Pranata Mangsa, Teknologi Data yang Dibuat Petani Ratusan Tahun Terancam Hilang

Konten dari Pengguna
7 Desember 2020 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petani. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun lamanya, pranata mangsa menjadi pedoman para petani di Jawa dalam melakukan aktivitas pertanian. Namun, perubahan iklim membuat cuaca semakin sulit diprediksi. Jadi, apakah pranata mangsa masih relevan bagi petani di Jawa?.
ADVERTISEMENT
Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan yang digunakan sejak 22 Juni 1856 Masehi, ketika Pakubuwono VII memberlakukannya di seluruh wilayah kasunanan.
Pranata mangsa bisa disebut sebagai kalender tentang aturan musim yang telah lama dikenal oleh masyarakat tani Jawa. Pada 1950 sampai 1960-an, pranata mangsa sempat diajarkan di sekolah rakyat (SR) maupun sekolah dasar (SD) di wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
“Tetapi fakta sekarang ya seperti ini, bahwa pranata mangsa mengalami penyimpangan karena perubahan iklim dan zaman,” kata Winarso Drajad Widodo, Peneliti di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dalam seminar daring yang diadakan oleh Tropenbos pekan kemarin.
Adanya pranata mangsa, menurut Winarso menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sejak dulu sudah sangat astronomis. Salah satu buktinya terdapat dalam Prasasti Harinjing atau Sukabumi. Setiap ada peristiwa penting, masyarakat Jawa selalu mencatat kapan peristiwa tersebut terjadi dalam prasasti.
ADVERTISEMENT
Zaman dulu, orang Jawa menurutnya menggunakan rasi atau lintang waluku sebagai penanda musim tanam yang terbit sebulan setelah Kartika. Ketika Kartika terbit, masih ada waktu satu bulan untuk bersiap-siap menanam padi.
Kartika sebagai penanda musim sama dengan yang digunakan di Inca. Pada pukul 18.00 jika di Timur dengan ketinggian kurang lebih 15 derajat, maka telah masuk mangsa 7, waktu pemindahan bibit padi ke sawah.
“Yang ada pada buku Centhini, itu koordinatnya sama dengan tahun 612 Masehi, yaitu pada peristiwa pendirian kerajaan Galuh di Jawa Barat,” ujarnya.
Tapi jika yang digunakan patokan adalah lintang waluku secara lengkap dengan ketinggian yang sama seperti di atas, maka situasi tersebut tepatnya terjadi pada 22 Desember 4000 SM pukul 18.00, yang pada tahun 2017 baru terjadi pada 29 Januari 2017 atau akhir mangsa 7. Hal itu menunjukkan adanya pergeseran penanggalan musim tanam di dalam pranata mangsa.
ADVERTISEMENT
“Sehingga saya mempunyai kesimpulan bahwa pranata mangsa itu sudah berjalan lama, bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu,” lanjutnya.
Pasalnya, jika melihat sistem penanggalan dari Pakubuwono VII, cara menghitung penanggalan juga sangat mudah sehingga bisa dilakukan oleh petani biasa. Yakni dengan cara mengukur bayangan diri pada saat tengah hari.
Penanda yang Lebih Mudah Diamati
Untuk mempermudah penentuan musim tanam, para petani pada zaman dulu kemudian mencari tanda-tanda yang gampang dilihat dan mudah diingat. Ada beberapa tanda yang dijadikan patokan musim tanam, salah satunya adalah pohon randu alas.
Kapan randu alas menggugurkan daun, berbunga, hingga bersemi, menjadi tanda penting bagi petani untuk menentukan musim tanam. Selain randu alas, tanaman bambu juga menjadi salah satu penanda musim tanam.
ADVERTISEMENT
“Ketika bambu banyak keluar rebungnya, itu bisa jadi tanda dimulainya musim tanam,” ujar Winarso.
Selain itu, ketika pohon asem mulai bersemi juga menjadi penanda bahwa musim tanam akan segera dimulai. Tak hanya tumbuhan, perilaku beberapa hewan juga ada yang dijadikan penanda oleh petani terkait musim tanam, misalnya garengpung atau tenggoret.
Suara nyaring dari garengpung, menandakan akan segera tiba musim kemarau. Selain garengpung, burung manyar juga biasa dijadikan penanda musim dengan melihat kapan dia membangun sarang dan bertelur.
“Kalau kita menyalahi mangsa, maka ada biaya yang harus dibayar untuk menebusnya. Entah tanaman rusak, terserang hama, kekurangan air, kekurangan penyinaran, dan sebagainya,” ujarnya.
Curah Hujan Jadi Perhatian Utama
Karena peruntukkan utama pranata mangsa untuk sawah, maka perhatian utamanya adalah curah hujan. Sebab, curah hujan akan sangat menentukan kapan padi mulai ditanam atau dipanen, sementara tanaman-tanaman lainnya mengikuti.
ADVERTISEMENT
“Misalnya palawija itu ditanam setelah padi dipanen, dan sebagainya. Jadi yang penting, bagaimana agar petani sawah itu bisa melakukan kegiatannya sesuai dengan musimnya,” ujar Winarso.
Ketika petani sawah menanam padi sesuai musimnya, maka biaya yang mereka keluarkan akan lebih murah. Sebab, mereka tak perlu membeli air untuk mengairi sawahnya yang kekeringan di musim kemarau.
“Jadi seandainya curah hujan itu bisa kita panen dengan patokan pranata mangsa tadi mulai mangsa ke-6 biasanya sampai mangsa ke-9, ini bisa kita tampung,” lanjutnya.
Seandainya 50 persen saja air hujan itu bisa disimpan atau ditabung, maka masalah kekeringan pada musim kemarau dapat diatasi, atau setidaknya risikonya diperkecil. Winarso mencontohkan bagaimana Embung Doho di Wonogiri dengan luas 1,5 hektar dapat menampung lebih dari 15 juta liter air. Air tersebut, cukup untuk mengairi 40 hektar kebun atau 10 hektar sawah.
ADVERTISEMENT
“Ini sesuatu yang sangat bagus untuk diterapkan di masa depan,” ujarnya.
Pranata mangsa, bagaimanapun tetap penting untuk dunia pertanian sampai saat ini. Dengan memahami pranata mangsa, menurut Winarso, paling tidak petani tahu kapan waktu yang tepat untuk menanam dan memanen, serta menjadi lebih siap untuk menghadapi musim penghujan dengan intensitas yang tinggi.
Beberapa daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada pranata mangsa, juga memiliki pola pertanian yang lebih baik dan ramah terhadap lingkungan. Misalnya Winarso mencontohkan lahan pertanian sawah di Subak, dimana musim tanam masih melestarikan pranata mangsa. Untuk lahan ladang, masyarakat Baduy sampai sekarang juga masih berpegang teguh pada pranata mangsa.
“Mereka menanam tidak membuat teras, tetapi sangat hati-hati agar tanah itu tidak rusak,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, pranata mangsa menurutnya masih tetap relevan, hanya saja sudah banyak ditinggalkan. Tak hanya ditinggalkan, media pranata mangsa yaitu pohon, hewan, dan sawah juga sudah banyak hilang sehingga membuat pranata mangsa semakin sulit diterapkan.
“Karena dasarnya peredaran semu matahari, maka sebetulnya pranata mangsa tetap berlaku. Iklim tidak berubah, yang ada anomali cuaca atau musim,” kata dia.
Seperti makna dari namanya, pranata mangsa dalam bahasa Sanskerta berarti patuh pada mangsa. Mestinya, dalam menjalankan aktivitasnya, manusia yang mematuhi mangsa-nya, bukan sebaliknya. Kalaupun ternyata sekarang ada perubahan alam yang membuat cuaca menjadi sulit diprediksi, itu adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
Sebab, alam, baik itu tumbuhan dan binatang, tidak akan menyimpang dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
“Jika hewan dan tumbuhan dibuat menyimpang dari musim, pasti perlu biaya untuk membayar musim,” ujar Winarso Drajad Widodo.
Pranata Mangsa Sebagai Sumber Data
CEO PT Indmira, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan di Yogyakarta, Aryo Wiryawan, mengatakan bahwa pranata mangsa adalah sebuah warisan leluhur yang fenomenal di bidang pertanian. Pranat mangsa adalah data terbaik di dunia peranian yang disusun berdasarkan pengalaman petani selama berabad-abad lamanya.
“Itu data sebenarnya, itu ringkasan dari data yang paling bagus,” ujar Aryo.
Data yang bagus adalah yang disajikan seolah bukan data. Jika data disajikan dalam bentuk grafik atau tabulasi, sulit untuk bisa dipahami petani. Tapi jika petani diberi tahu hasil pembacaan datanya, kekuatan yang dihasilkan akan lebih besar.
ADVERTISEMENT
Misalnya mongsa kepitu (musim ketujuh) itu paling bagus menanam komoditas apa. Mangsa kelima (musim kelima) itu paling bagus memanen apa, dan sebagainya.
“Kalau kamu buat teknologi data, itu kesimpulannya harus sampai seperti pranata mngsa,” lanjutnya.
Kendati cuaca telah anomali, namun pranata mangsa menurut dia juga masih relevan. Sebab, pranata mangsa tidak menggunakan penanggalan Masehi dari bulan Januari sampai Desember, melainkan menggunakan mangsa kasiji sampai sadha dimana tiap mangsa sudah ada ketentuan apa yang harus dilakukan petani dan komoditas apa yang paling cocok ditanam di tiap mangsa.
“Karena pranata mangsa itu dirancang untuk fleksibel sebenarnya, jadi dia tetap relevan meski sudah terjadi anomali cuaca,” ujarnya.
Dengan bantuan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI), mestinya teknologi data yang ada saat ini tidak kalah dengan teknologi yang dibuat sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi lintas sektor dan keilmuan menjadi kunci terwujudnya pertanian yang berkelanjutan. Jika petani, inovator teknologi, serta masyarakat sebagai konsumen saling dukung, tidak butuh waktu lama menurut Aryo untuk membangkitkan lagi kejayaan dunia pertanian.
“Saya yakin, teknologi di dunia berkembang sangat cepat. Saya pikir 10 tahun ke depan sudah banyak banget yang kita dapatkan,” ujar Aryo. (Widi Erha Pradana / YK-1)