Pemda Minim Peran Akibatkan Krisis Likuditas BPJS

Konten dari Pengguna
8 Oktober 2019 14:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedojteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Laksono Trisnantoro dalam jumpa pers di Yogyakarta Selasa (8/9). Foto oleh : Widi Hermawan
Pemerintah daerah (Pemda) dinilai masih minim peran dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akibatnya, berbagai persoalan muncul yang berimbas pada krisis likuiditas hingga triliunan rupiah.
ADVERTISEMENT
Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Laksono Trisnantoro mengungkapkan setidaknya ada empat permasalahan akibat minimnya peran Pemda dalam pelaksanaan JKN. Masalah utama adalah belum optimalnya verifikasi dan validasi data kesertaan PBI (Penerima Bantuan Iuran). Selain itu, penyerapan dana operasional atau kapitasi sebagai upaya peningkatan promotif dan preventif juga tidak berjalan maksimal.
"Ketiga, data BPJS Kesehatan sulit diakses, termasuk data keuangan, serta daftar peserta PBPU yang menunggak," ujar Laksono dalam Workshop Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Pemerataan Kuratif di Litbang FK-KMK UGM, Selasa (8/9). PBPU adalah akroim dari Peserta Bukan Penerima Upah.
Masalah selanjutnya adalah defisit yang seluruhnya ditanggung oleh pemerintah pusat menggunakan APBN. Sementara pemerintah daerah tidak dibebani tanggungan defisit tersebut. Bahkan, Pemda menjadikan anggaran BPJS sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Terbatasnya keterlibatan Pemda ini salah satunya juga disebabkan oleh tata kelola BPJS Kesehatan yang bersifat sentralistik. BPJS Kesehatan tidak menjalankan pembagian kewenangan kepada pimpinan cabang atau divisi regional sesuai asas desentralisasi. Padahal, berdasarkan penelaahan yang dilakukan PKMK UGM, tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan JKN menjadi kewenangan ekslusif pemerintah pusat.
"Seharusnya program JKN dapat menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sekarang Pemda tidak menanggung defisit itu," lanjut Laksono.
Akibat minimnya peran Pemda dalam pelaksanaan JKN, pengambilan kebijakan atau keputusan oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan menjadi tidak berbasis bukti yang baik. Selain itu, penetapan batas manfaat JKN, premi JKN, standar mutu layanan dan monitoring evaluasi, serta pengawasan program JKN oleh pemerintah daerah menjadi tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Dampak lainnya, defisit BPJS Kesehatan akan terus terjadi karena Pemda tidak berperan dalam memberikan insentif menutup defisit melalui pelayanan preventif dan promotif. Akhirnya, krisis likuidasi Dana Jaminan Sosial terus terjadi sehingga pembayaran manfaat layanan rumah sakit menjadi tertunda.
Untuk mencegah defisit berkepanjangan yang dialami JKN tersebut, Laksono mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah bersama DPR harus merevisi UU SJSN tahun 2004 dan UU tentang BPJS tahun 2011.
"Kedua UU tersebut perlu diperbaiki dalam konteks Pemerintah Daerah harus ikut bertanggung jawab untuk menutup defisit di daerah masing-masing," ujar Laksono.
Laksono juga mendesak agar pemerintah daerah segera membentuk peraturan pelaksana sebagai upaya law enforcement kepatuhan iuran bagi kepesertaan segmen PBPU yang merupakan masyarakat mampu. (Widi Hermawan)
ADVERTISEMENT