiap tembakau memiliki peminatnya sendiri. Dengan ngelinting, kata Boy, orang jadi lebih leluasa untuk meracik cita rasa yang disukai. Ada beberapa bahan utama untuk meracik rokok lintingan seperti kelembak, cengkih, ada juga yang memakai kemenyan.
ADVERTISEMENT
Langsung Terasa di Otak
Sejak pindah ke rokok lintingan, kini Willy merasa rokok konvensional hambar belaka, terlebih rokok-rokok mild, seperti mengisap angin kata dia. Lain dengan rokok lintingan yang menurutnya rasanya bermacam-macam dan lebih kuat, misalnya gayo cenderung pahit, madura gurih, atau yang agak pedas ada darmawangi.
Bukan sekadar rasa di lidah, rokok lintingan menurutnya juga lebih terasa di otak. Gayo misalnya, meski di tenggorokan halus, namun baginya efek pusing-pusingnya sampai ke otak. Kadang, kalau ingin yang lebih kuat, dia mencampurnya dengan tembakau jenis lain yang lebih keras seperti temanggung.
“Lebih kena ke otak, barang bagus emang gayo itu, cocok buat temen nugas,” kata dia diikuti tawa kecil.
Tembakau Boyolali yang relatif murah ada peminatnya. Katanya, rasanya seperti Marlboro. Tapi, wawancara ini menemukan bahwa tembakau temanggung menempati level khusus, terutama bagi mereka perokok berat. Tembakau temanggung memiliki aroma yang keras. Menurut Aldo, semakin tinggi kualitas tembakau, maka aromanya akan semakin keras.
ADVERTISEMENT
Bagi perokok pemula, yang tak terbiasa dengan rokok-rokok keras, tembakau temanggung akan terasa menyiksa di kerongkongannya. Kata Aldo, agar tidak terlalu menusuk kerongkongan bisa diatasi dengan memberikan campuran cengkih di dalam lintingan.
“Jadinya enggak terlalu nyegrak (menusuk tenggorokan), tapi di otak tetap mantap,” kata dia.
Selain menggunakan cengkih, Iqbal juga kerap mencampur kelembak di racikan tembakaunya. Di kalangan pelinting, kelembak bukanlah barang asing. Kelembak yang oleh pelinting dimanfaatkan akarnya ini merupakan jenis tumbuhan obat dan wewangian.
Jadi kalau kamu sedang jalan tengah malam tiba-tiba tercium aroma wangi jangan takut dulu, jangan berpikir terlalu jauh tentang hantu. Mungkin saja aroma wangi itu berasal dari lintingan yang diisap oleh Iqbal.
“Kalau pakai kelembak juga bisa ngurangin nyegraknya, tapi yang terbaik tetap Dji Sam Soe lah,” kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
Setelah mengenal lintingan, kini Iqbal, Willy, dan para pakar lintingan lain tak dipusingkan lagi dengan naiknya harga rokok. Selain lebih murah dan tak kalah soal cita rasa ketimbang rokok kemasan konvensional –tentunya jika racikannya pas- melinting juga lebih ramah pada petani tembakau lokal.
“Kalau mau naik mah naik aja, selama ada gayo (tembakau), aman lah,” tegas Willy.
Ngelinting yang sebelumnya terdengar sangat primitif kini justru menjadi tren di sebagian kalangan mahasiswa. Mereka tak malu lagi meracik dan melinting tembakau di depan umum.
Kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok dengan alasan untuk menurunkan jumlah perokok tampaknya bukan kebijakan yang cerdas. Sebab, selalu ada cara bagi para pecandu nikotin untuk menghisap tembakau, salah satunya ngelinting. Mari kita kepalkan dan angkat tangan kiri kita ke atas dan teriakkan," Hidup petani tembakau !" (Widi Erha Pradana)
ADVERTISEMENT