news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Polarisasi Kepemilikan Aset dan Dualisme Ekonomi Bayangi Ketimpangan di Jogja

Konten Media Partner
16 Februari 2021 16:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ekonomi pariwisata di Jogja. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi pariwisata di Jogja. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menempati peringkat pertama se-Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat pada September 2020 angka rasio gini yang mencerminkan tingkat ketimpangan di DIY mencapai angka 0,437. Angka ini naik sebesar 0,003 dibandingkan Maret 2020 yang menyentuh angka 0,434.
ADVERTISEMENT
Gini ratio ini adalah yang tertinggi dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan gini ratio Indonesia secara nasional yakni sebesar 0,385.
“Jadi memang lebih besar dari gini ratio nasional,” kata Kepala BPS DIY, Sugeng Ariyanto dalam siaran pers virtual, Senin (15/2).
Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga Presidium Lingkar Akademisi Reformis Indonesia, Ahmad Ma’ruf mengatakan bahwa ada dua penyebab kenapa DIY memiliki tingkat ketimpangan tertinggi se-Indonesia, yakni adanya polarisasi kepemilikan aset produktif dan dualisme ekonomi.
Polarisasi kepemilikan aset ini menjadikan penduduk yang kaya memiliki kecepatan untuk meningkatkan kekayaan yang lebih tinggi karena punya aset produktif, sedangkan yang miskin kecepatan untuk meningkatkan perekonomiannya jauh lebih rendah.
ADVERTISEMENT
“Yang kaya itu lebih cepat kaya, sedangkan yang miskin itu lambat dalam menguasai aset produktif,” kata Ahmad Ma’ruf.
Aset produktif yang dimaksud adalah sektor-sektor yang menghasilkan tingkat upah atau pendapatan yang tinggi. Di DIY, 40 persen penduduk dengan ekonomi tinggi terdiri atas pengusaha menengah ke atas, pejabat publik, serta kelompok profesional.
Aset-aset besar di DIY seperti hotel misalnya, juga hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Begitu juga dengan bisnis-bisnis otomotif, properti, dan bisnis-bisnis besar lainnya.
“Kelompok-kelompok itu jauh lebih progresif dalam mengkapitalisasi income, karena memang dia memiliki pilihan aset yang produktif,” ujarnya.
Kendati demikian, bukan artinya kelompok kecil yang menguasai aset produktif itu salah. Yang mesti dilakukan adalah bagaimana bersama-sama mendorong kelompok dengan ekonomi rendah untuk mempercepat meningkatkan perekonomiannya.
ADVERTISEMENT
“Karena itu dibutuhkan program-program yang sifatnya proteksi, afirmasi, lalu partnership,” ujarnya.
Hal tersebut terlihat misalnya dari profil rasio gini di DIY di perkotaan dan di perdesaan.
Untuk wilayah perkotaan, gini ratio di Yogyakarta pada September 2020 mencapai 0,439 naik dari semester sebelumnya pada Maret 2020 yang berada di angka 0,436. Sedangkan di wilayah pedesaan, gini ratio lebih rendah dari wilayah perkotaan berkisar antara 0,329, naik 0,001 dari semester sebelumnya.
“Kita bisa melihat bahwa ketimpangan atau gini rasio di wilayah pedesaan selalu jauh lebih rendah dibandingkan wilayah perkotaan,” jelas Kepala BPS DIY, Sugeng Ariyanto.
Dualisme Ekonomi
Ilustrasi pertanian di desa. Foto: Widi Erha Pradana.
Penyebab ketimpangan di DIY selanjutnya adalah adanya dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi ini menurut Ma’ruf punya hubungan erat dengan budaya, bahwa orang miskin cenderung memiliki sikap menerima apa yang ada.
ADVERTISEMENT
“Mereka mudah bersyukur, narima ing pandum,” ujar Ma’ruf.
Budaya narima ing pandum ini menurutnya memberikan dampak yang besar terhadap statistik ekonomi. Mereka menjadi tidak agresif dalam berbisnis dan berekspansi, sehingga angka pembelanjaan mereka jadi tidak besar.
“Baju setahun cuma beli dua kali sudah nrimo, atau malah tidak beli karena dikirimi anaknya, motornya sudah tua juga nerima enggak ganti juga nrimo,” ujarnya.
Sedangkan kelompok masyarakat dengan ekonomi tinggi memiliki paradigma yang berbeda. Misalnya mereka akan membeli mobil baru dalam periode tertentu untuk menghemat biaya perawatan, handphone juga akan ganti setiap ada seri baru keluar, dan sebagainya.
“Dualisme ini menunjukkan ada perbedaan pola konsumsi antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, itu yang terjadi di Jogja,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan lebih tinggi yang terjadi di masyarakat kota ketimbang di desa juga disebabkan karena adanya perbedaan budaya konsumsi. Di desa, perbedaan pola konsumsi antarkeluarga tidak terlalu signifikan.
Berbeda dengan di kota, budaya individual membuat pola konsumsi satu keluarga dengan keluarga lainnya bisa sangat berbeda tergantung pada tingkat ekonominya. Hal ini membuat ketimpangan ekonomi di kota lebih tinggi ketimbang di desa.
“Tapi bukan berarti ketimpangan di desa Jogja rendah, tidak, tetap relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia,” kata Ahmad Ma’ruf. (Widi Erha Pradana / YK-1)