Saat Anak Mapala Kemah di Depan Gedung DPR Tolak RUU Omnibus Law

Konten dari Pengguna
16 Juli 2020 18:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Matahari sudah agak condong ke barat ketika sekitar seratus anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di bawah naungan Pusat Koordinasi Nasional (PKN) Mapala se-Indonesia datang ke depan gedung DPR-MPR Jalan Gatot Subroto Jakarta, Rabu (15/7). Delapan tenda didirikan tepat di depan gerbang gedung DPR, persis seperti ketika mereka kemah di tengah rimba.
ADVERTISEMENT
Tapi sore itu kedatangan mereka bukan untuk sekadar kemah seperti biasanya. Mereka datang untuk melawan dan membatalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
“Kita tidak mau direvisi, karena muatan di RUU ini hanya mengakomodir kepentingan investor saja, tanpa peduli pada upaya pelestarian lingkungan. Kita menuntut dicabut, dibatalkan dari pembahasan,” kata Sandi Saputra Pulungan, Dewan Pengarah PKN Mapala se-Indonesia yang juga salah seorang massa aksi, Rabu (15/7) saat dihubungi lewat telefon.
Sandi bercerita, selepas ashar, massa aksi yang berdatangan dari berbagai organisasi Mapala semakin ramai. Pengeras suara berpindah dari tangan ke tangan, berteriak-teriak untuk menolak RUU Omnibus Law. Spanduk besar juga ditempelkan di pagar pintu masuk gedung DPR RI, berisi hal yang sama: Lawan Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Adanya sejumlah pasal di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang diubah, direduksi, bahkan dihapus menurut Sandi merupakan bentuk ketidakseriusan DPR maupun pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Misalnya Pasal 135 tentang izin lingkungan di dalam RUU Cipta Kerja diganti dengan persetujuan lingkungan. Nah terus ada juga terkait kriteria AMDAL itu sebelumnya sudah jelas, tapi di RUU Cipta Kerja itu kriterianya jadi abstrak, tidak jelas, karena diatur oleh Peraturan Pemerintah,” lanjutnya.
Menurutnya, watak dari RUU Cipta Kerja benar-benar bersifat kapitalistik dan tidak menunjukkan adanya semangat perlindungan dan Pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang baik.
Tidak Seriusnya Upaya Perlindungan Lingkungan
Foto: Istimewa.
Direvisi atau bahkan dihapusnya beberapa pasal yang sebelumnya dianggap bisa mencegah tindakan sewenang-wenang terhadap alam menurut Sandi menunjukkan tidak adanya semangat atau keseriusan DPR maupun pemerintah dalam upaya perlindungan lingkungan hidup. Sebelumnya saja, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi manusia sudah sangat masif karena lemahnya penegakkan hukum, terlebih jika aturan yang ada semakin mengakomodir upaya eksploitasi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kita melihat level terhadap perlindungan lingkungan hidup di dalam UU Cipta Kerja ini justru turun,” ujar Sandi.
Terlebih sebelumnya UU Minerba sudah disahkan, yang menurut Sandi berpotensi memicu terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih masif lagi karena eksploitasi besar-besaran. Dengan regulasi yang sebelumnya dianggap lebih ketat saja kerusakan lingkungan karena eksploitasi manusia tetap terjadi, dengan aturan baru ini diprediksi tingkat eksploitasi akan makin masif. Pasalnya, perlindungan lingkungan hidup di dalam RUU Cipta Kerja kata Sandi jauh lebih longgar daripada aturan yang ada sebelumnya.
“Artinya akan ada kerusakan yang lebih parah terhadap alam yang ada di Indonesia,” lanjutnya.
Hancurnya Ruang Pendidikan
Foto: Istimewa.
Terbiasa belajar dan melakukan penelitian di alam, entah itu hutan, gunung, sungai, laut, gua, dan sebagainya, membuat anak-anak Mapala tidak bisa dilepaskan dari alam. Bagi mereka, alam merupakan ruang pendidikan yang tidak ternilai harganya.
ADVERTISEMENT
“Sekarang saja makin sempit ruang pendidikan itu, jika RUU ini disahkan, bisa jadi ruang pendidikan kita musnah sama sekali. Sekarang saja sudah banyak gua yang hilang, tebing yang hancur,” ujar Sandi.
Krisis ekologi yang terjadi saat ini menurutnya akan makin diperparah dengan disahkannya RUU Cipta Kerja yang dinilai akan melanggengkan krisis dan bencana ekologis. Kerusakan lingkungan ini secara otomatis juga akan mengancam flora dan fauna yang ada di dalamnya. Padahal, keanekaragaman hayati itu merupakan salah satu media belajar paling penting bagi anak-anak Mapala.
“Ruang pendidikan kita lagi-lagi akan dipersempit, akan dihancurkan. Jadi poinnya adalah DPR akan menghancurkan ruang pendidikan kami,” lanjutnya.
Foto: Istimewa.
Sebagai bentuk protes terhadap ancaman penghancuran ruang belajar itu, massa aksi mendirikan tenda-tenda di depan pintu masuk Gedung DPR. Aksi mendirikan tenda ini sebagai simbol bahwa ruang bermain dan belajar mereka sedang dalam ancaman kehancuran yang serius.
ADVERTISEMENT
“Kita ingin menunjukkan bahwa ruang kita akan hancur, ruang pendidikan dan penelitian kita akan hancur, kita mau ke mana lagi untuk mencoba melakukan pendidikan atau bersinggungan dengan alam?” ujarnya.
Semakin sore, satu per satu perwakilan massa aksi menyampaikan orasinya di mimbar bebas. Beberapa ada juga yang membacakan puisi dan bermain gitar untuk menghangatkan suasana. Beberapa kali petugas kepolisian menawarkan kepada massa aksi untuk bertemu dengan beberapa anggota dewan, tapi mereka menolak.
“Karena sejak awal kami tidak ada niatan untuk bertemu dengan anggota DPR. Percuma juga ketemu kalau pembahasan RUU Cipta Kerja tetap lanjut,” lanjutnya.
Menjelang maghrib, massa aksi baru membubarkan diri. Menurut Sandi, mereka akan menyiapkan aksi yang lebih besar lagi demi menggagalkan RUU Cipta Kerja. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT