Presiden Dorong Anak Muda jadi Petani tapi Tanah Pertanian pun Tak Ada

Konten Media Partner
20 Agustus 2021 21:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Bagaimana anak muda mau bertani kalau tanahnya saja enggak ada?” kata Guru Besar Guru Besar agribisnis Fakultas Pertanian UGM, Masyhuri.
Ilustrasi anak muda bertani. Foto: Marketer
Dalam pidato pembukaan acara pengukuhan data petani milenial Kementerian Pertanian awal bulan ini, Presiden Joko Widodo mendorong generasi muda untuk menjadi petani. Hal itu diulangi lagi saat Presiden berkunjung ke pabrik porang di Madiun, Kamis (19//8).
ADVERTISEMENT
Sayangnya, para pakar maupun praktisi di bidang pertanian menganggap dorongan presiden sebaiknya dihentikan dulu sebelumnya masalah-masalah mendasar dunia pertanian diselesaikan.
Menurut Guru Besar agribisnis Fakultas Pertanian UGM, Masyhuri, mendorong anak-anak muda untuk jadi petani hanyalah romatisasi profesi petani. Sebab saat ini sebenarnya jumlah petani yang bekerja di lahan atau on farm di Indonesia saat ini sudah terlalu banyak.
Ketika pemerintah mendorong anak-anak muda untuk bertani, mestinya mereka juga didukung dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Dan infrastruktur utama yang harus disiapkan adalah tanah, sebab kendala utama anak-anak muda yang saat ini ingin terjun ke dunia pertanian menurutnya adalah tidak adanya tanah yang bisa digarap.
Persoalan kepemilikan tanah ini sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, dimana disebutkan bahwa petani di Jawa minimal harus memiliki tanah irigasi seluas 2 hektar. Sayangnya, amanat UU itu tidak diaplikasikan dengan semestinya sehingga mayoritas petani di Indonesia hanya punya lahan yang sempit dengan hasil seadanya.
ADVERTISEMENT
“Ini satu hal yang tidak pernah diurus oleh pemerintah. Bagaimana anak muda mau bertani kalau tanahnya saja enggak ada?” ujarnya.
Satu-satunya kemungkinan anak muda turun ke pertanian pada hari ini adalah tenaga kerja yang benar-benar berkualitas dan menerapkan teknologi tinggi.
“Dan jumlahnya kan tidak bisa banyak. Sekali lagi, tanahnya tidak ada,” jelasnya.
Aryo Wiryawan. Foto: Widi Erha Pradana
Chief Executive Officer (CEO) Indmira, sebuah startup teknologi pertanian yang berbasis di Yogyakarta, Aryo Wiryawan mengatakan, melihat kondisi petani di Indonesia yang rata-rata belum sejahtera, mendorong anak muda untuk jadi petani tanpa membekalinya dengan semua perangkat yang dibutuhkan justru berpotensi menjerumuskan anak-anak muda ke jurang kemiskinan. “Nyuruh orang masuk dunia pertanian itu tidak bisa begitu saja, banyak sekali persoalan yang harus diatasi,” katanya. .
ADVERTISEMENT
Sama dengan profesi lain, untuk terjun ke dunia pertanian setiap orang juga perlu menguasai pengetahuan dan keterampilan bertani yang baik. Tanpa bekal memadai, euforia petani muda hanya akan jadi tren sesaat. Anak-anak muda yang memutuskan untuk terjun ke dunia pertanian hanya akan menjemput kegagalan dan kekecewaan. Akhirnya, mereka akan memilih profesi lain seperti pegawai pabrik, PNS, pegawai BUMN, dan profesi-profesi lain yang dianggap lebih menjanjikan ketimbang petani.
“Itu yang banyak saya lihat pada anak-anak muda saat ini. Waktu masih single, masih kuliah mereka idealis untuk jadi petani, tapi begitu tahu sulitnya bertani akhirnya mereka mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan,” ujarnya.
Keterampilan lain yang mesti dimiliki petani selain keterampilan bertani adalah keterampilan berbisnis. Karena bagaimanapun, petani adalah seorang pebisnis yang memproduksi dan menjual hasil pertaniannya.Tanpa kemampuan berbisnis, maka petani akan selalu kalah ketika bernegosiasi dengan tengkulak atau pembeli produknya. Dan itu yang terjadi di Indonesia saat ini, yang membuat mayoritas petani tak memiliki kesejahteraan yang layak.
ADVERTISEMENT
“Hanya ada satu businessman di Indonesia yang tidak belajar bisnis, yaitu petani. Maka anak muda yang mau jadi petani, harus punya skillset yang beda dengan petani sebelumnya,” lanjutnya.
Presiden Bisa Mulai dari Anggaran
Ilustrasi petani di ladang. Foto: Widi Erha Pradana
Pendiri sekaligus Direktur Sekolah Tani Muda (Sektimuda), Qomarun Najmi, mengatakan, memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Republik ini mestinya membuat Jokowi bisa melakukan lebih banyak hal ketimbang hanya sekadar mendorong anak muda untuk bertani.
“Mulai dari anggaran saja, berapa untuk pertanian dan berapa untuk yang lain?” kata Qomarun Najmi.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 yang disampaikan ke DPR, anggaran ketahanan pangan direncanakan hanya sebesar 76,9 triliun rupiah atau turun dibandingkan anggaran dalam APBN tahun ini sebesar 104 triliun rupiah. Bahkan, lebih rendah dibandingkan alokasi anggaran pada 2020 lalu yang tercatat sebesar 80 triliun rupiah.
ADVERTISEMENT
Selain jumlahnya kecil, triliunan anggaran yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun menurut Qomar juga hanya ditujukan untuk hal-hal yang jauh dari kesejahteraan petani seperti anggaran subsidi pupuk dan input pertanian lain. Alih-alih dinikmati oleh petani, anggaran subsidi ini justru lebih banyak masuk ke kantong-kantong perusahaan. Apalagi subsidi pupuk yang ada selama ini juga tidak pernah lepas dari berbagai masalah.
Qomarun Najmi. Foto: Widi Erha Pradana
Menurut Qomar, akan lebih efektif jika anggaran subsidi itu dialihkan langsung kepada petani dengan besaran sesuai dengan hasil produksi mereka. Dengan begitu, petani setidaknya sudah punya jaminan harga.
“Ketika kompensasi diberikan berdasarkan produksi, akhirnya mereka akan punya kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan produksi mereka, dan anak-anak muda bisa mengambil peran di situ,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Imbasnya, nilai tukar petani (NTP) akan positif dan terus meningkat. Saat ini, NTP nasional hanya di kisaran 103,59, di DIY bahkan nilai tukar petani hanya 96,42, artinya hasil yang didapatkan petani justru lebih rendah dari modal yang dikeluarkan.
“Ini jauh sekali kalau dibandingkan zaman Gus Dur yang NTP-nya bisa mencapai 125 bahkan 140, artinya petani bisa dapat untung 40 persen dari modalnya, kalau sekarang kan hanya 3 persen,” ujarnya.