Panduan Jadi Fotografer Satwa Liar, Masalah Etika pada Satwa Jangan Dilupakan

Konten dari Pengguna
19 September 2020 12:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fotografi satwa liar. Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fotografi satwa liar. Foto: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, dibandingkan dengan genre fotografi lainnya, fotografi satwa liar mengalami peningkatan yang relatif lebih tinggi. Fotografi satwa liar tidak sesederhana mengambil gambar satwa menggunakan lensa kamera dengan estetika fotografi yang baik.
ADVERTISEMENT
Radiktya Akasah Kardi, seorang fotografer avifauna mengatakan bahwa fotografi satwa liar memiliki tiga tujuan utama: konservasi, pengenalan, serta investasi. Fotografi satwa liar diharapkan dapat ikut membantu upaya perlindungan, pemantauan, serta pelestarian satwa liar.
“Kemudian mengenalkan satwa itu jelas, banyak sekarang satwa-satwa yang dulunya tidak kita ketahui sekarang mulai muncul di media sosial,” ujar Radiktya ketika menjadi narasumber dalam seminar daring yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Biologi Unpad pekan kemarin.
Investasi yang dimaksud merupakan investasi data-data ilmiah yang bisa menjadi input dalam dunia penelitian. Karena itu, fotografi satwa liar menurutnya bukan sekadar menyajikan foto, tetapi juga bagaimana supaya foto yang disajikan bisa menceritakan apa dan mengapa sebuah satwa memiliki perilaku tertentu.
ADVERTISEMENT
“Sehingga fotografi satwa liar memiliki kekuatan untuk membuat orang tertarik pada setiap keajaiban alam,” lanjutnya.
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara fotografi satwa dengan fotografi satwa liar. Fotografi satwa liar dilakukan terhadap objek yang berada di habitat aslinya. Sementara fotografi satwa atau fotografi fauna bisa dilakukan dengan cara memindahkan objeknya keluar dari habitatnya.
Perbedaan lain, dalam fotografi satwa liar bukan hanya estetika yang diutamakan, tapi ada sejumlah etika yang harus dipatuhi. Sementara pada fotografi satwa atau fauna, biasanya hanya mengutamakan estetikanya saja.
“Ini belum tentu buruk, kadang untuk kebutuhan penelitian kita perlu memindahkan satwa tersebut keluar dari habitatnya,” ujarnya.
Memulai Fotografi Satwa Liar
Festival Burung Pantai di muara Kali Progo dekat dengan Pantai Pandansimo Bantul DIY pada Sabtu (26/10) dan Minggu (27/10) diikuti 50-an mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta. Foto oleh : Maya Vita
Melakukan fotografi satwa liar memerlukan kesabaran ekstra tinggi, selain karena sulitnya menemukan objek di habitat aslinya, kadang objeknya ada di depan muka saja belum tentu bisa tertangkap lensa kamera. Tidak ada yang pasti dalam fotografi satwa liar, kadang banyak kejutan-kejutan, kadang tidak ada sama sekali. Itulah yang membuat fotografi satwa liar sulit dilakukan. Tapi kesulitan-kesulitan itu sebenarnya bisa diatasi jika fotografer telah menyiapkan semuanya secara optimal.
ADVERTISEMENT
Ada empat hal utama dalam fotografi satwa liar yang harus disiapkan sebelum berburu foto menurut Radiktya. Yang pertama adalah mengenali alat yang digunakan dan obyek yang akan difoto. Karena dalam fotografi satwa liar akan berhubungan dengan obyek yang selalu bergerak aktif, mengenali alat yang akan digunakan merupakan hal pertama yang harus dilakukan.
“Alat yang kita pakai itu apa, kamera apa, cara settingnya bagaimana, letak pengaturannya bagaimana,” ujar Radiktya.
Yang perlu disiapkan berikutnya adalah perencanaan yang matang. Fotografer harus menyusun jadwal, membuat list target, serta menyesuaikan waktu pelaksanaan dengan aktivitas objek yang akan difoto. Jangan sampai ingin memotret burung air migran misalnya, tapi datang bukan di masa migrasi burung.
Ketiga, fotografer harus bisa bersahabat dengan kondisi. Seringkali objek yang dicari berada di tempat-tempat yang tidak terduga, misal di lereng yang sangat terjal, perubahan cuaca yang sangat cepat, atau kondisi cahaya yang kurang mendukung.
ADVERTISEMENT
“Makanya tadi kita harus mengenali alat yang digunakan supaya dengan kondisi apapun kita tetap bisa menghasilkan hasil yang optimal,” ujarnya.
Terakhir, sebelum terjun untuk berburu foto, fotografer harus dibekali lebih dulu dengan pengetahuan mengenai objek, lokasi, habitat, dan sebagainya. Minimal, dia harus memahami karakter satwa yang menjadi objeknya. Pasalnya, tiap objek yang berbeda membutuhkan pengaturan yang berbeda pula pada alat yang digunakan.
Menunggu Objek sampai Ketiduran
Pengamatan harus dilakukan dengan merangkak agar tidak membuat terbang burung migran yang sedang diamati. Foto oleh : Maya Vita
Ketika berburu foto satwa liar, kunci yang utama adalah bagaimana supaya keberadaan si fotografer tidak mencolok sehingga tidak membuat objek yang diincar kabur. Seringkali, mereka harus bisa berkamuflase dengan lingkungan sekitarnya.
“Kadang-kadang kita jadi kayak sniper, diem, nunggu obyek sudah pasang tripod, nunggu sampai objeknya datang,” ujar Radiktya.
ADVERTISEMENT
Sebelum menyamar dan menunggu objek datang, fotografer juga perlu melakukan riset terlebih dahulu. Sebelumnya fotografer harus mengamati dan mempelajari, kapan dan di mana kira-kira objek akan datang. Tanpa adanya riset terlebih dahulu, sama saja mereka berniat untuk membuang-buang waktu tanpa hasil.
“Sering juga kalau lagi hunting bareng banyak nunggunya, jadi sering ketiduran,” lanjutnya.
Sering juga mereka ‘dikerjai’ oleh alam. Misalnya ketika akan mengambil foto burung di pantai, saat berangkat ke titik pemotretan di sebuah daratan pasang surut di kawasan pantai, air laut sedang surut. Namun setelah pemotretan, ketika mereka hendak kembali ke daratan air sudah pasang.
“Jadi mau enggak mau harus basah-basahan. Banyak sekali cerita-cerita seru dan lucu saat hunting foto bareng,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Etika Fotografi Satwa Liar
Festival Burung Pantai di muara Kali Progo dekat dengan Pantai Pandansimo Bantul DIY pada Sabtu (26/10) dan Minggu (27/10) diikuti 50-an mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta. Foto oleh : Maya Vita
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, fotografi satwa liar bukan sekadar soal estetika, tapi juga ada etika yang harus dipatuhi oleh fotografer. Dan ini sering dilupakan. Etika pertama menurut Radiktya adalah menjaga jarak dengan satwa liar ketika melakukan pemotretan.
Menjaga jarak pemotretan ini bertujuan supaya satwa liar yang menjadi objek tidak merasa terganggu. Karena tujuan fotografi satwa liar adalah untuk melihat bagaimana sebenarnya kehidupan satwa-satwa tersebut di habitatnya.
Dalam proses pengambilan gambar, fotografer harus sangat berhati-hati ketika sedang mendekat pada objek supaya tidak mengusik mereka. Fotografer harus bisa melihat, apakah objeknya sudah merasa terganggu atau belum. Ketika objek sudah menunjukkan tingkah kalau dia terganggu, maka fotografer harus menjauh kembali hingga si objek kembali merasa nyaman.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana kita bisa melihat kalau dia terganggu,” ujar Radiktya Akasah Kardi.
Etika selanjutnya adalah tidak merusak habitat. Ini adalah etika yang mutlak dipatuhi oleh fotografer. Dengan alasan apapun, merusak habitat satwa liar tidak dibenarkan, apalagi sekadar untuk mencari estetika belaka.
Ketika lokasi pemotretan berada di tempat yang kekurangan cahaya, flash merupakan alat penting untuk membantu supaya hasil pemotretan bisa tetap optimal. Tapi penggunaan flash juga perlu diperhatikan, pasalnya sinar flash pada kamera juga sangat mungkin membuat objek terganggu.
“Biasanya ada yang pakai bunyi-bunyian untuk mengundang objek. Tapi penggunaan bunyi-bunyian juga harus bijak, supaya satwanya tidak terganggu terus,” lanjutnya.
Etika fotografi satwa liar berikutnya adalah tidak terlalu dekat dengan sarang dan tidak mengganggu satwa yang sedang berbiak. Selain itu, fotografer tidak perlu memberi makan satwa. Sebab, satwa yang diberi makan akan mengalami perubahan perilaku. Dikhawatirkan juga ada penyakit yang menular ke hewan karena makanan yang diberikan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
“Dan yang paling penting, utamakan kesejahteraan satwa,” ujarnya.
Informasi detail terkait lokasi keberadaan satwa sebisa mungkin jangan dipublikasikan di tempat umum, misal di media sosial. Sebab, informasi tersebut bisa membuat satwa terancam oleh aktivitas perburuan liar.
“Beburu itu hanya akan mempercepat kepunahan, memelihara satwa hanya akan mempercepat satwa itu mati, dan memberi makan satwa liar hanya akan membunuh satwa itu,” ujar Radiktya menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)