Pada Wisata, Jogja Bergantung: Mengenal Karakter Ekonomi DIY

Konten Media Partner
17 Februari 2021 14:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keramaian Malioboro saat libur Imlek 2021. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Keramaian Malioboro saat libur Imlek 2021. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Secara eksplisit, data Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan enam besar penyumbang ekonomi terbesar DIY adalah sektor industri, pertanian, informasi dan komunikasi, konstruksi, jasa pendidikan, serta akomodasi dan makan minum. Tapi ternyata hampir semua sektor itu tidak bisa lepas dari pengaruh industri pariwisata.
ADVERTISEMENT
Di sektor industri manufaktur sebagai penyumbang pendapatan terbesar misalnya, komposisi terbesarnya ditempati oleh industri makanan dan minuman yang pendapatannya sangat tergantung pada pariwisata. Misalnya industri makanan oleh-oleh seperti bakpia, yang penjualannya sangat bergantung pada jumlah wisatawan yang datang ke Jogja.
Begitu juga dengan industri kerajinan yang juga menyumbang pendapatan cukup besar, pasar utamanya tetap wisatawan.
Sektor pertanian yang pada kuartal IV 2020 mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,19 persen pun tetap tidak lepas dari pengaruh pariwisata. Pertanian hortikultura seperti buah dan sayur biasanya menjadi pemasok kebutuhan hotel dan restoran di Jogja. Namun karena hotel dan restoran banyak yang tutup, produk pertanian banyak yang tidak terserap.
Pendapatan dari sektor pendidikan sekilas terlihat hanya berasal dari uang SPP saja, tapi lebih jauh dari itu, sektor pendidikan juga terkait erat dengan pariwisata. Misalnya ketika musim wisuda, biasanya keluarga yang datang akan sekalian berwisata, berbeda dengan jika kampus berada di kota lain yang bukan kota wisata seperti Jogja. Sebagian besar keluarga juga akan menginap di hotel ketika datang ke acara wisuda.
ADVERTISEMENT
Pendapatan dari sektor ini juga cukup besar, jika satu kampus mengadakan wisuda empat kali dalam setahun, maka dengan jumlah kampus 136 artinya ada 544 acara wisuda di Jogja selama setahun.
Begitu juga dengan sektor konstruksi, pembangunan terbesar sektor konstruksi juga bertujuan untuk mendukung sektor pariwisata. Misalnya pembangunan jalan untuk mempermudah akses ke lokasi wisata, pembangunan hotel dan resort, juga pembangunan obyek-obyek pariwisata itu sendiri.
“Kalau dilihat dari hilir, perekonomian Jogja memang sangat diwarnai dengan sektor-sektor yang berkaitan erat dengan pariwisata seperti transportasi, hotel dan restoran, akomodasi. Sektor itu nanti terkait juga dengan sektor yang lainnya,” kata Kepala BPS DIY, Sugeng Ariyanto ketika ditemui di kantornya, Selasa (16/2).
Penyerap Tenaga Kerja Terbesar
Tangkapan layar laporan BPS 2020.
Menurut Sugeng Ariyanto, secara umum wajah perekonomian DIY memang tidak bisa dilepaskan dari sektor pariwisata. Celakanya, sektor ini menjadi yang paling terpukul selama pandemi. Imbas terpuruknya sektor pariwisata kemudian menjalar ke sektor-sektor lain.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pada kuartal IV 2020 masih ada beberapa sektor yang pertumbuhannya masih positif seperti informasi dan komunikasi, jasa pendidikan, real estate atau perumahan, serta jasa kesehatan.
“Masalahnya sektor-sektor itu walaupun tumbuh tapi ternyata bukan penyerap tenaga kerja yang terbesar,” ujarnya.
Sedangkan sektor pariwisata yang sangat terpuruk, seperti hotel, restoran, dan industri oleh-oleh, justru menyerap lebih banyak tenaga kerja. Untuk saat ini, sektor yang relatif aman adalah pertanian, serapan tenaga kerjanya relatif banyak meski pertumbuhannya tidak terlalu besar. Meski tidak lepas dari pengaruh pariwisata, tapi sektor pertanian masih bisa bertahan dengan mengganti komoditas tanam yang memang dibutuhkan di saat pandemi.
“Sektor pertanian cukup menjadi penyelamat terutama untuk wilayah pedesaan,” lanjutnya.
Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi Jogja masih jauh dibandingkan dengan sebelum pandemi. Pada 2019, PDRB DIY menyentuh angka Rp 141,4 triliun, sedangkan pada 2020 hanya sebesar Rp 13,83 triliun. Hal itu tidak lepas dari melekatnya industri pariwisata ke hampir semua sektor pendapatan DIY.
ADVERTISEMENT
Melihat bahwa perekonomian Jogja tidak bisa lepas dari sektor pariwisata, Sugeng mengatakan bahwa perlu adanya langkah segera untuk membangkitkan lagi sektor ini. Yang paling penting dilakukan saat ini adalah membangun perspektif bahwa Jogja aman untuk berwisata.
“Tentunya dengan menunjukkan bahwa di sini memang menerapkan protokol dengan ketat. Kalau protokolnya tidak ketat, orang-orang tentu akan takut untuk datang ke Jogja,” ujarnya.
Berkejaran dengan Waktu
Candi Prambanan. Foto: Pixabay.
Ketua DPD Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, Bobby Ardyanto Setyo Ajie mengatakan saat ini kesiapan industri pariwisata terkait penerapan protokol kesehatan secara ketat sudah mencapai 85 persen. Namun yang jadi persoalan adalah kondisi likuiditas pelaku usaha industri pariwisata banyak yang mulai kritis.
Sehingga, saat ini kondisi industri pariwisata sedang berkejaran dengan waktu, jangan sampai mati dulu sebelum sempat pulih. Bahkan sebagian industri pariwisata ada yang menghentikan operasionalnya karena secara likuiditas sudah tidak mampu.
ADVERTISEMENT
“Kurang lebih kemampuan mereka tinggal dua bulan kalau situasinya masih seperti ini,” kata Bobby ketika dihubungi.
Saat ini beban utama yang ditanggung oleh industri pariwisata menurut dia adalah biaya operasional seperti listrik, air, dan tenaga kerja. Pihaknya juga sudah melakukan audiensi dengan Pemda DIY untuk mengupayakan keringanan industri pariwisata dalam bentuk relaksasi dan insentif tertentu.
Industri pariwisata menurutnya juga butuh solusi yang sifatnya jangka panjang, bukan hanya sementara. Karena itu, GIPI mengusulkan dibuatnya program travel corridor yang nantinya dapat menghubungkan pemerintah DIY dengan pemerintah daerah lain dalam rangka menghidupkan lagi sektor pariwisata.
“Ini bisa di MoU-kan dengan pemerintah daerah lain sehingga bisa menciptakan industri pariwisata yang termonitor dan terintegrasi sehingga sisi kesehatannya juga tetap bisa dipantau,” kata Bobby.
ADVERTISEMENT
GIPI juga merencanakan untuk membuat paket Jogja Konsorsium yang menggandeng semua stakeholder pariwisata. Nantinya, wisatawan yang datang di Jogja bisa dipantau sejak dia tiba di stasiun atau bandara serta bisa menginap di hotel-hotel yang telah disertifikasi. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa aman wisatawan yang datang ke Jogja.
“Dengan begitu wisata bisa jalan tapi tetap sesuai dengan koridor protokol kesehatan,” ujarnya.
Dukungan Pemerintah
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X saat menyampaikan "Sapa Aruh” Mengadaptasi Perubahan, Menggugah Semangat Bangkit-Ekonomi. Sapa Aruh yang dilaksanakan Selasa (19/02) pagi, di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Foto: Humas Pemda DIY.
Terkait dengan kondisi likuiditas industri pariwisata yang sudah kritis, pemerintah menurut Kepala Dinas Pariwisata DIY, Singgih Raharjo, telah memberikan relaksasi kredit sejak tahun lalu. Pemerintah juga sedang mengupayakan adanya relaksasi pajak untuk meringankan biaya operasional industri pariwisata.
Skema-skema lain untuk meringankan beban operasional seperti listrik menurutnya juga masih terus dibahas.
ADVERTISEMENT
“Hotel dan restoran juga didorong lagi seperti tahun lalu untuk mendapatkan insentif walaupun tidak semua kabupaten atau kota dapat ya,” kata Singgih Raharjo ketika dihubungi.
Sebagai upaya untuk mempercepat pemulihan sektor pariwisata, singgih mengatakan bahwa sejak tahun lalu sebenarnya pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya untuk mendorong industri pariwisata pulih lagi. Misalnya dengan program Pranatan Anyar Plesiran Jogja, sertifikasi industri pariwisata, serta optimalisasi aplikasi Visiting Jogja.
“Hasilnya yang kita lakukan pada triwulan ketiga kemarin mampu mendongkrak pendapatan ekonomi,” kata Singgih Raharjo.
Saat ini, pemerintah sedang mendorong pengetatan protokol kesehatan di destinasi-destinasi wisata, mulai dari biro perjalanan, pemandu, pedagang, dan yang lainnya.
“Jangan sampai sektor pariwisata jalan tapi sektor lain seperti kesehatan malah kolaps. Ini simalakama kita, harus bisa seimbang,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga sedang mempromosikan wisata-wisata yang sifatnya outdoor dan telah membuat paket-paket wisata kecil. Sebab, tren sekarang wisatawan lebih tertarik dengan wisata outdoor dan dalam jumlah yang kecil, bukan rombongan. Pembuatan paket-paket wisata ini nantinya akan semakin didukung dengan adanya travel koridor sehingga wisatawan bisa benar-benar terpantau aktivitasnya selama bertamasya.
“Pangsa pasarnya bisa menengah ke atas maupun menengah ke bawah, jadi kita sekarang lebih fleksibel,” lanjutnya.
Program-program tersebut diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan industri pariwisata. Meski tidak sekencang seperti sebelum pandemi, tapi setidaknya bisa memperpanjang napas industri pariwisata untuk terus beroperasi. Dengan tumbuhnya industri pariwisata, harapannya dapat mendorong pertumbuhan sektor lain yang juga bergantung pada pariwisata. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT