Polisi Akui Sulit Tangani Kekerasan pada Perempuan: Kekurangan Dana dan SDM

Konten Media Partner
25 April 2022 21:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Polda DIY
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Polda DIY
ADVERTISEMENT
Perwira Administrasi (Pamin) Sub Bidang Pembinaan Pertanggung Jawaban Profesi (Subbidwabprof) Bid Propam Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gatot Sukoco, mengungkapkan bahwa kepolisian sampai saat ini masih kesulitan untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Minimnya jumlah personel dan anggaran untuk melaksanakan program-program perlindungan perempuan dan anak (PPA), jadi kendala utama bagi kepolisian.
ADVERTISEMENT
Pada 2014 silam, Gatot mengatakan bahwa sebenarnya Polri telah merekrut polisi wanita (Polwan) untuk ditempatkan di divisi PPA. Namun seiring berjalannya waktu, polwan-polwan yang direkrut tersebut sudah banyak yang bergeser ke divisi lain.
Di unit PPA Polda DIY sendiri saat ini menurut Sukoco hanya tersisa dua personel yang bertugas menangani puluhan laporan terkait kekerasan terhadap perempuan. Hal sama juga terjadi di Polres maupun Polresta yang ada di wilayah DIY, personel-personel yang sebelumnya telah dibekali dengan pengetahuan tentang sistem PPA, saat ini juga sudah banyak yang dipindah tugaskan ke unit atau divisi lain.
“Sebagai contoh di Polres Gunungkidul, yang sebelumnya ada 10 orang yang dulu sering ikut pelatihan Sistem PPA, sekarang cuman tinggal satu saja,” kata Gatot Sukoco dalam webinar yang diadakan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC), pekan lalu.
Ilustrasi kekerasan pada perempuan. Foto: Pixabay
Tak hanya kekurangan personel, penyidik yang dimiliki lembaga kepolisian menurut Gatot juga masih kurang memiliki rasa empati kepada korban. Hal ini membuatnya terlalu kaku dalam menerapkan aturan tanpa melihat kondisi korban dan apa yang dia butuhkan.
ADVERTISEMENT
“Seperti misalnya terkait dengan pemeriksaan terhadap korban harus di kantor polisi, tapi seiringnya waktu kita jelaskan bahwa BAP itu tidak harus di kantor polisi, tapi menyesuaikan juga,” lanjutnya.
Personel yang bertugas di unit PPA menurut Gatot juga tidak hanya menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Seringkali, mereka juga harus ikut terjun untuk menangani perkara-perkara lain sehingga membuat beban mereka semakin berat.
Permasalahan lain yang dihadapi kepolisian dalam menangani setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah minimnya anggaran. Gatot menjelaskan, bahwa anggaran yang disediakan untuk menjalankan program PPA memang lebih kecil ketimbang anggaran untuk menangani perkara-perkara lain.
Padahal dalam praktiknya, penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan menurut Gatot justru lebih mahal dibandingkan penanganan perkara lain. Sebab, biasanya pemeriksaan perkara kekerasan terhadap perempuan dilakukan dengan cara jemput bola, bukan melakukan pemanggilan untuk diperiksa di kantor polisi.
ADVERTISEMENT
“Hal ini memerlukan anggaran yang lebih daripada yang lain,” ujarnya.
Gatot mengatakan bahwa saat ini pihaknya sudah mengajukan tambahan personel maupun anggaran untuk meningkatkan kinerja kepolisian dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di samping itu, kepolisian juga terus berupaya untuk mengoptimalkan personel yang ada saat ini, sebab bukan perkara gampang mencari personel baru untuk masuk ke fungsi reskrim.
“Karena fungsi reskrim itu sekarang dianggap tingkat risikonya lebih tinggi daripada fungsi-fungsi yang lain, sehingga teman-teman memilih yang aman saja, enggak usah ke reskrim,” kata Gatot Sukoco.
Foto: Polda DIY
Berdasarkan catatan Rifka Annisa, pada 2021 kemarin jumlah orang yang mengakses layanan mereka mencapai 947 orang. Jumlah ini sekitar tiga kali lipat lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Dari 947 orang yang mengakses, ada 204 orang yang meneruskan layanan Rifka Annisa untuk mendampingi kasusnya. Selebihnya dirujuk ke lembaga layanan yang dekat dengan domisili mereka, namun ada juga yang tidak melanjutkan aduannya.
ADVERTISEMENT
Dari aduan tersebut, kekerasan terhadap istri adalah yang tertinggi dengan 109 kasus, kemudian diikuti dengan pelecehan seksual sebanyak 35 kasus, kekerasan dalam pacaran 34 kasus, kekerasan dalam keluarga 16 kasus, perkosaan 8 kasus, serta sisanya lain-lain.
Pelapor paling banyak berdomisili di Sleman, dengan jumlah 90 laporan, diikuti Kota Yogyakarta dengan 55 kasus, Bantul 27 kasus, Gunungkidul 4 kasus, Kulon Progo 3 kasus, serta sisanya berasal dari luar DIY sebanyak 25 kasus.
Manager Program Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu, mengatakan bahwa kasus yang berasal dari Sleman dan Kota Yogyakarta paling tinggi karena akses mereka yang gampang untuk mendapatkan layanan pendampingan.
“Karena kebetulan kantor Rifka Annisa kan ada di kota, jadi sangat mungkin di kabupaten lain yang angkanya sedikit itu sebenarnya banyak, namun karena kesulitan akses menjadi tidak terdeteksi,” kata Indiah Wahyu.
ADVERTISEMENT