Perangi Aedes Aegypti, Peneliti Jogja Masuk 10 Daftar Ilmuwan Berpengaruh Dunia

Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 6:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: http://www.eliminatedengue.com/
zoom-in-whitePerbesar
Foto: http://www.eliminatedengue.com/
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, nyamuk Aedes aegypti menginfeksi 400 juta manusia dan mengantar 500 ribu di antaranya ke unit gawat darurat dengan demam berdarah parah, yang 25 ribu di antaranya berakhir tewas. The Atlantic, menyebut spesies ini sebagai hewan paling berbahaya di dunia.
Melalui gigitannya, Aedes aegypti akan menyebabkan seseorang mengalami demam kuning dan demam berdarah. Gigitan nyamuk ini juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah ketimbang COVID-19 yang saat ini menjadikan umat manusia di seluruh dunia kelimpungan: zika, yang dapat menyebabkan cacat lahir dan chikungunya yang membuat korbannya menderita nyeri sendi yang melemahkan.
Nyamuk ini begitu menggetarkan dunia kesehatan karena proses perkembangbiakannya yang sangat cepat dan jangkauannya yang sangat luas, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
ADVERTISEMENT
Angin segar datang dari Jogja. Penelitian di daerah istimewa yang dipimpin oleh Adi Utarini, seorang peneliti kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada memperlihatkan hasil menggembirakan.
Dengan dukungan penuh Yayasan Tahija (yayasan yang dimiliki oleh keluarga Tahija), Prof Uut, sapaan akrab Adi Utarini, memimpin uji coba penerapan teknologi bakteri Wolbachia untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti.
Pada Agustus kemarin, Uut dan timnya melaporkan kemenangan besar: mengurangi kasus demam berdarah hingga 77 persen di 33 kelurahan (dari total 45 kelurahan) di Kota Yogya setelah melepaskan nyamuk yang telah dimodifikasi menggunakan bakteri Wolbachia.
“Sungguh melegakan,” kata Utarini seperti dimuat Nature, Rabu (15/12).
Kunci Menaklukkan Jogja
Proyek penelitian ini merupakan pendekatan baru dalam pengendalian wabah demam berdarah. Teknisnya, mereka melepaskan nyamuk Aedes aegypti yang sudah membawa bakteri Wolbachia. Bakteri ini yang kemudian akan melemahkan virus dan mencegah nyamuk menularkannya ke manusia. Ketika nyamuk dengan Wolbachia kawin dengan yang tidak mengandung Wolbachia, maka akan menghasilkan anak nyamuk dengan bakteri Wolbachia.
ADVERTISEMENT
Percobaan skala kecil di Australia dan Vietnam, menunjukkan hasil yang menjanjikan. Tapi Yogyakarta, kota padat dengan hampir 400.000 orang dengan tingkat penularan demam berdarah tinggi, menyediakan panggung yang jauh lebih besar untuk uji coba.
Itu adalah tantangan besar apakah tim Utarini bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat tempat di mana nyamuk dengan Wolbachia akan dilepas. “Itulah yang dikerjakan dengan sangat berhasil oleh tim yang dipimpin Adi,” kata Oliver Brady, seorang pemodel virus yang mempelajari demam berdarah di London School of Hygiene & Tropical Medicine.
Bukan hal yang mudah melakukan eksperimen yang melibatkan masyarakat dalam skala besar. Meski resiko telah dihitung dengan cermat, siapa yang bisa menjamin bahwa nyamuk ber-Wolbachia ternyata bermetamorfosa menjadi monster yang jauh lebih ganas ketimbang makhluk kecil penular demam berdarah?.
ADVERTISEMENT
Ya, kunci penting keberhasilan penelitian itu adalah bagaimana meyakinkan masyarakat sehingga Utarini dan timnya diizinkan melepaskan nyamuk di sekitar tempat tinggal mereka. Dan Utarini melakukannya dengan baik.
Mereka menggunakan berbagai media untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat: mural, pertemuan tatap muka, bahkan menggunakan kompetisi film pendek. Semua itu dilakukan untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang teknologi dan metode yang mereka gunakan.
Peran Seksualitas Wolbachia
Sangat banyak peran Wolbachia secara alamiah, salah satunya dari sisi seksualitas. Wolbachia dapat memengaruhi dan mengubah proporsi jantan dan betina. Pasalnya Wolbachia di dalam tubuh induknya memiliki kemampuan mengubah calon anak berkelamin jantan menjadi betina.
“Atau anak-anak yang nanti akan menjadi jantan dibunuh oleh Wolbachia sehingga lahirnya totally betina semua,” ujar Warsito Tantowijoyo, Kepala Laboratorium Entomologi Mosquito Program (WMP) Yogyakarta pada Oktober silam.
ADVERTISEMENT
Ketika nyamuk betina yang sudah memiliki Wolbachia di dalam tubuhnya kawin dengan nyamuk jantan yang belum ber-Wolbachia, maka semua anaknya yang hidup juga akan memiliki Wolbachia. Sementara ketika hanya nyamuk jantan saja yang memiliki Wolbachia, maka embrionya tidak akan tumbuh sehingga populasi nyamuk juga akan turun. Ya, bisa dikatakan, nyamuk jantan Wolbachia yang berhasil hidup adalah nyamuk yang mandul.
Di dalam tubuh nyamuk, Wolbachia juga mampu menghambat replikasi perkembangan virus dengue. Dari penelitian yang sudah dilakukan, virus yang ada di dalam satu ekor nyamuk Aedes aegypti yang tidak memiliki Wolbachia bisa mencapai 700 ribu sampai 800 ribu viral load.
Berbeda dengan nyamuk yang memiliki Wolbachia, dimana virus tidak mengalami perkembangan sehingga jumlahnya tidak sampai 500 viral load.
ADVERTISEMENT
“Jadi itu adalah jumlah yang tidak bisa menimbulkan penyakit, atau mempunyai potensi yang sangat rendah untuk menimbulkan penyakit demam berdarah,” ujarnya.
Ada beberapa hal yang membuat Wolbachia mampu menahan perkembangan virus di dalam nyamuk. Pertama, Wolbachia mampu menstimulus sistem imunitas nyamuk sehingga mampu melawan infeksi virus ke dalam tubuhnya. Selain itu, Wolbachia juga memacu ekspresi gen imunitas yang juga mampu melawan perkembangan virus.
Wolbachia juga memacu produksi oksigen sebagai bentuk imunitas antimikrobia yang mampu melawan replikasi virus. Dan yang terakhir adalah adanya kompetisi sumber makanan antara Wolbachia dan virus.
“Dan Wolbachia masuk duluan, dia menang duluan di start karena dari telur sudah ada Wolbachia-nya sehingga virusnya tidak berkembang,” jelas Warsito Tantowijoyo.
ADVERTISEMENT
Dengan melepaskan nyamuk-nyamuk yang sudah memiliki Wolbachia di alam atau di suatu target wilayah tertentu, harapannya dapat menekan ancaman penularan DBD. Pasalnya, ketika nyamuk yang ber-Wolbachia kawin maka sampai level tertentu Wolbachia akan terus diturunkan ke generasi-generasi berikutnya.
Secara natural, situasi ini akan mapan dengan sendirinya hingga semua nyamuk Aedes aegypti memiliki Wolbachia di dalam tubuhnya. Biasanya, proses penyebaran nyamuk dilakukan sebanyak 10 sampai 12 kali per dua pekan selama enam bulan dengan jumlah hanya 10 persen dari populasi yang ada di lapangan.
Proses pelepasan akan dihentikan ketika proporsi nyamuk ber-Wolbachia di alam sudah mencapai 60 persen lebih. Setelah itu akan berkembang sendiri sampai level yang tinggi bahkan mendekati proporsi 100 persen dari populasi yang ada di alam.
ADVERTISEMENT
“Sehingga nyamuk-nyamuk itu tetap ada, tetapi kemampuan mereka menularkan dengue atau demam berdarah itu sangat kecil,” ujar Warsito.
Uji Coba Berkualitas Tinggi
Uji coba di Jogja sebenarnya sudah dimulai sejak 2011, namun Utarini dan timnya menghadapi sejumlah masalah, terutama terkait regulasi pemerintah. Utarini yang juga berpengalaman menangani tuberkulosis dan malaria itu harus melakukan negosiasi panjang dengan sejumlah instansi pemerintah terkait hingga proyek penelitiannya mendapat izin untuk dilaksanakan.
Namun setelah hasil penelitiannya diumumkan, masyarakat sangat antusias. “Bahkan sebelum hasil akhir, kami sudah mendapat permintaan dari masyarakat yang bertanya, 'Kapan Anda bisa melakukannya di daerah saya?',” Kata Utarini masih dari Nature.
Scott O'Neill, Direktur Program Nyamuk Dunia di Ho Chi Minh City, Vietnam, mengatakan apa yang dikerjakan oleh Utarini dan timnya merupakan uji coba berkualitas tinggi. Penelitian ini sangat penting sebagai senjata untuk berperang dengan binatang paling mengerikan di dunia, nyamuk Aedes aegypti.
ADVERTISEMENT
“Adi dan kelompoknya telah melaksanakan uji coba berkualitas tinggi yang memberikan kami bukti terbaik dari teknologi ini,” katanya.
Saat ini, nyamuk Wolbachia sudah dilepaskan di seluruh Yogyakarta. Para peneliti demam berdarah kini mendapatkan suntikan optimisme untuk membasmi virus tersebut dari kota, bahkan untuk skala negara.
“Saya percaya pada teknologi ini. Mungkin akhirnya ada cahaya dalam kegelapan,” kata Utarini.
Karena sumbangsihnya dalam upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti, Adi Utarini masuk dalam daftar 10 ilmuwan berpengaruh dunia tahun 2020 yang dirilis jurnal Nature pada 15 Desember kemarin.
Tapi tahun kejayaan Utarini meski dibalut oleh tragedi. Pada bulan Maret, suaminya, seorang farmakolog, meninggal karena COVID-19. (Widi Erha Pradana / ES Putra / YK-1)
ADVERTISEMENT