news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pasien COVID Sembuh tapi Mati, Jogja Butuh Leadership dan Tanggap Darurat Kuat

Konten dari Pengguna
20 April 2020 20:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Hanya ada dua urusan utama melawan COVID-19. Pertama, merawat yang sudah telanjur terinfeksi dan yang kedua menurunkan kurva atau menekan sebaran COVID-19 sehingga tidak membuat fasilitas kesehatan ambruk karena kebanyakan pasien. Menjaga keduanya terus dalam angka minimum akan menjadi kerja panjang hingga ditemukannya vaksin. Dan kegagalan salah satu di antara keduanya adalah awal bencana.
ADVERTISEMENT
Sampai Sabtu (18/4) pukul 16.00 WIB (ini adalah deadline pelaporan perkembangan pasien COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta) jumlah pasien positif di DIY telah mencapai 67 orang dengan 33 di antaranya masih menjalani rawat inap, 27 sembuh, dan 7 meninggal. Sementara masih ada total 254 Pasien Dalam Pemantuan (PDP) yang sampel swab-nya masih dalam proses diagnosa PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan 101 rawat inap, 140 rawat jalan, dan 13 meninggal. Sampai hari ini sudah ada 319 pasien yang dinyatakan negatif dan 19 di antaranya meninggal.
Bukan hal yang mudah untuk mencermati angka-angka itu bagi mayoritas pembaca. Dan jangan pernah terjebak oleh tarik menarik tafsir kesuksesan dan kegagalan mengadang COVID-19 oleh banyaknya yang sembuh (27) atau banyaknya yang meninggal dunia (7+13). Sebab, otoritas dalam hal ini Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY tak pernah terbuka kesembuhan disebabkan oleh terapi atau obat apa sedangkan yang meninggal disebabkan oleh kegagalan apa. Yang pasti, kasus positif terus bertambah dari 1 pada 15 Maret dan 67 pada 19 April.
ADVERTISEMENT
Dan inilah angka yang paling penting untuk melihat dua hal utama masalah COVID-19 seperti di paragraf pembuka artikel ini: Ada 33 pasien positif COVID-19 yang sedang dirawat dan ada total 254 yang masih menunggu hasil diagonosa PCR dengan 101 rawat inap dan 140 rawat jalan. Sehingga saat ini ada total 134 (33+101) pasien yang sedang ditangani di semua rumah sakit rujukan COVID-19 di DIY dan tentu saja dengan standar isolasi COVID-19.
Dan ingat, masih ada 3.672 Orang Dalam Pengawasan (ODP), artinya, ada orang-orang yang datang dari zona merah yang seharusnya sedang menjalani karantina mandiri ataupun dalam pengawasan otoritas di shelter-shelter pendatang yang disiapkan pemerintah atau inisiatif masyarakat.
Jumlah ODP sulit untuk diterima begitu saja sebab jumlah pemudik dilaporkan sudah lebih dari 100 ribu orang dan penanganan pemudik bukanlah perkara mudah karena harus memastikan kerja sama erat antara dinas perhubungan, dinas kesehatan, dan aparat desa hingga ketua RT dan keaktifan warga dalam melaporkan dan mengawasi semua pendatang.
ADVERTISEMENT
Positif, PDP, ODP, dan sekarang ditambah kategori Orang Tanpa Gejala (OTG), antrean PCR, adalah variabel-variabel penting untuk mencermati situasi. Di atas segalanya, penularan COVID-19 terjadi sangat mudah (droplet atau melalui percikan ludah) dan dalam situasi physical distancing yang sangat buruk, penambahan pasien postif akan eksponensial atau pangkat 2 setiap hari, 2,4,8,16,32,64,128 dan boom.
375 Kamar COVID-19, 35,7 Persen Telah Terisi
Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas COVID-19 DIY sekaligus Plt. BPBD DIY, Biwara Yuswantana. Foto : Widi Erha
Di DIY, pemerintah telah menyiapkan 27 rumah sakit rujukan, dengan 32 kamar untuk pasien critical atau membutuhkan ventilator dan 243 non critical.
“Memang sampai saat ini baru ada 12 ventilator, tapi mulai minggu ini tambahan 20 tempat tidur ventilator, menjadi 32. Dan (RSPAU) Hardjolukito kalau misal eskalasi besar, maka Hardjolukito 150 tempat tidur akan dipakai. Sekarang baru satu (lantai) yang pakai,” kata Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie saat rapat dengan Komisi A DPRD DIY di Kantor DPRD DIY, Senin (13/4).
ADVERTISEMENT
Dalam daftar “Pemetaan Dedikasi Tempat Tidur RS Rujukan untuk Pelayanan COVID-19 di DIY tahun 2020 Kamar isolasi pasien COVID-19” yang dikeluarkan Dinkes DIY pada rapat dengan Komisi A DPRD DIY awal April, RSPAU Dr. S. Hardjolukito memang masih terdaftar dengan 40 kamar non critical yang artinya masih memiliki 110 kamar cadangan yang sampai saat ini belum digunakan. Jadi total DIY memiliki 353 kamar pasien COVID-19 non critical dan 32 kamar dengan fasilitas ventilator atau total ada 375 kamar isolasi untuk pasien COVID-19. Dan saat ini sudah ada 134 pasien yang sudah menempati bangsal COVID atau sekitar 35,7 persen kamar sudah terisi.
Situasi Fasilitas Kesehatan dan APD
Jika menggunakan standar WHO, 1 dari 6 atau 16 persen pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit membutuhkan ventilator. Dengan memiliki 32 ventilator artinya DIY hanya siap menangani 200 pasien COVID-19, baik positif maupun PDP. Dan saat ini DIY telah menangani 134 pasien. Idealnya, dengan 375 kamar yang disiapkan, DIY semestinya memiliki 60 ventilator.
ADVERTISEMENT
“Ventilator harganya sangat mahal, tapi pemerintah pusat terus mengusahakan penambahan dan juga kan banyak inovasi-inovasi yang disiapkan oleh para pakar di dalam negeri,” terang Juru Bicara COVID-19 Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan COVID-19, Berty Murtiningsih, saat dikonfirmasi mengenai jumlah ventilator di DIY beberapa waktu lalu.
Selain obat-obatan dan selang infus, untuk menangani pasien COVID di ruang isolasi dibutuhkan alat pelindung diri (APD) yang ketat, di antaranya cover all, kacamata google, masker N95, sepatu boots, cover sepatu, sarung tangan, sarung tangan panjang, dan masker bedah.
Berapa APD yang Dibutuhkan oleh Rumah Sakit dalam Sehari?
Banu Hermawan, Kepala Sub Bagian Hukum dan Kemitraan RSUP Dr Sardjito, salah satu rumah sakit rujukan COVID-19 dengan beban paling berat (21 kamar non critical dan 4 kamar critical) mengungkapkan penggunaan APD dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, di RSUP Dr Sardjito, dalam sehari penggunaan cover all mencapai 134 buah, masker bedah 6.340, masker N95 antara 95 sampai 100 buah per hari, serta sarung tangan sekitar 700 pasang dalam sehari.
“Masker N95 itu karena bisa di re-use, kemudian penggunaannya juga sudah kita petakan untuk petugas yang melakukan kontak langsung dengan pasien positif maupun PDP, jadi bisa kita tekan penggunannya. Sebelumnya sehari bisa habis 395 buah,” ujar Banu Hermawan ketika ditemui di kantornya, Senin (13/4).
Pada jumpa pers Rabu (15/4) sore di BPBD Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas COVID-19 DIY sekaligus Plt. BPBD DIY, Biwara Yuswantana mengatakan bahwa DIY mendapat tambahan APD dari pemerintah pusat meliputi cover all sebanyak 1.701, masker bedah 36.350, masker N95 400, sarung tangan non steril 5.700 buah, serta sarung tangan steril 80 pasang.
ADVERTISEMENT
Itu artinya, tambahan stok APD di DIY jauh dari mencukupi. Hanya untuk mencukupi kebutuhan RSUP Dr Sardjito saja, stok itu hanya akan bertahan beberapa hari saja.
Padahal, RSUP Dr. Sardjito hanya memiliki total 25 kamar COVID dan jika diasumsikan seluruh kamar itu penuh maka Sardjito merawat hanya 18,6 persen dari total 144 pasien positif dan PDP COVID-19 yang saat ini tengah dirawat di DIY. Jika pasien memenuhi seluruh kamar yang ada di DIY, 375 kamar, maka stok APD yang dipakai Sardjito baru 7 persen dari total APD di seluruh rumah sakit rujukan.
Masalah Masker N-95
Untuk masker N-95, berkaca dari pengalaman RSUP Dr Sardjito, maka untuk 134 pasien positif dan PDP di DIY membutuhkan 558 buah setiap hari dan untuk perhitungan 375 pasien kira-kira membutuhkan 1.357 buah masker N95. Kiriman 400 masker N95 dari pemerintah pusat yang belum tentu seminggu sekali datang tentu saja bukan kabar baik.
ADVERTISEMENT
Kesulitan APD juga diakui oleh RS PKU Muhammadiyah Gamping. Dokter Adnan Abdullah, Penanggung Jawab Satuan Tugas COVID-19 PKU Muhammadiyah Gamping mengatakan persoalan APD yang paling serius saat ini adalah masker N95.
“Akhirnya kami sterilisasi sehingga bisa dipakai lima sampai enam kali. Kalau mau bicara ideal, idealnya ya sekali pakai,” kata Dokter Adnan.
Mengenai kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan stok APD, Jubir Penanganan COVID-19 DIY Bidang Kesehatan, Berty Murtiningsih, pada Rabu (15/4) siang hanya menjawab, ”kebutuhan sarana prasarana untuk saat ini maupun untuk situasi terburuk sudah disiapkan Gugus Tugas Bidang Kesehatan. Untuk tenaga medis yang dibutuhkan pun telah terkoordinir dengan organisasi profesi serta Kemenkes. Mohon maaf untuk lebih jelasnya silahkan kepada Gugus Tugas njih.”
ADVERTISEMENT
Sementara sore itu juga konfirmasi dengan Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas COVID-19 DIY sekaligus Plt. BPBD DIY, Biwara Yuswantana di Jumpa Pers di BPBD mengatakan bahwa sulit memperhitungkan kebutuhan total APD seluruh rumah sakit rujukan COVID di DIY, sehingga tidak bisa juga memperhitungkan berapa lama stok APD yang dimiliki saat ini bisa bertahan berapa lama. Namun saat ini pemerintah tengah membangun Aplikasi Corona Monitoring System (CMS) sebagai aplikasi pemantauan pasien corona di lingkungan DIY.
“Kalau nanti sistem CMS-nya sudah berjalan, bisa kita perkirakan. Karena selama ini kan distribusi APD itu masih ada di Dinkes (Dinas Kesehatan DIY),” kata Biwara
Biwara mengakui salah satu yang masih menjadi persoalan krusial saat ini adalah ketersediaan alat pelindung diri (APD), terutama masker N95.
ADVERTISEMENT
Donasi Masyarakat
Merujuk data BPS, pada 2015 DIY memiliki 75 rumah sakit negeri dan swasta. Dengan 27 telah menjadi RS Rujukan, masih ada 48 rumah sakit yang membutuhkan APD minimal untuk mengantisipasi datangnya pasien yang belum teridentifikasi sebagai PDP. DIY juga memiliki 122 puskesmas yang sewaktu-waktu harus siap menerima pasien dengan gejala COVID sebab puskesmas lah tempat pertama masyarakat memeriksakan dirinya. Belum lagi kebutuhan APD oleh para driver ambulans dan tenaga pemakaman.
Selama ini RSUP Dr Sardjito dan hampir semua rumah sakit rujukan COVID di DIY mengandalkan donasi sebagai solusi pemenuhan kebutuhan APD. Sayangnya, untuk kasus masker N95, donasi tidak bisa diandalkan sebab stok N95 di seluruh dunia juga sulit didapat.
ADVERTISEMENT
“Maka untuk N95 memang harus segera dapat solusi selain berhemat dengan reuse. Donasi banyak masuk tapi setelah dicek, ternyata kebanyakan bukan masker N95 untuk medis, melainkan untuk industrial. Sehingga masker tersebut tidak bisa digunakan untuk tenaga medis yang melakukan kontak langsung dengan pasien positif COVID-19 maupun PDP,” papar Humas RSUP Dr. Sardjito, Banu Hermawan.
Untuk menerima dan mendistribusikan donasi pun, belum ada sistem dari Gugus Tugas yang bisa digunakan. Semua berlangsung acak sehingga ada rumah sakit dan puskesmas yang kelebihan stok dari donasi dan banyak lagi yang tidak atau jarang menerima donasi. Sonjo, salah satu grup relawan COVID-19 di Yogya, mencoba memecahkan masalah tersebut dengan membuat platform yang mempertemukan kebutuhan faskes dan relawan.
ADVERTISEMENT
Rujukan
Pertama-tama adalah soal merujuk pasien dari rumah sakit non rujukan ke rumah sakit rujukan atau dari rumah sakit rujukan non critical ke rumah sakit yang memiliki fasilitas critical. Merujuk pasien bukanlah hal yang mudah dan diakui oleh banyak dokter meski tak semuanya mau on the record.
Muhammad Faris, seorang dokter dari PKU Muhammadiyah Gamping pada Rabu (8/4) malam merujuk pasien dari tempat ia bekerja ke PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ia mengakui sistem rujukan belum selancar yang diinginkan. “Untungnya malam ini merujuk ke rumah sakit yang yayasannya sama jadi lebih gampang,” katanya di zona dekontaminasi BPBD DIY.
Kasus paling mendapat perhatian dari sulitnya merujuk pasien ini adalah viralnya video Direktur RS Nur Hidayah, Sugiran yang mengaku kesulitan merujuk 3 pasien suspect COIVD-19 pada Senin (30/3). Meski akhirnya berhasil mendapat rujukan di RSUP Dr. Sardjito, dua pasien meninggal dunia esok harinya, Selasa (31/3).
ADVERTISEMENT
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengungkapkan keherannya dengan pertanyaan wartawan mengenai sulitnya rujukan.
“Kapasitas rumah sakit kan baru 50 persen terisi jadi kalau susah sebetulnya aneh. Nanti kami selesaikan sebetulnya ada gap apa. Apa onlinenya kurang bagus atau ada hal lain, saya kurang tahu nanti kita selesaikan,” kata Sultan usai teleconference dengan sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai rumah sakit di Kepatihan Pemda DIY, Rabu (8/4).
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY, Joko Murdiyanto dalam wawancara melalui telepon pada Rabu (15/4) mengatakan bahwa sistem rujukan memang masih terus dibenahi. Ia mengatakan bahwa masalah COVID-19 adalah ujian besar bagi sistem kesehatan, sistem informasi, maupun relasi antara orang-orang di dalam sistem. Bukan hal mudah karena kecepatan kejadian menuntut ritme kerja yang berubah.
ADVERTISEMENT
“Saya tugasnya ke sana ke mari ketemu sama semua yang berkepentingan. Kemarin sudah ketemu semua, rujukan harus selesai tidak ada lagi pasien yang mau dirujuk tidak bisa masuk. Rujukan utama Sardjito dan RSPAU. Dan leader dari soal rujukan ini dokter Darwito, dokter Lesmono, dan dokter Junaidi. Terus kita dorong 3 C, Cooperation, Coordination, Collaboration. Duduk sama rendah, tingkatkan koordinasi, tingkatkan kolaborasi,” papar Joko.
Pakar Big Data & Data Science UGM, Mardhani Riasetiawan, mengatakan sistem informasi dan sistem data di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia sebenarnya telah tersedia.
Data yang ada di rumah sakit juga dinilai telah terintegrasi dengan instansi lain dari daerah sampai pusat. Mardhani tidak menampik adanya proyek-proyek pembangunan sistem informasi dan database dalam skala besar di sistem kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Namun, sistem tersebut selama ini belum berjalan optimal apalagi untuk menangani situasi darurat seperti COVID-19 ini.
“Tidak pernah melakukan uji coba darurat akibatnya ketika ada lonjakan data yang masif, sistem hanya bisa untuk merekam data. Dan begitu kasusnya bertubi-tubi dan butuh dikomunikasikan antar instansi baik di daerah maupun ke pusat, jadi keteteran,” kata Mardhani.
Soal sulitnya data dan komunikasi data ini terjadi tidak hanya pada sistem rujukan namun juga mengomunikasikan kebutuhan APD, melaporkan, dan mengkroscek data dari daerah ke pusat, dan apalagi soal data treatment pasien.
“Jadi kalau tidak dibenahi, sekarang sulit dan data dari seluruh kejadian COVID-19 ini juga sulit dipelajari untuk pelajaran di masa mendatang karena fokusnya hanya laporan dirawat, sembuh, atau meninggal dunia,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kegagalan sistem rujukan hanyalah salah satu masalah yang menjadi salah satu sebab meninggalnya dua pasien rujukan dari RS. Nur Hidayah, Bantul. Masalah lebih besar justru ada pada kapasitas diagnostik yang terbatas, yang membuat seorang pasien di Bantul dinyatakan sembuh dari COVID-19 pada Rabu (8/4) padahal dirinya sudah meninggal dunia dua hari sebelumnya, Senin (6/4).
Sembuh tapi Meninggal
Seorang pasien positif virus corona di RSU PKU Muhammadiyah Bantul, DIY yang meninggal dunia pada Senin (6/4) meninggal dunia dalam keadaan sembuh.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Sri Wahyu Joko Santosa mengatakan, pasien itu dinyatakan positif terinfeksi virus corona pada 26 Maret 2020 namun Dinkes Bantul mendapat laporan hasil swab tenggorokan terakhir yang diambil dari pasien sebelum meninggal pada 2 dan 3 April, hasilnya negatif.
ADVERTISEMENT
“Artinya bahwa seseorang pasien yang sudah dinyatakan positif kemudian hasil evaluasi dua kali swab hasilnya negatif, dinyatakan sembuh," kata Sri Wahyu yang juga Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Bantul, Rabu (8/4) demikian Kompas.com melaporkannya pada hari itu juga.
Dinyatakan sembuh padahal sudah meninggal hanya mungkin terjadi saat virus corona, yang terjadi karena keterbatasan kapasitas diagnosa PCR (Polymerase Chain Reaction).
Kalau memperhatikan data yang dikeluarkan Posko Terpadu Gugus Tugas Penanganan COVID-19 setiap hari pukul 16.00 WIB maka selain data pasien positif, negatif, sembuh, meninggal, PDP, ODP ada satu data yang bisa menggambarkan kecepatan proses PCR. Pada Sabtu (18/4) ada 254 pasien yang masih dalam proses PCR, sementara Minggu (19/4) ada 232 pasien yang masih menunggu. Angka di atas 200 tersebut terus konsisten setiap hari.
ADVERTISEMENT
Padahal, kecepatan dari total 3 laboratorium BSL (Biosafety Level) 2 atau level minimal untuk bisa memeriksa sampel COVID-19, yang ada di DIY, setiap harinya hanya 100 dan maksimal 400 sampel setiap hari. Tiga Lab di DIY tersebut adalah Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP), Lab RSA UGM (yang secara teknis dikerjakan oleh Lab Mikrobiologi UGM dan Lab The World Mosquito Program (WMP), dan Lab RSUP Dr. Sardjito.
“Saya setiap hari bisa 150 dengan catatan tidak ada halangan di reagen dan keperluan lainnya,” kata Kepala BBTKLPP, Irine. BBTKLPP adalah lab pusat untuk pemeriksaan sampel swab COVID-19 di DIY
Peneliti lab UGM, Eggi Arguni mengatakan dengan mesin robotik untuk ektraksi RNA yang baru didatangkan, kapasitas Lab UGM dalam memeriksa sampel COVID bisa melaju menjadi dari 55 per hari menjadi 100-150 sampel.
ADVERTISEMENT
“Semoga minggu ini robotik sudah datang. Semua tinggal menunggu pasokan reagen ekstraksi, dan reagen PCR, primer probe, dan bahan lab habis pakai, jika rutin dan setiap hari ada kita bisa 100-150 sampel per hari,” kata Eggi pekan lalu.
Sedangkan Lab RSUP Sardjito, diterangkan Kepala Divisi Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) RSUP Sardjito, Banu Hermawan mengatakan dengan keterbatasan reagen, Sardjito hanya bisa memeriksa 24 sampel itu pun hanya setiap Senin dan Kamis. Artinya hanya bisa 48 tes sepekan atau sekitar 7 sampel setiap hari.
Jadi dari jumlah ideal 3 lab BBBTKLPP, UGM, dan Sardjito yang sebenarnya bisa 150+150+100 atau sekitar 400-an setiap hari saat ini karena keterbatasan reagen hanya bisa maksimal 150 sampel setiap hari.
ADVERTISEMENT
Maka benar kalau otoritas dalam hal ini Komandon Posko Sekretariat Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di DIY, yang juga Sektetaris Daerah (Sekda) Pemprov DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan bahwa setiap hari DIY bisa memeriksa 150 sampel.
“Kapasitas diagnosa PCR sudah semakin baik setiap hari bisa 150 sampel PDP,” kata Kadarmanta saat jumpa pers seusai Koordinasi Gugus Tugas dengan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, pada Senin (20/4) siang.
Yang menjadi masalah adalah jika penumpukan antrian masih di atas 200 setiap hari maka kasus pasien COVID-19 dinyatakan sembuh tapi meninggal masih bisa terulang terus setiap hari.
Dan, seorang pasien COVID-19 memerlukan tidak hanya sekali tes swab namun minimal 2 kali yakni saat pertama masuk rumah sakit dengan gejala klinis dan setelah berangsur gejala klinis berkurang untuk melihat apakah pasien tersebut sudah pulih dari COVID-19 atau belum. Dalam kasus pasien Bantul yang meninggal tapi sembuh bahkan melakukan tes swab 3 kali yakni di awal ketika masuk RS, lalu 2 kali untuk melihat perkembangan. Artinya, jika reagen selalu tersedia sebenarnya kapasitas maksimal PCR di DIY tidak akan lebih dari 300 orang.
ADVERTISEMENT
Hari ini dengan kapasitas maksimal test PCR hanya 150 pasien maka antrian PDP yang belum ditest terus bertahan di atas 200 orang menjadi bisa dimengerti.
“Memang masih banyak kendala, reagen, primer. Dan secara teknis nge-swab kalau tidak benar ya akan diulangi lagi swab-nya. Jadi benar-benar kita bekerja dalam keterbatasan,” kata juru bicara Gugus Tugas COVID-19 DIY Bidang Kesehatan, Berty Murtininsih.
Dan untuk memenuhi kebutuhan reagen secara ideal bukan hal yang mudah. Reagen 100 persen hanya bisa didapatkan dari impor, dan sangat sulit untuk membuat reagen sendiri di tanah air. Ditambah di pasar dunia, saat ini sedang sangat sulit mendapatkan reagen karena semua negara membutuhkannya.
“Cerita tentang reagen adalah kisah yang menyedihkan. Kita terlalu lama meninggalkan dan tidak peduli dengan biologi molukuler. Sekarang kelabakan tidak bisa tes PCR agresif karena alat dan reagen impor semua, padahal diagnosa jadi salah satu kunci langkah melawan COVID-19,” demikian kata Direktur Research Centre for Biotechnology, UGM, Sity Subandiyah.
ADVERTISEMENT
Tes, Lacak, dan Isolasi
Tes, lacak, dan isolasi. Trisula langkah tersebut adalah panduan dasar untuk memperlambat penyebaran virus dan mengurangi dampaknya. Semuanya dimulai dengan melakukan pengujian. Semakin banyak pengujian dilakukan, semakin banyak data yang diketahui mengenai persebaran virus dan jumlah orang yang terinfeksi.
Pakar Epidemologi UGM yang juga Ketua Satgas COVID-19 UGM, Riries Andono Ahmad mengatakan Indonesia maupun DIY telah melewatkan respon pertama pada kasus awal yakni contact tracing yang tinggi sehingga bisa melakukan isolasi cepatnya.
“Dan itu sudah terlewatkan. Pada situasi berikutnya transmisi lokal di komunitas, harusnya yang dilakukan adalah screening yang luas, hanya dengan itu transmisinya bisa disetop,” kata Andono yang biasa dipanggil Doni ini pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, kapasitas diagnostik terbatas. Dengan keterbatasan kapasitas PCR sulit untuk membayangkan hal yang ideal seperti yang dilakukan pemerintah RRC di Wuhan yakni dengan lockdown, melacak seluruh kasus, merawat yang positif sampai sembuh, memastikan seluruh penduduk bebas COVID-19 baru kemudian kota dibuka pelan-pelan. China terus memantau pintu-pintu masuk antar kota untuk memastikan situasi dari 0, yakni masuknya virus dan kembali outbreak (menyebar) di masyarakat, terulang kembali.
Idealnya menurut Doni, DIY memiliki kapasitas PCR setidaknya 10 kali lipat dari hari ini untuk bisa melakukan tracing secara luas dengan berbagai pilihan metoda.
“Namun tidak punya kapasitas diagnostik tidak berarti tidak bisa melakukan tracing, ada metoda yang bisa kita lakukan untuk menemukan suspect dan memisahkan mereka dari populasi,” kata Doni.
ADVERTISEMENT
Menjadi John Snow
Gubernur DIy, Sri Sultan HB X sampai hari ini masih enggan mengajukan usulan PSBB. Foto : Aji
Riries Andono Ahmad menyebut bapak epidemologi John Snow yang pada abad 19 bisa menghentikan kolera bahkan ketika belum ada yang tahu apa penyebab kolera dan tidak ada alat diagnosis sama sekali. Intervensi John Snow menurut Doni, berdasar pada rute transmisi yang diamati secara manual.
“Prinsip yang sama bisa kita lakukan sekarang. Kita sudah tahu pasti rute transmisinya. Kita sudah tahu pasti cara pencegahan infeksinya,” kata Doni.
Rute transmisi utama COVID-19 yang utama adalah dari Jabodetabek yang memang lebih dulu mengalami outbreak sebelum daerah-daerah yang lain. Maka pengawasan terhadap OTG, ODP, dan PDP terutama dari daerah yang lebih dulu outbreak, menurut Doni, harus sangat tegas.
“Dan kata kuncinya social distancing, tidak ada yang lain,” kata Doni.
ADVERTISEMENT
Doni mengirim selfscreening mandiri untuk menentukan status seseorang OTG, ODP, dan PDP sehingga jika tidak mengalami gejala klinis yang berat mereka wajib menjalankan isolasi atau karantina selama 14 hari. Pertanyaan-pertanyaan dalam selfscreening yang bisa dilihat di covid19ugm.com tersebut adalah darimana berpergian, gejala, tempat tinggal, dan seterusnya.
Pilihan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau tidak menurut Doni selalu masalahnya ada di implementasi dan intervensi kuat otoritas untuk memastikan warga masyarakat melakukan social distancing secara ketat dan itu membutuhkan political will yang kuat.
“Tidak tahu siapa melakukan apa dan kapan. Problemnya di sini. Sehingga semuanya tergagap gagap. Padahal kita punya modal sosial yang belum tidak kelola, keterlibatan masyarakat tinggi. Leadership yang kuat akan membuat kita memiliki command centre yang bisa merespon masalah secara koheren,” papar Doni.
ADVERTISEMENT
Langkah cepat dan kuat musti segera dikerjakan sebab menurut Doni, DIY harus bersiap untuk gelombang kedua dan ketiga paska lebaran. Pertama adalah gelombang pemudik yang datang ke Jogja, bisa saja sebagian besar belum terinfeksi dan gelombang ketiga pada saat tahun ajaran baru sebab DIY memiliki 100 ribu mahasiswa yang datang pada Agustus dan September nanti.
Mereka akan jadi pool suspectable yang baur dengan masyarakat sehingga bisa membuat outbreak yang baru jika tidak melakukan persiapan dari sekarang.
“Secara umum dengan skenario tersebut outbreak di Jogja akan sampai akhir tahun dengan dampak ekonomi bisa lebih panjang. Maka preparasi masyarakat untuk menghadapi skenario-skenario tadi termasuk jangka panjangnya harus disiapkan,” jelas Doni.
Sementara, sampai Rapat Koordinasi Gugus Tugas dengan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, pada Senin (20/4) dengan agenda Pengarahan Bapak Gubernur terkait Percepatan Penanganan COVID-19, wartawan tak mendengar banyak percepatan apa yang sudah dikerjakan oleh Gugus Tugas.
ADVERTISEMENT
Untuk pertanyaan apa yang akan dikerjakan untuk melacak sebaran COVID-19 sementara kapasitas diagnostik terbatas, pemerintah percaya bahwa hari ini kurva di DIY sudah melandai.
“PCR sudah 150 orang dalam sehari dan saat ini kamar isolasi yang sebelumnya digunakan untuk merawat PDP sudah banyak yang kosong karena sudah diketahui hasil tesnya negatif. Jadi beberapa hari terakhir kurva di DIY sudah melandai. Ini adalah pertanda baik kalau persebaran kasus COVID-19 sudah melewati puncaknya,” kata Sekda DIY, Koordinator Posko Terpadu Gugus Tugas DIY, Kadarmanta Baskara Aji kepada wartawan seusai pertemuan dengan Gubernur.
Rapid Test, Kewaspadaan Warga, dan Soal Ekonomi
Setiap Senin, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY, BiwaraYuswantana mengumumkan hasil Rapid Test yang dilakukan oleh Gugus Tugas. Pada Senin (20/4), Biwara mengumumkan telah mendistribusikan 13200 Rapid Diagnostik Test dari 14200 RDT yang telah diterima Pemda DIY dari pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
“Dari jumlah itu yang sudah diketahui hasilnya sebanyak 3059 yakni 2973 negatif, 47 positif, dan terjadi eror 39 RDT. RDT kita utamakan untuk tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien, kontak tracing pasien di seluruh kabupaten kota di DIY, dan para pendatang dari luar daerah terutama dari episentrum COVID,” papar Biwara.
Merujuk pada penjelasan Peneliti lab UGM, Eggi Arguni rapid test sangat tricky untuk diinterpretasi. sangat tergantung dari kapan diperiksanya, yakni pada fase akut ataukah sudah fase penyembuhan. Bila hasilnya negatif, bukan berarti negatif, harus menjalani pemeriksaan ulang setelah 7-10 hari kemudian. Dan kalau hasilnya positif, tetap harus diteruskan dengan pemeriksaan RT-PCR. “Tapi bukannya tidak bermanfaat. Hanya ya itu tadi harus diinterpretasi dengan hati-hati dan benar-benar harus melihat klinis dari orang yang diperiksa,” katanya.
ADVERTISEMENT
Eggy berharap, sistem kesehatan rumah sakit di DIY mampu menghadapi pandemi dan hal tersebut tidak dapat diatasi kalau tidak dibantu oleh seluruh warga.
Terpisah, Ketua RT 6 RW 18 Kelurahan Sidoarum, Godean, Sleman, Petrus Suherman mengaku bahwa belum ada arahan apapun dari aparat desa termasuk mengenai pembentukan relawan desa lawan COVID yang sudah menjadi keputusan Kepala Desa Sidoarum sejak 31 Maret.
“Surat pembentukan relawan itu saya dapat malah dari tukang digital printing. Lalu saya inisiatif sendiri pakai uang kas RT bikin spanduk, bikin poster, bikin daftar orang yang datang dari luar kota. Mbok bantuan masker 2 biji saja tidak ada semua inisiatif sendiri,” kata Petrus pekan lalu.
Petrus mengatakan sudah aktif menerima laporan warga tentang pendatang dan berharap semua bisa disiplin melakukan isolasi mandiri meski tidak ada petugas yang mengawasi. Petrus mengaku hanya mencatat pendatang dan melaporkannya kepada Kepala Dukuh untuk diteruskan ke otoritas terkait.
ADVERTISEMENT
"Formnya juga dikasih tukang digital printing, bukan dari dukuh atau kelurahan," katanya.
Sampai 20 April, ada 2 PDP tak jauh dari rumah Petrus yang sedang dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta. Kewaspadaan warga Sidoarum meningkat yang bisa dilihat dari penutupan seluruh portal perumahan dan gang, sesuatu yang tak pernah dilihat sebelum ada corona.
Hanya saja warga banyak mengeluhkan pendapatannya menurun bahkan harus sudah makan dari tabungan karena tak menghasilkan uang sama sekali dalam beberapa minggu terakhir.
"Berat sekali hari ini, nggak tahu mau bagaimana pasrah," kata Robi Anwar, salah satu warga setempat yang bekerja sebagai penjual barang bekas di Pasar Senthir, Malioboro. (Widi Erha / ES Putra / YK-1)
ADVERTISEMENT