Praktik Korupsi Pengelolaan Pasar: Mulai dari Proyek, Restribusi, hingga Parkir

Konten Media Partner
9 November 2021 20:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
KPK dan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) mengungkapkan aneka jenis praktik korupsi dalam pengelolaan pasar di Indonesia.
Ilustrasi pedagang di pasar tradisional. Foto: Widi Erha Pradana
Pengelolaan pasar tradisional di Indonesia masih rentan terjadi praktik-praktik korupsi di dalamnya. Besarnya nilai uang yang berputar di dalam kegiatan pasar, membuat tempat ini menjadi sangat rentan terjadi praktik-praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Beberapa praktik korupsi dalam pengelolaan pasar yang sempat terjadi misalnya korupsi dalam proyek pembangunan Pasar Besar Madiun pada 2017, dimana Wali Kota Madiun, Bambang Irianto terbukti menerima gratifikasi selama masa jabatannya.
Praktik korupsi juga terjadi dalam proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi yang menjerat Walikota Cimahi 2012-2017, Atty Suharty dan suaminya yang merupakan Walikota Cimahi 2002-2012 karena menerima suap. Kasus korupsi juga terjadi dalam proyek Pasar Gayungsari Surabaya yang melibatkan Direktur Utama PD Pasar Surya, Sucipto, dan Direktur Keuangan PD Pasar Surya, Soesantyo.
“Itu adalah contoh kasus korupsi yang pernah terjadi dalam pengelolaan pasar-pasar di Indonesia,” kata Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam sebuah webinar yang diadakan oleh KPK, Senin (8/11).
Wawan Wardiana. Foto: Widi Erha Pradana
Ada banyak potensi kecurangan atau korupsi yang bisa terjadi di dalam pengelolaan pasar di Indonesia. Misalnya adalah penetapan, penagihan, dan pendataan terhadap wajib retribusi pasar; pelayanan perizinan pasar; serta pendataan los atau kios pasar. Seringkali dalam pengelolaan pasar terjadi jual-beli perizinan secara ilegal, dimana pengelola pasar meminta sejumlah uang kepada calon penyewa secara ilegal supaya dia bisa mendapatkan kios di pasar tersebut dan tak perlu menunggu antrean.
ADVERTISEMENT
Potensi kecurangan lain misalnya terjadi dalam kegiatan pengelolaan kebersihan dan ketertiban pasar termasuk retribusi sampah; pemeliharaan bangunan pasar; penyiapan areal lahan untuk pembangunan, revitalisasi, atau pelebaran pasar; pelaksanaan pengawasan pasar; pengadaan dan pengelolaan barang milik pasar atau daerah; bahkan hingga pelaksanaan sosialisasi, bimbingan, dan penyuluhan pedagang pasar.
“Itu semua adalah kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan potensi-potensi kecurangan di dalam pengelolaan pasar,” lanjutnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), Joko Setiyanto, mengamini bahwa sampai saat ini memang masih banyak dijumpai praktik-praktik korupsi yang terjadi di dalam pengelolaan pasar. Salah satu praktik korupsi yang paling umum ditemukan adalah pengelolaan lahan parkir. Seringkali, pengelolaan lahan parkir di pasar-pasar Indonesia tidak jelas siapa pengelolanya dan lari ke mana uangnya.
ADVERTISEMENT
“Parkir itu sering tidak jelas siapa pengelolanya dan duitnya itu lari ke mana,” ujar Joko Setiyanto.
Praktik korupsi lain yang biasa terjadi adalah penyewaan lahan-lahan untuk pedagang kaki lima (PKL) yang ada di pelataran pasar. Mestinya, PKL-PKL tidak boleh membuka lapak di pelataran pasar, sebab akan merugikan pemilik atau penyewa kios yang ada di belakangnya. Namun seringkali pelataran-pelataran pasar ini disewa-sewakan oleh pihak-pihak yang tidak jelas pertanggung jawabannya.
“Dan itu juga tidak jelas, siapa yang memungut dan disetorkan ke mana. Walaupun kedengarannya hanya kaki lima, tapi itu besar sekali duitnya,” lanjutnya.
Joko Setiyanto. Foto: Widi Erha Pradana
Di lingkup yang lebih tinggi, praktik nepotisme juga masih kerap ditemui. Pejabat-pejabat pengelola pasar, seringkali dipilih dari tim sukses kepala daerah, baik bupati/wali kota maupun gubernur sebagai tanda balas budi. Selain merupakan praktik korupsi, hal ini juga dinilai menghambat kemajuan pasar karena pejabat yang dipilih bukanlah yang benar-benar kompeten di bidang tersebut. Selain itu, pengelola juga menjadi tidak independen karena pengaruh dari kepala daerah yang masih sangat besar.
ADVERTISEMENT
“Mestinya pemilihannya benar-benar dari hasil tes, sehingga orang yang dipilih memang benar-benar profesional di bidangnya, dan hubungannya adalah hubungan profesional,” ujar Joko.
Joko juga kerap menerima laporan dari sejumlah daerah yang mengatakan anggota-anggota DPRD yang terlalu ikut campur dalam proyek pembangunan pasar. Misalnya mereka memberikan rekomendasi perusahaan-perusahaan kontraktor untuk menggarap proyek tersebut, dan para pengelola pasar sulit untuk menolaknya.
Secara administrasi, para pemenang tender proyek pembangunan pasar memang sesuai dengan prosedur. Namun menurut Joko, di balik itu sangat banyak kepentingan-kepentingan yang dititipkan di dalamnya.
“Banyak titip sana titip sini untuk memenangkan proyek. Beberapa yang titip masuk saja, dan kalau kalah marah sampai mengancam-mengancam begitu,” kata Joko Setiyanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT