Piagam Katiden 1390 dan Raden Saleh 1862, Sang Pemula Konservasi Alam Indonesia

Konten dari Pengguna
26 September 2020 20:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan Raden Saleh berjudul Boschbrand (kebakaran hutan) tahun 1849 yang bergambar harimau dan banteng. Sumber : historia.id
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Raden Saleh berjudul Boschbrand (kebakaran hutan) tahun 1849 yang bergambar harimau dan banteng. Sumber : historia.id
ADVERTISEMENT
Sejarah konservasi oleh masyarakat Nusantara sudah ditemukan sejak 1390-an, dengan ditemukannya Piagam Katiden atau sering disebut juga Prasasti Malang di Desa Ketindan, Lawang, Malang. Isi piagam tersebut adalah perintah dari penguasa kepada rakyatnya untuk melindungi hewan kecuali jika hewan tersebut masuk ke kampung dan memakan tanaman pangan.
ADVERTISEMENT
Piagam Katidan juga berisi pembebasan pajak penduduk Ketindan karena mereka bertugas menjaga padang rumput di Gunung Lejar.
“Ini suatu hal yang luar biasa, karena pada zaman sangat terdahulu ternyata orang Indonesia punya kebijakan seperti ini,” ujar Pakar Pakar Biologi Taksonomi Tumbuhan FMIPA UNJ, Agung Sedayu dalam seminar daring yang diadakan oleh Yayasan Econusa pekan kemarin.
Kebijakan itu menurut Agung Sedayu merupakan kebijakan konservasi yang luar biasa. Sebab, rakyat tidak hanya diperintahkan untuk menjaga lingkungan, tapi juga mendapat penghargaan atau reward yakni berupa pembebasan pajak.
Piagam Katidan dianggap sebagai dekrit resmi pemerintahan untuk konservasi alam, mendahului semua dekrit pemerintahan modern.
“Itu konsep konservasi terbaik bahkan dibanding konsep konservasi yang disimpulkan oleh masyarakat barat sekalipun. Ini di masa Majapahit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Konservasi di Era Kolonial
Memasuki era kolonial, ternyata tokoh konservasi bukanlah orang Belanda, merupakan Raden Saleh Syarif Bustaman, tidak lain seorang pribumi. Pada 1862, Raden Saleh mengalokasikan sebagian besar lahannya untuk mendirikan taman umum dan kebun binatang untuk studi lukisannya, yang dulu dikenal dengan nama Kebun Binatang Cikini.
Kebun binatang ini merupakan kebun binatang pertama milik pribumi yang kemudian menjadi milik umum. Kebun Binatang Cikini terus beroperasi hingga akhirnya dipindahkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1964 ke Ragunan.
“Kemudian (Raden Saleh) dihormati sebagai Bapak Kebun Binatang Indonesia, dan monumennya didirikan di Kebun Binatang Ragunan,” ujar Agung Sedayu.
Raden Saleh merupakan seorang yang sangat mencintai satwa-satwa besar. Bahkan dia pernah memelihara harimau jawa, dan barangkali menjadi satu-satunya orang yang pernah memelihara harimau jawa secara perorangan.
ADVERTISEMENT
Sebagai pelukis andal, Raden Saleh tidak hanya memelihara hewan-hewan sebagai objek lukisannya semata. Dia juga aktif meneliti fosil, bahkan menjadi peneliti fosil bumiputera yang pertama.
“Fosil yang dikirimnya dari Jawa Tengah ke Leiden menjadi dasar KC Martin pada 1884 untuk membuktikan kesamaan fauna Jawa dan Asia,” lanjutnya.
Lukisan-lukisan Raden Saleh juga sangat menggambarkan konservasi. Misalnya karyanya pada 1849 yang berjudul ‘Kebakaran Padang Rumput’, menggambarkan hewan-hewan di dalam hutan dari banteng, harimau, rusa, macan tutul, sedang berlarian karena kebakaran. Yang lebih tragis adalah lukisan ‘Banjir di Jawa’, yang dilukis Raden Saleh pada 1865.
“Ini permasalahan lingkungan yang sudah direkam oleh Raden Saleh sejak zaman dulu. Dan masih berlangsung sampai saat ini, bahkan harimau jawa sudah tidak bisa kita jumpai,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks nasional, di bawah pemerintahan Hindia Belanda, raja-raja Nusantara juga sudah melakukan konservasi dengan mendirikan cagar alam-cagar alam di wilayahnya masing-masing. Misalnya Kesultanan Buton (1920) mendirikan Cagar Alam Napabalano, Kesultanan Deli (1924) mendirikan Cagar Alam Sibolangit dan Cagar Ala Lau Debuk, Kerajaan Simalungun (1924) mendirikan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja, serta Kesultanan Kotawaringin (1936) mendirikan Suaka Margasatwa Kotawaringin.
Beberapa kerajaan dan kesultanan yang juga mendirikan cagar alam di era pra-kemerdekaan adalah Kesultanan Kutai (1936), Kesultanan Pontianak (1936), Kesultanan Sambas (1936), Kerajaan Manggarai (1938), serta Kesultanan Langkat pada 1938.
“Kalau kita lihat ini unik sekali, karena ada inisiatif lokal dari masyarakat lokal dan dinikmati oleh seluruh penduduk Hindia Belanda,” ujar Agung Sedayu.
ADVERTISEMENT
Pasca-Kemerdekaan, Akademisi dan Mahasiswa Jadi Ujung Tombak
Di era pasca-kemerdekaan, akademisi dan mahasiswa menurut Agung Sedayu memegang peran penting di bidang konservasi lingkungan. Akademisi memegang peran sebagai penyedia landasan dalam pengambilan keputusan manajerial negara. Sementara mahasiswa, selain berperan sebagai akademisi, mereka juga bisa berperan sebagai orang-orang di LSM.
“Dia bisa menghasilkan data, tapi dia juga bisa melakukan aksi nyata, edukasi, diseminasi kepada masyarakat langsung,” ujar Agung Sedayu.
Hal ini perlu dioptimalkan, dengan kedudukan yang dimiliki, mahasiswa memungkinkan melakukan pergerakan-pergerakan yang lebih fleksibel ketimbang peneliti dan LSM.
“Kalau kita lihat, fungsi ini justru jauh lebih mobile daripada peneliti-peneliti serius di universitas dan lembaga penelitian maupun penggerak-penggerak aktivis yang ada di LSM,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ada 296 kelompok atau organisasi pecinta alam di kampus yang bergerak di alam bebas, petualangan, lingkungan hidup, konservasi alam, pendidikan dan kemanusiaan. Sayangnya, kelompok-kelompok tersebut masih terpusat di Jawa, yakni 213 organisasi. Hal ini perlu menjadi pertimbangan menurut Agung, bagaimana mendirikan kelompok-kelompok pecinta alam di daerah-daerah lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan tentunya Papua.
“Kita harus inisiasi di tempat-tempat tertentu yang masih sedikit, yang masih belum punya organisasi-organisasi semacam itu,” lanjutnya.
Pembentukan kelompok-kelompok spesialis peminatan takson kharismatik menurutnya juga perlu dilakukan. Seperti kelompok studi reptilia, amfibia, kelelawar, anggrek, dan sebagainya. Tidak lupa, dibentuk juga forum-forum komunikasi antarorganisasi untuk memicu standarisasi program dan laju informasi. (Widi Erha Pradana / YK)
ADVERTISEMENT