Pupu Ler: Pakar Budaya Bahas Busana Tari Dolalak yang Perlihatkan Paha Perempuan

Konten Media Partner
28 Juni 2022 15:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tari dolalak. Foto: Wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tari dolalak. Foto: Wikipedia
ADVERTISEMENT
Busana penari tarian tradisional dolalak menjadi bahasan sejumlah akademisi. Penggunaan celana pendek oleh penari perempuan atau banyak disebut sebagai pupu ler (bahasa Jawa yang artinya mempertontonkan paha) pada dolalak dikaitkan dengan aspek sejarah, estetika, dan etika seni tradisi.
ADVERTISEMENT
Banyak beredar di Whatsapp Group (WAG), Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudibyo sebelumnya menyebut penggunaan celana pendek penari dolalak tidak tepat. Hal itu berlangsung di sela acara Bisa Festival yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di Purworejo, Sabtu (25/6).
Saat dikonfirmasi, Sudibyo menjelaskan pernyataannya tersebut. “Saya tidak pernah menyatakan keberatan dengan celana pendek dolalak,” ujar dia kepada Pandangan Jogja @Kumparan, Senin (26/6).
Sumber foto: Wikipedia
Menurut dia, pernyataan soal kostum dolalak itu bertolak dari aspek sejarah. “Saya hanya mengatakan jika dolalak benar mengikuti kostum tentara Belanda, mereka tidak bercelana pendek tetapi panjang,” kata dia.
Sudibyo juga menjelaskan soal kostum dolalak untuk penari berjilbab. “Tentang dolalak berhijab dan saya sarankan bercelana panjang, itu saya sampaikan ketika mengomentari kostum dolalak penampil yang kurang artistik karena bercelana sedengkul kemudian disambung legging hitam. Kenapa tidak sekalian bercelana panjang, (itu) komentar saya,” paparnya.
ADVERTISEMENT
“Saya tegaskan bahwa saya tidak keberatan terhadap kostum apapun. Saya tahu persis karakter kesenian rakyat,” lanjutnya dalam pesan tertulis.
Sudibyo mengakui sorotan atas celana pendek perempuan dolalak lebih pada aspek sejarah. Celana pendek tak sesuai dengan sejarah tari tersebut yang berkaitan dengan seragam tentara Belanda. Namun, bisa juga busana itu sebagai wujud ekspresi budaya dalam melawan penjajahan.
“Dari satu sisi ya (dari sisi sejarah). Tapi, tafsir juga saya hargai. Bisa juga celana pendek digunakan untuk mengolok-olok kolonialisme Belanda yang kaku dan serba diatur,” tuturnya.
Sudibyo menyebut sebelumnya sudah ada kritik atas busana dolalak di suatu webinar yang diselenggarakan oleh Pemkab Purworejo.
Webinar tersebut bertajuk ‘Dolalak: The Next Tourism Branding’ yang digelar daring 22 Juni lalu. salah satu pembicara, profesor dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Nanik Sri Prihatini, mengulas soal busana dolalak.
Ribuan Penari Dolalak Menari Bersama Sambut Romansa Purworejo 2020 (Sumber: dinkominfo.purworejokab.go.id)
Pandangan Jogja @Kumparan mengakses forum tersebut di kanal Youtube Dinas Kominfo Purworejo, Selasa (28/6).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, dolalak tidak pernah mati terus berkembang. Namun rumpun kesenian ini adalah salawat dan barzanji yakni puji-pujian pada Nabi Muhammad.
“Sejak 1968 hingga sekarang dolalak berkembang bentuknya seperti sekarang kita lihat populer dan pupu ler (memperlihatkan paha). Karena dolalak perempuan itu pupu-nya kelihatan, jadi bisa disebut pupu ler. Ini sebagai sebuah ekspresi estetik,” tuturnya.
Namun, ia mengingatkan seni tradisi juga mesti memperhatikan pola, aturan, juga unsur estetis dan etis dalam pelestariannya.
Tim dolalak Kabupaten Purworejo. Foto: dinporapar.purworejokab.go.id
“Fungsinya dulu sebagi salawat, menyampaikan nilai religius. Harapannya ini jangan hilang. Salawat itu sebagai sarana dakwah. Tapi perkembangannya sekarang kita lihat karena dinamis, karena pupu ler. Bukannya tidak boleh. Tapi hati-hati roh dolalak itu sebagai seni tradisi yang punya pola dan aturan,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pelestarian seni tradisi pertunjukan berbeda dengan pelestarian artefak atau situs budaya. Pelestarian seni pertunjukan harus memperhatikan tempat, waktu, dan kepentingannya serta bergantung pada pelaku pertunjukan itu.
“Salahkah kalau yang berkembang pupu ler? Juga tidak. Tapi kesenian selain sebagai ekspresi estetik tapi juga sarat dengan etika. Ini yang harus hati-hati,” katanya. (akh)