Pengelolaan Layanan Donor Darah se-Asia Pasifik Masih Buruk

Konten dari Pengguna
6 Februari 2020 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi donor darah. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi donor darah. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Layanan (donor) darah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta menemui berbagai kendala. Kendala tersebut di antaranya tidak adanya standar yang seragam, tidak ada jaringan atau konsolidasi, sumber daya manusia dan peralatan yang terbatas, serta pengelolaan limbah yang belum optimal. Selain itu, disparitas layanan darah antardaerah juga masih lebar.
ADVERTISEMENT
Akses tepat waktu ke darah utuh dan plasma darah (komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang menjadi medium sel-sel darah. 55 % dari volume darah utuh merupakan plasma darah. Untuk selanjutnya disebut plasma saja – red) yang sudah dipisahkan merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan di semua negara. Dalam konteks ini, darah dan plasma yang dipisahkan harus aman, berkhasiat, berkelanjutan, mudah diakses, serta mencukupi kebutuhan yang meningkat pesat di seluruh kawasan Asia-Pasifik.
Untuk memastikan hal tersebut tercapai, RSUP Dr Sardjito dan Jaringan Keamanan Darah dari Forum Inovasi Ilmu Pengetahuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mengadakan sebuah workshop di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Selasa (4/2). Tujuannya, tidak lain untuk meningkatkan layanan darah yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
"Intinya bagaimana proses skrining darah itu quality control-nya lebih bagus," ujar Direktur Utama RSUP Dr Sardjito, Darwito.
Proses skrining merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan untuk menilai apakah seseorang memiliki faktor risiko terhadap suatu masalah kesehatan atau tidak. Tujuannya, untuk memberikan informasi sekaligus penanganan yang tepat jika ditemukan risiko terhadap penyakit tertentu.
Banyak Perbedaan Signifikan
Ilustrasi pengambilan darah. Foto : Pixabay
Meski ada kesamaan dalam praktik pengambilan dan pemrosesan darah atau plasma darah di seluruh negara anggota APEC, namun Darwito tidak memungkiri banyak juga perbedaan yang signifikan. Misalnya kurang memadainya kebijakan darah dalam negeri untuk membuat program darah yang diorganisasi dan dikelola secara domestik.
Terdapat kebijakan yang berbeda-beda di setiap negara di kawasan Asia-Pasifik dalam menetapkan pengakuan darah atau plasma sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan kesehatan dan kemajuan medis.
ADVERTISEMENT
Meski sebagian besar negara APEC memiliki beberapa tingkat kebijakan dalam negeri, namun tidak semua negara anggota menekankan unsur-unsur penting dari sebuah kebijakan kuat yang memaparkan misi, otoritas, tanggung jawab, akuntabilitas, dan keberlanjutan dalam negeri suatu entitas untuk memenuhi kebutuhan darah atau plasma pasien.
"Banyak negara anggota APEC telah mengabaikan atau mengalokasikan terlalu sedikit dana untuk program darah atau plasma mereka," ujar Darwito.
Adanya keterbatasan sumber daya dan infrastruktur di masing-masing negara APEC juga mengakibatkan adanya perbedaan jenis dan fungsi di berbagai unit transfusi darah (UTD). Setidaknya ada tiga jenis UTD, yaitu UTD pengambilan, pengujian, dan pemrosesan, UTD khusus pengambilan, serta UTD jarak jauh.
Mekanisme pendanaan dan perbedaan manajemen dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam pendanaan untuk berbagai jenis UTD. Lingkungan geografis dapat mengarah pada pembentukan banyak UTD jarak jauh yang sangat kecil, sehingga tidak dapat melakukan semua kegiatan dan membatasi mereka.
ADVERTISEMENT
"Tingkat staf juga berbeda, sehingga memengaruhi jenis dan jumlah kegiatan," lanjutnya.
Aktivitas paling umum yang terpengaruh yaitu pelayanan, perawatan, serta pembersihan peralatan. Kegiatan dapat memakan biaya besar karena tidak adanya skala ekonomis, UTD kecilpun tak mampu bergerak menuju otomatisasi.
Operasional Tidak Efisien
Ilustrasi penyimpanan plasma darah. Foto : Pixabay
Tantangan lain untuk menciptakan layanan darah yang layak di negara-negara APEC yaitu kurangnya standarisasi dan penyeragaman praktik UTD akibat minim koordinasi domestik yang kuat. Proses operasional juga belum efisien, sehingga mengarah pada pemborosan.
Di negara-negara APEC yang belum menerapkan CPB, plasma yang tidak digunakan untuk pembuatan plasma beku segar klinis untuk penggunaan lokal. Plasma tersebut juga tidak dapat dikirim ke fraksionator plasma untuk diproduksi menjadi Produk Obat Turunan Plasma (POTP) sehingga akhirnya dibuang.
ADVERTISEMENT
Karena permintaan lokal untuk plasma segar relatif kecil, jumlah plasma yang tidak dapat digunakan bisa menjadi besar dan memakan biaya yang signifikan. Di beberapa negara APEC, jumlah ini bisa mencapai 80 sampai 90 persen dari plasma mereka.
"Selain itu, POTP yang diproduksi secara eksternal harus dibeli untuk memenuhi permintaan pasien di negara anggota tersebut, sehingga memperbesar biaya juga," jelas Darwito.
Selain itu, beberapa negara juga tidak mampu memenuhi permintaan darah dan komponen darah. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya sumber daya dan infrastruktur yang membatasi mereka.
Tidak hanya terbatas dalam mengambil dan menyimpan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga untuk menyiapkan komponen bernilai tambah seperti trombosit atau kriopresipitat yang dibutuhkan pasien dengan kondisi khusus. Selain itu, beberapa negara APEC juga tidak mampu menerapkan sistem pemantauan kepatuhan yang efektif.
ADVERTISEMENT
"Dari negara-negara anggota APEC yang tidak diregulasi, hanya sedikit yang telah menerapkan CPB di dalam negeri," ujar Darwito.
Membentuk Pusat Unggulan
RSUP Dr Sardjito dan Jaringan Keamanan Darah dari Forum Inovasi Ilmu Pengetahuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mengadakan sebuah workshop di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Selasa (4/2).
Untuk mewujudkan layanan darah berkualitas tinggi yang canggih dan program darah dalam negeri yang aman dan berkelanjutan, pembentukan Pusat Unggulan (PU) dinilai perlu dilakukan. PU ini merupakan UTD yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan atas nama UTD lain di dalam negara anggota tersebut.
"UTD ini pada dasarnya akan menjadi juru bicara atau UTD klien," ujar Darwito.
Kendati demikian, UTD yang berada di wilayah terpencil juga dinilai perlu tetap beroperasi, terlebih jika lokasi geografisnya cukup sulit dijangkau oleh PU secara tepat waktu.
PU dan UTD klien juga perlu menyepakati praktik operasional standar yang dipantau secara teratur melalui audit internal serta oleh pihak eksternal yang telah ditunjuk secara khusus. Harus ada tolok ukur khusus untuk PU dan UTD melalui pelaporan berkala indikator kinerja yang ditinjau secara terpusat.
ADVERTISEMENT
"PU juga harus menyediakan pelatihan standar dan mengawasi praktik-praktik di UTD terpencil," lanjutnya.
Kunci keberhasilan optimal PU adalah pengembangan kebijakan darah dalam negeri yang kuat dan secara jelas mengartikulasikan pencapaian keselamatan dan kecukupan komponen darah serta POTP sebagai pendorong utama pembentukan PU. Kebijakan darah, kata Darwito harus menetapkan strategi untuk pemilihan dan pembuatan PU, termasuk pendanaan dan ekspansi di masa depan. (Widi Erha Pradana / YK-1)