Pernikahan Dini Sepanjang Pandemi Meroket, Risiko Bayi Stunting Makin Tinggi

Konten Media Partner
7 Juli 2021 18:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stunting yang Dialami Anak Foto: dok UNICEF
zoom-in-whitePerbesar
Stunting yang Dialami Anak Foto: dok UNICEF
ADVERTISEMENT
Angka pernikahan dini di Indonesia mengalami lonjakan selama pandemi COVID-19. Menurut Kementerian PPN/Bappenas, ada 400 sampai 500 anak perempuan usia 10 sampai 17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi karena situasi ekonom keluarga yang makin sulit ditambah sekolah yang tak kunjung berjalan normal.
ADVERTISEMENT
Catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menjawab kekhawatiran itu. Ada sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama dalam periode Januari sampai Juni 2020 saja, dan 97 persennya dikabulkan. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan permohonan dispensasi pada 2019 sebesar 23.126. Dan saat ini, diperkirakan jumlah permohonan dispensasi sudah semakin besar.
Sementara menurut catatan KPAI, selama 2020 terdapat 119 anak yang menikah dini dan putus sekolah. Sementara pada periode Januari hingga Februari 2021, ada 33 siswa yang putus sekolah karena menikah. Ada banyak sekali risiko dan bahaya yang mengintai karena fenomena pernikahan dini baik dari segi fisik maupun mental, dan itu sudah dibahas di mana-mana. Tapi ada satu hal yang perlu mendapat perhatian serius, bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko lahirnya bayi stunting atau kurang gizi kronis.
ADVERTISEMENT
Pengurus Forum Generasi Berencana (GenRe) Provinsi Bali, Ni Luh Indri Astuti, mengatakan risiko bayi stunting ini disebabkan karena organ reproduksi pada perempuan dengan usia di bawah 18 tahun yang belum bisa bekerja secara optimal.
“Itu akan meningkatkan bayi lahir dengan risiko stunting,” kata Ni Luh Indri Astuti dalam seminar daring yang diadakan oleh GenRe Bali bekerja sama dengan BKKBN, beberapa waktu lalu.
Ilustrasi pernikahan dini. Foto: Pixabay
Hal ini selaras dengan pernyataan WHO yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama bayi stunting di Indonesia adalah pernikahan dini. Hal ini dibuktikan dengan data dari BPS yang menyebutkan 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun dengan usia ibu antara 14 sampai 15 tahun. Sedangkan 22,4 persen, dilahirkan dari ibu dengan usia antara 16 sampai 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Anak-anak stunting ini memiliki risiko lebih tinggi terserang berbagai penyakit sehingga akan meningkatkan biaya kesehatan. Perkembangan kognitif motorik, dan verbal pada anak stunting juga menjadi tidak optimal.
“Ini akan melahirkan generasi yang tidak percaya diri dan tidak produktif untuk masa depan,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, spesialis Gizi Klinik dari RSUP Persahabatan, dokter Elfina Rachmi, mengatakan bahwa memang ada hubungan yang erat antara pernikahan dini dan masalah bayi stunting. Permasalahan pertama karena anak di bawah umur masih dianggap belum siap seacara mental dan pengetahuan mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik.
Jikapun mereka sudah punya pengetahuan yang baik, secara fisik organ reproduksi mereka belum siap. Pertumbuhan sang ibu yang belum optimal, sangat mungkin membuat anak yang dilahirkan memiliki berat badan di bawah rata-rata.
ADVERTISEMENT
“Kehamilan terlalu muda dan postur tubuh ibu yang belum optimal berisiko terjadinya berat badan bayi rendah,” kata Elfina Rachmi.
Ilustrasi bayi kurang gizi. Foto: Istimewa
Selain itu, seseorang di bawah 18 tahun masih mengalami proses tumbuh kembang anak baik dari segi berat badan, tinggi badan, proses kognitif, psikologis, dan yang lain. Untuk itu, mereka masih membutuhkan gizi yang cukup untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Jika remaja di bawah usia itu menikah dan hamil, maka tubuh sang ibu dan bayi yang dikandungnya akan berebut gizi atau nutrisi.
“Kalau nutrisi sang ibu selama hamil tidak cukup, maka bayi yang dikandung akan lahir dengan berat badan yang rendah dan sangat berisiko terkena stunting,” ujarya.
Perempuan di bawah usia 18 tahun juga memiliki organ reproduksi yang belum matang sempurna, misalnya rahimnya. Jika dipaksakan mengandung janin, maka perkembangan janin akan terganggu, bahkan bisa menyebabkan keguguran. Tak hanya itu, mulut rahim remaja di bawah usia 20 tahun juga masih menghadap keluar, sehingga sebenarnya belum siap untuk melakukan hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
“Jika mengalami hubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun, maka akan menambah risiko untuk terjadinya proses awal kanker serviks,” kata Elfina Rachmi.