Saat Imam Salat Kecelakaan, Apakah Salat Diteruskan atau Dihentikan?

Konten dari Pengguna
4 Desember 2019 13:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Salat. Foto : Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Salat. Foto : Kumparan
ADVERTISEMENT
Meninggalnya seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, M Sirojul Milal, 22 tahun, saat menjadi imam salat Isya di Musala Pondok Pesantren Ilmu Giri, Imogiri, Bantul, Sabtu (30/11), menyita perhatian banyak pihak. Terutama terkait bagaimana hukum salat saat Imam mengalami keadaan darurat, mengeluh sakit atau mengalami marabahaya lain.
ADVERTISEMENT
Achmad Munjid, Pendiri NU Cabang Istimewa Amerika Serikat yang kini mengajar di Program Pascasarjana FIB UGM, mengatakan hukum salat lima waktu jelas wajib. Ketika salat, seseorang harus menghadap pada Allah dan harus khusyuk, tak boleh terganggu dengan hal-hal lain di sekitarnya.
“Tapi perlu diingat juga, dalam aturan fiqih, ada situasi darurat di mana kita boleh, bahkan dalam konteks tertentu menjadi wajib membatalkan salat,” ujar Achmad Munjid ketika dihubungi, Rabu (4/12).
Menurutnya, jika yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia, misal seperti salat ketika perang, maka salat harus dibatalkan untuk menyelamatkan diri dan melindungi nyawa manusia ketika musuh datang menyerang. Termasuk juga dalam konteks menolong orang lain yang terancam nyawanya atau hal darurat lainnya.
ADVERTISEMENT
Hilman Latief, Pembina Keislaman dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyayangkan kejadian meninggalnya imam salat karena terperosok ke sumur dan tidak segera ditolong oleh makmumnya. Atas kejadian itu, Hilman bahkan mengatakan perlu ada pembaruan terhadap kajian fiqih yang lebih maju dan manusiawi. Pembaruan itu baik meliputi hubungan manusia dengan Tuhan atau hablum minallah maupun hubungan antarmanusia atau hablum minannas.
“Termasuk (dalam) memahami situasi darurat,” ujar Hilman, Selasa (3/12).
Hal itu juga berlaku misal ketika ada jemaah salat baik imam maupun makmum yang mengalami kejadian-kejadian tak terduga. Hilman mencontohkan adanya kasus imam salat meninggal dunia karena tak langsung ditolong setelah pingsan karena kena serangan jantung.
“Tidak ditolong tiga menit karena menyelesaikan salat dulu, ya meninggal,” lanjut Hilman.
ADVERTISEMENT
Menjaga Jiwa Lebih Diutamakan
Hilman Latief. Foto : dokumen pribadi
Hilman mengatakan, membatalkan salat untuk menjaga jiwa seseorang itu lebih diutamakan daripada harus mengorbankan jiwa seseorang. Misalnya dalam situasi darurat seperti bencana gempa bumi, kebakaran, atau tsunami, menurutnya langkah terbaik adalah menyelamatkan diri untuk menghindari akibat yang lebih buruk.
“Begitu juga dengan kasus ada jemaah atau imam pingsan, misal kena serangan jantung, ya harus ada yang batalkan salat dan berikan tindakan pertolongan pertama atau tindakan emergency,” ujar Hilman yang juga Direktur Utama Lazismu ini.
Menurutnya, kasus meninggalnya Sirojul Milal karena terperosok ke sumur tua ketika menjadi imam salat harus dijadikan pelajaran. Karena tidak ada jemaah yang membatalkan salat untuk memberikan pertolongan pertama kepada Sirojul Milal, akhirnya dia meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Achmad Munjid juga mengatakan ketika seseorang sedang menunaikan salat lalu ada binatang buas seperti ular dan kalajengking, maka orang tersebut perlu membatalkan salat dengan alasan ancaman serius terhadap keselamatan nyawanya.
“Jadi dalam aturan fiqih, nggak ada kewajiban menyelesaikan salat meski ada darurat bahaya, justru sebaliknya,” ujar Munjid.
Nabi Muhammad juga pernah mempercepat salatnya ketika menjadi imam karena mendengar suara tangisan bayi. Padahal, tangisan itu adalah tangisan biasa, bukan tangisan ancaman bahaya yang serius.
Bukan Pilihan Mutlak
Ustadz Afifi Abdulu Wudud. Foto : Istimewa
Sementara itu, Ustaz Muhsin Hariyanto, dosen dan mubaligh dari UMY mengatakan membatalkan atau melanjutkan salat dalam keadaan darurat merupakan pilihan atau prioritas, bukan sesuatu yang mutlak hitam-putih.
“Kalau masih mungkin melanjutkan, lanjutkan. Kalau harus menyelamatkan diri, selamatkan dulu, baru melanjutkan,” ujar Muhsin.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus meninggalnya Sirojul Milal, menurut dia seharusnya ada skala prioritas. Dalam keadaan seperti itu, jika tidak ada yang bisa menolong menurutnya membatalkan salat bukan sesuatu yang sepenuhnya salah.
“Bahkan dalam situasi dan kondisi darurat, kita boleh melakukan sesuatu yang ‘haram’ sekalipun, di saat dan di tempat tertentu,” ujar Muhsin.
Muhsin juga mencontohkan, ketika seseorang sedang dalam perjalanan saja boleh mengqashar dan menjama’ atau menggabungkan salat, apalagi dalam situasi yang mengancam keselamatan jiwa.
Kaidahnya, Adh-Dharuuratu tublihul mahdhuuraat, keadaan darurat itu bisa membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang. Tetapi harus dipahami, selama dalam keadaan darurat,” lanjutnya.
Senada, Ustaz Afifi Abdul Wadud, mengatakan menolong jiwa korban lebih utama daripada melanjutkan salat. Kaidahnya, jika mudaratnya lebih besar dari kebaikannya, maka tinggalkan kebaikan dan ambil yang mudaratnya lebih besar.
ADVERTISEMENT
Afifi juga mengatakan tentang kaidah dibolehkannya melakukan sesuatu yang dilarang dalam situasi darurat. Misalnya meninggalkan salat untuk menolong seseorang dari kematian.
“Langsung tolong saja, darurat, salat bisa diulang lagi,” ujarnya.
Ibadah untuk Manusia Itu Sendiri
Acmad Munjid. Foto : Dokumen Pribadi
Achmad Munjid menarik lebih jauh tentang maksud substansial dari ibadah dan agama secara umum. Menurutnya, ibadah dan agama itu sejatinya bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia itu sendiri.
“Tuhan kan tidak membutuhkan apa-apa, tidak membutuhkan siapa-siapa. Kita salat sebetulnya ya untuk kita, sebagai ungkapan syukur atas nikmat Allah yang tak terbatas yang kita terima setiap saat,” ujar Munjid.
Selain itu, ibadah juga merupakan upaya manusia agar selamat dari tindakan tercela di dunia dan selamat di akhirat. Karena ibadah dan agama sejatinya adalah untuk manusia, menurut Munjid jika seseorang sedang menjalankan ibadah dan ada nyawa manusia yang terancam, maka wajib menolong orang itu dulu. Sebab, salat masih bisa dilanjutkan setelah memberikan pertolongan kepada korban.
ADVERTISEMENT
“Ini sekaligus menjadi pengingat, kalau ada orang beragama tapi dia tidak peduli pada nasib sesama, atau apalagi jika dia mengancam hidup sesama, itu adalah agama yang nggak benar,” kata Achmad Munjid. (Widi Erha Pradana / YK-1)
Ilustrasi mengajak anak salat Foto: Shutterstock