Retrospeksi Penanganan COVID-19 di DIY dengan Prosedur Penanganan Bencana Nuklir

Konten dari Pengguna
29 Agustus 2020 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koordinator Bidang Perencanaan Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY, Arman Nur Effendi. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator Bidang Perencanaan Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY, Arman Nur Effendi. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Pukul sembilan lewat tiga menit malam, Arman Nur Effendi tiba di kantor Pusat Pengendalian dan Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) DIY. Hari itu, dia mendapat jadwal untuk piket malam.
ADVERTISEMENT
Mukanya tampak muram dan lelah. Kedua kelopak matanya menghitam. Selain menguras lebih banyak pikiran dan energi, pandemi juga telah merampas sebagian besar jadwal tidurnya. Selama hampir enam bulan, dia ditugaskan sebagai Koordinator Bidang Perencanaan di Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 di DIY (selanjutnya disebut posko dukungan).
Tapi karena berbagai alasan, posko dukungan yang dibentuk sejak 20 Maret silam, telah resmi dibubarkan pada Rabu (26/8) kemarin. Ada sedikit rasa lega, ketika tugas beratnya di posko dukungan akhirnya usai. Tapi di sisi lain, dia juga diselubungi kekhawatiran karena secara statistik kasus COVID-19 di DIY terus meningkat. Apalagi sejumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan mulai kewalahan, bahkan beberapa ada yang mulai bertumbangan.
ADVERTISEMENT
Pembubaran posko dukungan ini bukanlah peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan. Bagi Arman, ini adalah babak baru penanganan pandemi di Yogyakarta.
“Bagi saya ini baru babak kedua, perjalanan masih panjang,” ujar Arman Nur Effendi ketika ditemui di kantornya, Kamis (27/8).
Posko dukungan dibentuk ketika dunia internasional, terutama Italia, sedang sedang dibuat luluh lantak oleh corona. Tapi pemerintah saat itu justru masih percaya, bahwa situasi mengerikan itu tidak akan terjadi di Indonesia. Bahkan di awal-awal, pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih sempat melakukan promosi pariwisata untuk menjaring wisatawan demi mendongkrak devisa.
“Tapi kita sudah memprediksi, bahwa ini pasti akan sampai ke sini, cepat atau lambat. Apalagi orang keluar masuk Jogja kan cukup besar ya. Italia saja yang punya sistem kesehatan bagus saja ambruk, apalagi Indonesia yang rangkingnya di dunia masih rendah,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Dekontaminasi Putus Sebaran Virus
Zona dekontaminasi. Foto: Widi Erha
Bersiap dengan segala kemungkinan terburuk, tiga hari selepas Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus pertama di Indonesia, Arman dan tim dari Pusdalops BPBD DIY berinisiatif mengumpulkan para komponen kesehatan di DIY. Dari diskusi dengan para ahli termasuk para dokter, ditemukan bahwa yang paling mendesak dan pertama harus dipersiapkan adalah dekontaminasi.
Dekontaminasi dianggap sebagai kunci dalam memutus persebaran virus, dan saat itu, baru RSUP dr Sardjito yang bisa melakukan itu. Akibatnya, kerap dijumpai antrean tenaga kesehatan dan ambulans di zona dekontaminasi RSUP dr Sardjito, maka diputuskan untuk membuat zona dekontaminasi di posko dukungan.
Arman menceritakan bagaimana semua pihak mengalami sangat banyak kebingungan di awal penanganan pandemi. Ketika Pusdalops BPBD DIY ditunjuk menjadi call center penanganan pandemi di Jogja, mereka juga tidak dibekali dengan materi apapun. Sehingga, para petugas harus mencari referensi sendiri terkait upaya penanganan pandemi.
ADVERTISEMENT
“Di awal kita pakai prosedur penanganan bencana nuklir, karena itu materi yang pernah kita dapat dan paling mendekati dengan penanganan COVID-19. Karena saat itu memang tidak ada pedoman atau referensi apapun yang diberikan ke kita,” ujar Arman.
Kesalahan Paradigma Penanganan Bencana
Wakil Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19 DIY, Biwara Yuswantana, saat jumpa pers Rabu (15/4). Foto: Widi Erha
Dalam manajemen penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana harus dilakukan sebelum bencana tersebut benar-benar terjadi. Dalam konteks ini, ada empat klaster penanggulangan bencana menurut Arman: klaster komunikasi, logistik, SAR, dan klaster kesehatan. Klaster-klaster tersebut yang kemudian akan terus melakukan diskusi di saat situasi masih normal terkait strategi penanganan bencana.
“Setelah kasus pertama di Depok itu, kita langsung kumpulkan semuanya, kita lalu membuat rekomendasi harus diterapkan siaga darurat,” ujar Arman Nur Effendi.
ADVERTISEMENT
Hal ini menurutnya penting dilakukan untuk mebangun sense of crisis di setiap sektor. Status kedaruratan yang harus diterapkan dalam penanganan kebencanaan menurutnya harus selevel di atas status darurat yang diterapkan ke masyarakat.
Ketika status di masyarakat sudah waspada, maka status yang diterapkan dalam penanganan bencana harus siaga. Ketika di masyarakat sudah siaga, maka di dalam organisasi penanganan bencana harus diterapkan status awas. Tujuannya, untuk memperkecil risiko-risiko terburuk yang mungkin terjadi akibat bencana.
“Tapi saat itu respons dari yang (organasasi pemerintahan) lain berat, ya karena itu, sense of crisis-nya belum terbangun,” lanjutnya.
Respons masyarakat terhadap pandemi di awal menurutnya sudah sangat bagus, bagaimana mereka berinisiatif menyelamatkan daerahnya masing-masing dari pandemi. Di Jogja, dengan inisiatif sendiri masyarakat ramai-ramai menutup portal kampungnya untuk memastikan siapa yang berlalu lalang di kampungnya.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi pandemi, penting untuk memisahkan daerah yang sudah terkontaminasi virus dan yang belum, dan memastikan yang belum terkontaminasi dijaga dari masuknya pembawa virus. ini adalah prosedur paling sederhana sekaligus paling powerfull yang dikenalkan oleh bapak epidemologi modern John Snow yang menaklukkan pandemi kolera di London pada 1854.
Tapi lama-lama masyarakat juga lelah, karena inisiatif mereka nyatanya kurang didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
Mestinya, inisiatif-inisiatif rakyat inilah yang menjadi garda depan pencegahan dan pemutusan penularan COVID-19. Sementara masyarakat berada sebagai garda depan, semestinya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, justru menjadi pasukan terakhir yang dikerahkan untuk melawan pandemi.
“Dalam konteks penanggulangan bencana itu (seharusnya) seperti itu, tapi realitanya sekarang nakes dan faskes justru jadi garda terdepan. Akibatnya (nakes) kan mulai banyak yang bertumbangan dan ini berbahaya bagi penanganan (pandemi),” ujar Arman.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan Sistem Komando yang Membuat Kuatnya Ego Sektoral dalam Penanganan Pandemi
Ilustrasi rantai organisasi. Foto: Pixabay
Ketika pertama dibentuk Gugus Tugas COVID-19 di DIY, Arman Nur Effendi sudah menduga bahwa ke depan penanganan pandemi tidak akan efektif. Pasalnya, struktur yang ada di dalam Gugus Tugas memberikan peluang yang sangat besar terciptanya ego sektoral. Dalam struktur itu terdapat berbagai bidang, dari kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, dimana penanggung jawabnya adalah dinas-dinas terkait.
“Ini sangat memungkinkan adanya ego sektoral. Beda jika menggunakan sistem komando tanggap darurat, jadi sistem operasinya itu satu komando. Kalau gugus tugas kan gerak sendiri-sendiri,” ujar Arman.
Akibatnya, tidak ada satu tujuan operasi bersama yang jelas. Setiap bidang punya ambisi untuk menjadi yang paling menonjol, dan hanya mengutamakan kepentingan bidangnya masing-masing. Bahkan sampai sekarang, Arman melihat belum ada tujuan operasi bersama yang jelas di dalam gugus tugas.
ADVERTISEMENT
Ketika menggunakan sistem komando gawat darurat, tiap bidang atau divisi tidak diberi kesempatan untuk mengutamakan egonya sendiri. Komando dipegang oleh satu orang pemimpin, dan semua bagian di bawahnya harus mengikuti komando tersebut. Tujuannya pun satu, misalnya memutus rantai persebaran virus, tidak ada tujuan-tujuan lain yang hanya menguntungkan satu dua bidang tertentu.
Pemimpin atau komandan dalam penanganan bencana juga memiliki kuasa penuh atas perangkat di bawahnya. Dia punya kewenangan untuk memilih siapa yang dia butuhkan, dan siapa yang perlu dievaluasi atau bahkan dicoret dari struktur. Berbeda dengan Gugus Tugas, dimana struktur lengkap telah dibuat oleh gubernur dan perangkatnya, sehingga pemimpin operasi tidak memiliki posisi yang kuat.
“Leader-nya kan jadi tidak punya kewenangan misal mau mencoret anggotanya, wong semua diangkat oleh gubernur. Harusnya komandan itu diberi waktu berapa bulan misalnya, selama itu dia tidak bisa diintervensi, baru nanti di akhir ada evaluasi, layak dilanjutkan atau tidak,” kata Arman menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Mestinya Bisa Lebih Optimal
Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan Wagub DIY Sri Paduka Paku Alam X saat memimpin rapat percepatan COVID-19 dan dihadiri oleh seluruh Kepala OPD di lingkup Pemda DIY pada Senin (20/4).
Penanganan pandemi di DIY disebut-sebut oleh Jokowi sebagai yang terbaik di antara provinsi lainnya. Tapi Arman merasa, pujian atau penghargaan itu terlalu berlebihan. Pasalnya, masih banyak kecacatan dan kekurangan dalam penanganan pandemi di DIY.
Bahwa jumlah kasus COVID-19 di DIY cenderung lebih kecil dibandingkan provinsi lain, iya. Tapi pencapaian itu bukan sepenuhnya buah dari upaya yang dilakukan oleh Gugus Tugas. Menurutnya faktor terbesar yang membuat Jogja relatif lebih selamat ketimbang daerah lain adalah karakter dan tingkat literasi rakyat. Tingginya tingkat literasi rakyat inilah yang kemudian melahirkan kesadaran akan pentingnya pemutusan rantai persebaran pandemi.
Salah satu yang membuat hasil yang didapat kurang optimal menurutnya adalah tidak adanya legalisasi secara formal keberadaan posko dukungan.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya posko dukungan itu ada di bawah bidang apa di strukturnya? Itu sampai sekarang,sampai dibubarkan, tidak ada kejelasan,” ujar Arman.
Akibatnya, pondasi posko dukungan ini menjadi sangat lemah. Kewenangan dan pertanggung jawaban juga tidak jelas. Hingga akhirnya, setelah diterpa berbagai masalah, posko dukungan tersebut dibubarkan.
Jika ada dukungan yang kuat, Arman yakin penanganan pandemi, khususnya oleh posko dukungan bisa lebih optimal, tidak sekadar pemakaman jenazah, dekontaminasi, serta cipta kondisi. Posko dukungan sebenarnya sudah menyiapkan sejumlah aplikasi untuk menunjang penanganan pandemi, namun karena kurangnya dukungan dari para pengambil keputusan, terobosan-terobosan yang disiapkan pun kandas di tengah jalan.
Ditambah dengan besarnya potensi yang sebenarnya dimiliki oleh Jogja. Dengan banyaknya kampus, Jogja sebenarnya punya banyak pakar terkait penanganan bencana.
ADVERTISEMENT
“Tapi pakar-pakar itu nyatanya tidak terlalu memberikan dampak yang cukup signifikan. Atau mungkin mereka sudah membuat kajian dan rekomendasi, tapi mentok di mana enggak tahu. Seberapa besar ruang yang diberikan ke mereka?” lanjutnya.
Di babak kedua penanganan pandemi nanti, paska dibubarkannya posko dukungan, menurut Arman perlu langkah-langkah yang lebih progresif dari para pemegang keputusan. Dan langkah pertama yang harus dilakukan menurutnya adalah restrukturisasi gugus tugas menjadi sistem komando kegawatdaruratan.
Upaya ini dilakukan untuk mencegah adanya ego sektoral di tiap bidang. Setelah restrukturisasi, tujuan bersama penanganan bencana juga perlu diperjelas, sehingga strategi-strategi penanganan bencana yang lebih efektif bisa segera ditentukan.
“Menurut saya tidak ada kata terlambat, daripada kita melanjutkan kecacatan ini. Karena gagal merencanakan itu sama saja merencanakan kegagalan,” ujar Arman menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT