Pegiat Startup Jogja Minta Bukit Algoritma Berkaca pada Kegagalan Technopark

Konten Media Partner
22 April 2021 18:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Budiman Sudjatmiko hadir pada pembukaan pameran Asal-Usul Orang Indonesia (ASOI) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Budiman Sudjatmiko hadir pada pembukaan pameran Asal-Usul Orang Indonesia (ASOI) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana pembangunan pusat pengembangan teknologi seperti Silicon Valley yang akan dibangun di Sukabumi, Jawa Barat mestinya menjadi kabar menggembirakan untuk para pegiat startup. Namun, para pegiat startup di Jogja justru menyangsikan rencana pembangunan Silicon Valley ala Indonesia bernama Bukit Algoritma tersebut karena ekosistem teknologi yang dirasa belum cukup baik.
ADVERTISEMENT
Direktur Business & Partnership Inkubator Amikom Business Park (ABP), Donni Prabowo, mengatakan bahwa masih banyak yang perlu dibenahi sebagai pondasi untuk membangun sebuah pusat pengembangan teknologi. Dia khawatir, dengan ekosistem yang belum kuat ini nantinya gedung Bukit Algoritma yang akan dibangun dengan anggaran mencapai Rp 18 triliun tersebut akan terbengkalai, dalam artian tidak digunakan untuk pengembangan teknologi seperti semestinya.
“Padahal kalau menurut saya dibandingkan dengan membangun bangunan fisik, lebih baik anggarannya yang Rp 18 triliun itu digunakan untuk penguatan ekosistem startup dari hulu ke hilir,” kata Donni Prabowo ketika dihubungi, Senin (19/4).
Rencana pembangunan Bukit Algoritma ini menurutnya perlu berkaca pada program-program pembangunan technopark oleh pemerintah yang pada akhirnya justru kurang dimanfaatkan secara optimal karena sumber daya manusia (SDM) yang belum siap. Ada banyak hal yang lebih fundamental menurut dia untuk disiapkan lebih dulu sebelum membangun bangunan fisik, misalnya kualitas sumber daya manusia, industri teknologi, serta regulasi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, para pegiat startup teknologi di Indonesia menurut dia masih harus mengimpor bahan-bahan dari luar negeri ketika akan membuat sebuah produk. Hal ini membuat startup di Indonesia, khususnya startup teknologi di bidang hardware sulit untuk bisa bersaing dengan luar negeri karena pasti harganya akan kalah bersaing. Karena itu, membangun dan menguatkan industri teknologi dalam negeri menurut dia lebih mendesak ketimbang membangun Bukit Algoritma.
“Misalnya industri semikonduktor, yang di Indonesia bisa dibilang belum ada, belum berkembang. Teman-teman startup khususnya startup di hardware akhirnya memilih mengimpor barang dari China, karena kalaupun bikin di Indonesia jatuhnya lebih mahal,” lanjutnya.
Belum Ada Spesialisasi
Pusat Riset Samsung di Silicon Valley yang dijepret Galaxy S10 Plus. Foto: Jofie Yordan/kumparan
Salah satu alasan mengapa industri teknologi di China bisa berkembang dengan pesat menurut Donni adalah karena adanya regulasi yang mengatur spesialisasi tiap industri. Sebagai contoh, perusahaan yang punya spesialisasi membuat casing ponsel, dia hanya akan membuat casing dalam jumlah besar. Begitu pula perusahaan yang fokus untuk membuat komponen lain seperti LCD, baterai, serta komponen-komponen lain.
ADVERTISEMENT
“Itu bisa dipesan oleh vendor produk yang lain, jadi saling melengkapi,” kata Donni.
Sementara di Indonesia, spesialisasi seperti itu menurutnya belum ada sehingga dibutuhkan regulasi untuk mengaturnya. Menurutnya, riset-riset serta inkubator di perguruan tinggi Indonesia juga perlu dibuatkan regulasi untuk mengelompokkan spesialisasi masing-masing. Misalnya ada yang fokus di bidang teknologi informasi, pertanian, robotika, dan sebagainya.
“Pokoknya palugada semua, ITS ngerjain apapun, UGM ngerjain apapun, dan yang lainnya juga begitu. Jadi berdiri sendiri tapi tidak terbentuk ekosistem dari hulu sampai hilirnya,” ujarnya.
Jika nanti ekosistem teknologi dari hulu ke hilirnya sudah siap, baru menurutnya bisa dibangun pusat pengembangan teknologi macam Silicon Valley untuk semakin mendukung perkembangan teknologi di Indonesia. Sebab, Silicon Valley, menurut Donni tidak identik dengan tempat atau bangunan fisik, melainkan ekosistem yang saling terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Silicon Valley menurutnya merupakan sebuah kawasan yang ekosistemnya lengkap dari hulu ke hilir, terutama perguruan tinggi yang bertugas untuk mengembangkan riset serta industri dari hulu ke hilir yang saling berkaitan.
“Membangun Silicon Valley itu bukan kita membuat bangunan mirip Silicon Valley-nya Amerika terus kita sebut itu Silicon Valley-nya Indonesia. Di Amerika pun ada kampus-kampus besar dan dikelilingi industri-industri raksasa,” lanjutnya.
Untuk saat ini, mengoptimalkan apa yang sudah ada merupakan upaya yang lebih rasional ketimbang membangun pusat pengembangan teknologi senilai triliunan. Misalnya mengoptimalkan inkubator-inkubator startup di tiap kampus, sience technopark di sejumlah kota, atau Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) yang ada di Serpong.
“Jangan sampai Bukit Algoritma ini hanya sekadar slogan,” kata Donni Prabowo.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Lokasi Dipertanyakan
Desain Bukit Algoritma. Foto: Dok. Sukabumi Update
Pegiat teknologi lain, Co-founder Data Sains Indonesia, Tuti Purwaningsih, sebenarnya menyambut baik rencana pembangunan Bukit Algoritma yang diklaim sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Namun dia mempertanyakan mengapa Bukit Algoritma justri dibangun di Sukabumi, alih-alih di kawasan lain yang memiliki sumber daya lebih besar.
Menurut Tuti, sebuah kawasan yang akan dijadikan sebagai pusat pengembangan teknologi idealnya memiliki akses yang dekat dengan perguruan tinggi yang banyak memiliki lulusan di bidang teknologi informasi, statistika, komputer, serta bidang lain untuk mendukung pengembangan teknologi. Sementara Sukabumi, berada jauh dari kampus-kampus besar yang mampu menyuplai lulusan yang mumpuni.
“Ada baiknya cari lokasi yang memang akses untuk SDM terbaik itu gampang,” kata Tuti Purwaningsih.
Di Jawa, menurutnya ada dua kawasan yang paling ideal untuk membangun pusat pengembangan teknologi, yakni di Jakarta dan DIY yang memiliki ratusan perguruan tinggi di sejumlah bidang.
ADVERTISEMENT
“Kalau untuk industri memang bagusnya di Jakarta dan sekitarnya lah, kalau untuk akses SDM saya lihat yang paling dominan di Jogja,” lanjutnya.
Menurutnya pembangunan pusat pengembangan teknologi macam Silicon Valley juga tidak mesti berada di satu tempat saja. Karena kondisi geografis, potensi, serta masalah yang berbeda, Indonesia tidak harus mereplikasi Silicon Valley milik Amerika. Kawasan seperti Silicon Valley menurut dia juga bisa dibangun di beberapa tempat, misalnya di Jogja khusus untuk startup-startup yang masih tumbuh, dan di Jakarta untuk startup-startup yang sudah besar.
“Kita enggak harus betul-betul memiripkan Silicon Valley yang ada di Amerika karena situasi yang berbeda ya,” ujarnya.
Alternatif lain, kawasan seperti Silicon Valley ini juga bisa dibuat di tiap pulau besar di Indonesia dengan karakter masing-masing, mengingat potensi dan permasalahan setiap pulau berbeda satu sama lain. Misalnya, Silicon Valley di Papua fokus pada pengembangan pariwisata, di Makassar atau Sulawesi tentang maritim, di Kalimantan tentang tambang atau pengembangan lahan gambut, di Sumatera tentang pengembangan kehutanan menggunakan teknologi, sedangkan pusatnya nanti ada di Jawa.
ADVERTISEMENT
“Ada baiknya juga Silicon Valley itu tersebar di setiap pulau, nah pusatnya nanti di Jogja atau Jakarta. Jadi dana Rp 18 triliun itu bisa dibagi ke setiap pulau, syukur-syukur ditambah,” kata Tuti Purwaningsih.
Integrasi Apa?
Kepala Peneliti di grup riset Cloud and Grid Technology di Lab Sistem Komputer dan Jaringan, Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika (DIKE) FMIPA UGM yang juga pakar di bidang Big Data, Mardhani Riasetiawan, mengatakan bahwa Bukit Algoritma yang digagas sekarang belum terlalu terlihat konsep integrasi sumber daya yang ingin dibangun. Belum jelas, apakah proyek tersebut hanya berupa integrasi kawasan secara fisik bangunan semata seperti membuat komplek perkantoran teknologi, atau benar-benar mengintegrasikan sumber daya.
“Saya sendiri berpendapat jika pendekatannya hanya mengintegrasikan fisik bangunan perkantoran akan tidak berhasil dan maksimal hasilnya,” kata Mardhani, Rabu (21/4).
ADVERTISEMENT
Jika melihat situasi Indonesia sekarang di rentang wilayah yang luas, pandemi yang tak kunjung berakhir, serta perekonomian yang masih berusaha bangkit, pendekatan Bukit Algoritma ini menurutnya merupakan pilihan yang cukup riskan. Di situasi seperti ini, menurutnya akan lebih baik mengembangkan simpul-simpul teknologi di daerah seperti maraknya industri kreatif di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Bali, dan kota lainnya menjadi kota-kota cerdas yang memiliki banyak startup, program, sumber daya yang bagus untuk dikembangkan ketimbang membangun satu kawasan.
“Konsep menjadikan satu atau integrasi sudah kuno menurut saya, tetapi mendistribusikannya secara merata dengan kekhasan masing-masing akan jauh lebih optimal,” lanjutnya.