Nyaris Keracunan Buah Cembirit di Gunung Api Purba Nglanggeran

Konten dari Pengguna
14 September 2020 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan dari puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
“Besok sibuk enggak?” tanya saya ke Fairuz, salah seorang kawan satu kampus lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp.
ADVERTISEMENT
“Jam berapa dulu?” jawabnya dari seberang.
“Seharian. Dari pagi sampai sore, malah bisa jadi sampai malam,” jawab saya.
“Mau ke mana emang?” jawabnya lagi yang tahu persis ketika saya menghubungi pasti akan mengajaknya ke suatu tempat.
“Gunung Api Purba Nglanggeran”
“Ngapain? Camping?”
“Enggak, rokokan sama ngopi aja di atas,” jawab saya sekenanya.
“Gasss”
Percakapan itu terjadi Sabtu malam (5/9). Entah bagaimana ceritanya, tetiba saya terpikir untuk menyeduh kopi dan meminumnya di puncak Gunung Api Purba, sembari memandang lanskap perbukitan di Gunungkidul.
Singkat cerita, kami membuat janji untuk berangkat pukul sembilan di keesokan paginya. Seperti biasa, janji tinggalah janji. Pada akhirnya kami baru berangkat dari Jogja selepas zuhur. Sudah biasa. Toh buru-buru juga tidak ada yang mau dikejar juga.
ADVERTISEMENT
Setengah dua siang kami sampai di basecamp Gunung Api Purba di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul. Berbekal logistik dua bungkus biskuit dan kopi sachet-an kami memulai pendakian setelah membayar retribusi Rp 30 ribu untuk dua orang.
Ini adalah kali kedua saya ke Gunung Api Purba, pendakian pertama saya sudah cukup lama, lima tahun silam. Sementara bagi Fairuz ini adalah pengalaman pertamanya. Padahal, dia sudah mendaki cukup banyak gunung: Slamet, Sindoro, Merapi, Merbabu, sampai Lawu. Tapi Gunung Api Purba yang dekat malah belum pernah.
Karena pendakian terakhir saya ke Gunung Api Purba sudah cukup lama, saya sudah agak lupa detail-detail jalur dan sudut-sudutnya. Baru setelah melihat dan melewatinya lagi, ingatan-ingatan yang sudah terkubur cukup lama mulai bermunculan kembali.
ADVERTISEMENT
“Ya, saya ingat tempat ini,” kata saya dalam hati.
Tidak terlalu banyak perbedaan dibandingkan setengah dekade silam. Satu-satunya perubahan yang paling kentara adalah adanya fosil kura-kura raksasa dan tyrex di salah satu batuan. Tentunya fosil buatan, mungkin maksudnya untuk memperkuat sensasi kepurbaan.
Perbedaan lain, dulu kebanyakan pengunjung atau pendaki didominasi anak muda dengan kostum outdoor kekinian: celana lapangan, kemeja flanel, daypack, serta sandal atau sepatu gunung. Sekarang, profil pengunjung sudah lebih beragam, bahkan lebih didominasi oleh rombongan keluarga bahagia: ibu, bapak, dan anak.
Pakaian yang dikenakan juga bukan pakaian untuk mendaki. Necis-necis, rapi, dan wangi. Ya selayaknya orang-orang berwisata. Bahkan ada beberapa yang pakai sepatu berhak. Hebat, pikir saya.
Bukan Puncaknya, Tapi Perjalanannya
Pemandangan dari puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Foto: Widi Erha Pradana.
Normalnya, perjalanan dari basecamp sampai puncak bisa ditempuh hanya dengan waktu satu jam. Tapi karena terlalu menikmati perjalanan, satu jam perjalanan kami baru sampai pos satu. Kami terlalu sering terpukau dengan berbagai jenis pohon dan batuan yang sangat jarang kami temui.
ADVERTISEMENT
Beberapa jenis pohon masih bisa saya kenali, seperti beringin, pule, sirsak, akasia, jambu mete, bambu, mahoni, sonokeling, jati, dan pinus. Tapi selain tanaman-tanaman itu, saya benar-benar asing. Apalagi Fairuz, yang melihat daun singkong dikira daun ganja. Payah memang.
Berkali-kali kami terperangah dengan batuan-batuan yang tinggi dan besar. Terlebih ketika kami harus melewati jalur berupa celah sempit dengan lebar paling setengah meter di antara dua batu besar. Jika saja ketika kami sedang berada di tengah celah itu kemudian ada gempa, dan batuan itu geser beberapa senti saja, mungkin kami akan menjadi fosil untuk ribuan tahun yang akan datang.
“Gimana ya Tuhan bikin desain arsitektur kayak gini?” tanya Fairuz yang merupakan mahasiswa Teknik Sipil ketika kami masih berjuang keluar dari lorong sempit itu.
ADVERTISEMENT
Saya tahu, itu hanya ungkapan kekaguman. Bukan benar-benar pertanyaan untuk dijawab. Sebab, dia juga pasti tahu kalau saya tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan itu.
Perjalanan makin lama, sebab cukup banyak tempat duduk dan gazebo yang dibangun di sekitar jalur pendakian. Tempat duduk nyaman dan lanskap yang memanjakan mata adalah godaan terbesar kami untuk berhenti merokok. Maksudnya, berhenti, lalu merokok.
“Sebats?”
“Yoks”
Karena rokok kami kretek, tentunya tidak cukup semenit dua menit untuk menghabiskannya. Walhasil, sekali istirahat kami bisa menghabiskan waktu sekitar 15 menit.
Semakin ke sini, hal paling nikmat dari setiap pendakian bagi saya bukanlah puncak. Melainkan perjalanannya. Itu kenapa, pendakian dengan sedikit orang menurut saya terasa lebih mengasyikan.
Sebab, semakin banyak orang yang ikut, tentu akan semakin banyak ego yang harus diakomodir. Apalagi setelah tren naik gunung benar-benar meledak beberapa tahun terakhir. Puncak menjadi sesuatu yang tidak terlalu menarik lagi bagi saya.
ADVERTISEMENT
Hampir Keracunan Buah Cembirit
Buah cembirit dapat dijumpai di sepanjang jalan menuju puncak Nglanggeran. Foto: Widi Erha
Di tengah perjalanan, ada satu jenis pohon yang buahnya paling menarik untuk kami. Buahnya ketika masak berwarna oranye, terlihat cukup menggiurkan. Pohon itu cukup banyak di sepanjang jalur pendakian. Sayangnya, kami tidak ada yang tahu nama pohon tersebut.
“Kalau tanya sama aku ya aku jawab jeruk,” kata Fairuz.
Saya pastikan, kalau sampai dia terjebak di hutan, dia akan mati bukan karena kelaparan dan dehidrasi. Melainkan karena salah memakan tumbuhan yang ada di hutan. Memang bentuk buah tersebut mirip jeruk. Tapi saya yakin, itu bukan jeruk. Sebab, ketika sudah matang buahnya akan terbelah. Pohonnya juga sangat berbeda dengan pohon jeruk.
Tapi dari warnanya, buah itu benar-benar menggoda. Apalagi ketika kami mencium aroma daging buah yang sudah terjatuh, ada aroma manis yang keluar. Mirip sawo-sawoan, sehingga ada ketertarikan untuk mencoba memakannya.
ADVERTISEMENT
Tapi kami ragu, jika memang buah itu bisa dimakan, kenapa tidak ada yang memetiknya? Bukankah banyak wisatawan yang melewati jalur itu setiap hari?
Kami ragu lagi, sehingga keinginan untuk mencoba buah tersebut kami urungkan. Hingga di salah satu pohon kami menemukan ada label nama pohon tersebut, pohon cembirit namanya atau Tabernaemontana macrocarpa. Ah, lagi-lagi nama yang sangat asing untuk kami berdua.
Tapi setidaknya kami sudah tahu namanya, dan rasa penasaran tentang buah itu dapat dimakan atau tidak bisa kita tanyakan ke Mbah Google nanti. Kami ambil satu buah cembirit yang sudah matang dan jatuh, barangkali bisa kami nikmati di puncak nanti.
Perjalanan sampai puncak yang mestinya bisa ditempuh hanya dengan waktu satu jam, baru kami selesaikan setelah menghabiskan waktu sekitar dua setengah jam. Di atas, sudah ada rombongan muda-mudi, saya taksir mereka adalah anak-anak SMA.
ADVERTISEMENT
Kami mencari tempat yang agak luas, rata, teduh, dan tentunya bisa melihat pemandangan yang indah. Matras digelar, biskuit, kopi, dan kompor dikeluarkan. Fairuz bertugas membuat kopi, sementara saya langsung membuka gawai untuk mencari informasi tentang buah cembirit untuk mengobati rasa penasaran kami.
Artikel pertama yang muncul ditulis oleh BBKSDA Jawa Timur, judulnya ‘Pahit Manisnya Cembirit’. Membaca sebentar, bayangan saya akan kelezatan buah cembirit langsung buyar, sebab dalam artikel tersebut ditulis buah ini memiliki rasa yang sangat pahit.
Tidak hanya pahit, buah cembirit juga mengandung zat racun dan bisa memabukkan. Konon di Kalimantan racun dari buah ini biasa dioleskan ke mata panah yang akan dipakai berburu untuk melumpuhkan buruan.
Tapi di sisi lain, dalam artikel itu juga ditulis bahwa bagian buah cembirit, yakni eksudatnya yang merupakan cairan bisa digunakan untuk mengobati TBC dan beberapa penyakit paru menular lainnya. Buah ini juga bisa digunakan untuk mengobati herpes dan kudis. Di Sabah, Malaysia, buah dari pohon yang memiliki habitat di batuan karst ini konon juga biasa digunakan sebagai obat sakit gigi.
ADVERTISEMENT
Apapun itu, yang jelas kami bersyukur karena tidak tergoda untuk langsung memakan buah tersebut. Kalau sampai kami memakannya tanpa mencari tahu dulu, mungkin tidak ada tulisan ini. Yang terbit justru tulisan berjudul, “Dua Pendaki di Gunung Api Purba Nglanggeran Dievakuasi Setelah Keracunan Buah Cembirit”.
Suasana senja di puncak Nglanggeran. Foto: Widi Erha Pradana.
Kopi sudah jadi, rokok tidak lagi sendiri. Di bawah matahari sore yang mulai condong ke barat, kami menghabiskan batang demi batang rokok. Angin yang berhembus cukup kencang, sehingga terik matahari tidak terlalu terasa.
Setelah sekitar dua jam menghabiskan waktu di puncak hanya dengan ngopi, ngerokok, dan ngemil biskuit, kami mulai berkemas. Hari sudah semakin sore, dan kami harus segera turun. Karena selama pandemi ini, batas kunjungan ke Gunung Api Purba hanya sampai pukul enam sore.
ADVERTISEMENT
“Ternyata masih banyak cara ya menikmati hidup,” kata Fairuz setelah kami sampai di basecamp berbarengan dengan adzan maghrib. (Widi Erha Pradana / YK-1)