Peran Penting Mapala sebagai Ujung Tombak Penjaga Hutan Papua

Konten dari Pengguna
21 Oktober 2020 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mapala tergabung dalam Sekber Perhimpunan Pecinta Alam (PPA) DIY dalam penanganan bencana Lombok beberapa waktu lalu. Foto : dokumentasi pribadi Dengkek.
zoom-in-whitePerbesar
Mapala tergabung dalam Sekber Perhimpunan Pecinta Alam (PPA) DIY dalam penanganan bencana Lombok beberapa waktu lalu. Foto : dokumentasi pribadi Dengkek.
ADVERTISEMENT
Hutan Papua menyumbang sekitar 30 persen atau sepertiga dari hutan hujan yang tersisa di Indonesia dan menjadi benteng terakhir hutan tropis di Indonesia bahkan dunia. Dengan fleksibilitas perannya, mahasiswa diharap bisa menjadi ujung tombak penjaga hutan Papua dan hutan-hutan di luar Jawa lainnya.
ADVERTISEMENT
Bustar Maitar, CEO Yayasan Econusa yang fokus pada konservasi hutan di Maluku dan Papua mengatakan, dengan area lebih dari 33 juta hektar, hutan Papua memegang peran penting sebagai paru-paru Indonesia, bahkan dunia. Dengan kemampuan hutan Papua menyimpan karbon hingga 6.294 juta ton CO2e, pada hari ini masyarakat Indonesia dan dunia benar-benar bergantung padanya untuk bisa menghadapi tantangan perubahan iklim.
“Karena hutan di Sumatera dan Kalimantan semua sudah habis. Masih ada sedikit-sedikit mudah-mudahan kita punya kekuatan untuk mempertahankan yang sedikit-sedikit itu,” ujar Bustar Maitar pada seminar daring yang diadakan oleh Yayasan Econusa dan UNJ, pekan lalu.
Selain menyimpan potensi ekonomi yang besar, hutan juga memegang peran penting untuk menjaga lingkungan. 30 persen dari emisi gas yang menyebabkan perubahan iklim, disumbangkan dari aktivitas penebangan hutan atau deforestasi.
ADVERTISEMENT
“Artinya kalau kita gagal mengendalikan deforestasi, ya kita akan gagal juga untuk mengendalikan perubahan iklim yang berdampak pada kita semua,” lanjutnya.
Menyelamatkan hutan adalah menyelamatkan kehidupan manusia. Adanya perubahan iklim akibat hilangnya hutan akan berdampak pada pola tanam di dunia pertanian, nelayan tidak bisa lagi menentukan kapan harus berlayar dan kapan pulang, permukaan air laut yang terus meninggi karena mencairnya es di kutub, yang akhirnya akan mengancam kehidupan manusia di Bumi.
Sebagai contoh, selama ratusan tahun masyarakat adat di Papua mendapatkan pasokan makanan, obat-obatan, serta kebutuhan kebudayaan mereka dari hutan. Hutan Papua memiliki sekitar 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia, serta 223 jenis reptil, dan diperkirakan masih banyak spesies flora dan fauna lain yang belum tercatat.
ADVERTISEMENT
“Jadi hutan atau lingkungan dan masyarakat itu sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Itu sebuah kesatuan yang utuh,” ujarnya.
Benteng Terakhir yang Terancam
Ilustrasi hutan Papua. Foto: Yayasan Econusa.
Meski kondisi hutan Papua sebagian besar masih sangat terjaga, namun bukan berarti terbebas dari ancaman. Besarnya potensi yang dimiliki hutan Papua, membuatnya paling diincar saat ini, terlebih ketika hutan di Sumatera dan Kalimantan semakin kritis.
“Dalam kurun waktu tahun 1990 sampai 2019, hampir 2 juta hektar hutan di Papua itu hilang,” ujar Bustar Maitar.
Meski hutan yang tersisa masih luas, namun jika tidak benar-benar dijaga, bukan tidak mungkin hutan Papua akan bernasib seperti hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan. Bukan tidak mungkin keanekaragaman yang ada di dalamnya akan diganti dengan komoditas pertanian monokultur, seperti sawit.
ADVERTISEMENT
“Dan jika itu terjadi, maka hilang sudah benteng terakhir kita,” ujarnya.
Untuk menjaga hutan Papua, perlu dilakukan pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada masyarakat adat. Bagi masyarakat adat, hutan dan tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan.
“Sehingga merusak hutan, sama saja merusak mama, merusak kehidupan itu sendiri,” ujarnya.
Membangun Organisasi Pecinta Alam dan Kelompok Studi
Foto koleksi UGM Research Expedition IV
Mahasiswa memiliki kedudukan yang menguntungkan dalam upaya konservasi alam. Selain bisa berperan sebagai akademisi untuk menghasilkan data, mahasiswa juga bisa berperan sebagai orang-orang di LSM yang bisa turun langsung memberikan edukasi, advokasi, serta diseminasi kepada masyarakat.
Hal ini menurut Agung Sedayu, Pakar Pakar Biologi Taksonomi Tumbuhan FMIPA UNJ, perlu menjadi perhatian. Dengan posisinya yang sangat fleksibel, memungkinkan mahasiswa bisa menjadi ujung tombak upaya konservasi.
ADVERTISEMENT
“Dia bisa menghasilkan data, tapi dia juga bisa melakukan aksi nyata, edukasi, diseminasi kepada masyarakat langsung,” ujar Agung Sedayu.
Sayangnya dari total 296 organisasi atau kelompok pecinta alam di dalam kampus, tidak ada satupun yang ada di Papua. Pendirian kelompok studi dan pecinta alam di Papua ini sangat penting, karena selain sebagai pegiat konservasi, mereka juga memegang peran sebagai pemegang laju informasi dari atau ke daerah lain.
“Harusnya hal-hal ini kita dorong. Kita harus melihatnya dalam konteks negara, jadi semua masyarakat berhak menikmati apa yang dimiliki setiap daerah,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)