Sehari Bersama Rendy, Dalang Milenial dari Yogyakarta

Konten dari Pengguna
11 November 2019 16:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penampilan Rendy di Mawayang di Balai Budaya Minomartani Sleman. Foto oleh : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Penampilan Rendy di Mawayang di Balai Budaya Minomartani Sleman. Foto oleh : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Wajahnya tampak sangat lelah, namun tersungging senyum kegembiraan di sudut bibirnya. Rambutnya tampak basah oleh peluh ketika dia melepas blangkon setelah turun dari panggung. Orang-orang menyalaminya, beberapa ada yang meminta foto bersama.
ADVERTISEMENT
“Selamat ya mas Rendy,” kata setiap orang yang menyalaminya, memberinya selamat atas penampilan luar biasanya.
Maturnuwun sanget nggih, bu,” jawab Rendy hangat kepada seorang perempuan yang menyalaminya.
Nama lengkapnya Ratnanto Adhi Putra Wicaksono, tapi sejak kecil lebih sering dipanggil Rendy, dia sendiri sudah lupa bagaimana orang-orang lebih banyak memanggilnya dengan nama itu. Usianya baru 17 tahun, sekarang dia masih duduk di kelas 3 SMKI Yogyakarta.
Meski masih sangat belia, penampilannya sore itu tak kalah dengan dalang-dalang kondang ternama. Tangannya begitu lihai meliuk-liuk memainkan tokoh demi tokoh wayang. Suaranya sama sekali tak kentara sebagai suara anak remaja. Jika hanya mendengar suaranya, tak akan menyangka bahwa yang sedang pentas adalah seorang dalang remaja yang masih berusia belasan.
ADVERTISEMENT
Sore itu, Jumat (8/11) dia memainkan lakon Kesiatmodjo Larak atau Dasamuka Larak. Rendy bercerita dengan bahasa Jawa alus, Dasamuka Larak adalah kisah peperangan antara Negara Alengka yang dipimpin Rahwana atau Dasamuka dengan Negara Mahespati yang dipimpin oleh Arjunasasrabahu.
Perang hebat antar-dua negara itu bermula karena Arjunasasrabahu membendung samudera untuk membuat taman air untuk istri tercintanya; Dewi Citrawati. Akibatnya, Alengka yang berbatasan langsung dengan Mahespati banjir bandang dan membuat Dasamuka murka luar biasa.
Peperangan itu dimenangkan oleh Mahespati yang berakhir dilarak atau diseretnya Dasamuka oleh Arjunasasrabahu. Itu kenapa lakon ini berjudul Dasamuka Larak.
“Itu sebelum cerita Ramayana, lebih tua lagi,” kata Rendy bercerita dengan bahasa Jawa alus, padahal saya selalu bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Beruntung, bahasa Jawa saya lumayan baik, sehingga bisa menangkap ceritanya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Mendengar dia selalu berbicara dengan bahasa Jawa alus ketika ngobrol dengan saya membuat saya penasaran; bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya setiap hari. Apakah ketika nongkrong dengan teman-temannya dia juga berbahasa Jawa alus juga?
“Kalau sama temen-temen ya biasa saja mas. Pakaian ya biasa, pakai kaos, celana panjang, sandal juga biasa. Masa pakai pakaian dalang, nanti malah dikira orang edan,” kata dia sembari terkekeh.
Ya, bener juga sih, gumam saya.
Dalang Seniman Paket Lengkap
Foto oleh : Widi Erha
Usai pentas, Rendy dan sekitar 20 teman lainnya, yang tergabung dalam kelompok Karawitan, tampak sangat girang. Mereka langsung foto bersama, tak ingin kehilangan momen berharga itu untuk diabadikan.
“Karena kelompok Karawitan ini belum lama, tapi sudah diikutsertakan di acara Mawayang ini. Padahal peserta lainnya sudah ampuh-ampuh, seniman senior semua,” kata Rendy masih menggunakan bahasa Jawa alus.
ADVERTISEMENT
Mawayang merupakan event yang digelar oleh Balai Budaya Minomartani bekerjasama dengan Sekolah Vokasi UGM dalam rangka memperingati hari wayang sedunia pada 7-8 November lalu.
Rendy bercerita, proses latihan mereka benar-benar melelahkan dan penuh drama. Bahkan, ketika waktu pentas hanya menyisakan tiga jam, mereka masih harus melatih skill dan kekompakan.
“Kadang karena punya kesibukan masing-masing, latihan hampir tidak pernah full tim. Tadi saja awal-awal mau pentas baru tujuh orang yang dateng, ternyata terjebak macet,” lanjut Rendy.
Bagi Rendy, sebagai seorang dalang, latihan adalah keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam satu pentas, dia harus bisa menyanyikan lagu-lagu jawa, menghafal lakon secara detail sekaligus dengan filosofinya, menirukan suara ratusan karakter wayang, dan seorang dalang seharusnya juga bisa memainkan semua instrumen gamelan.
ADVERTISEMENT
Tapi, paling susah menurutnya adalah bagaimana membangun suasana agar penonton bisa masuk ke dalam cerita yang dia bawakan. Bagaimana dia bisa menggambarkan kesedihan dalam setiap scene, kemarahan, ketegangan, kegembiraan, dan membuat penonton terbahak dengan dagelan-dagelan di sela cerita.
“Soalnya suasana hati (dalang) kan tidak selalu baik, tapi tetap harus profesional untuk menyajikan penampilan yang terbaik,” ujarnya.
Menirukan Suara Ratusan Karakter Wayang
Rendy seusai pentas di even Mawayang. Foto oleh : WIdi Erha
Jika Anda mengetik frasa “menirukan suara” di Google, Anda akan menemukan sangat banyak artikel atau berita tentang seseorang yang bisa menirukan banyak karakter suara. Yang terbaru, berita seorang pelajar yang viral karena bisa menirukan suara Presiden Jokowi. Tapi, pernahkan Anda menyadari, seorang dalang harus bisa menirukan suara tak hanya satu, tapi, ratusan karakter wayang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa? Untuk menghafal nama-nama wayang saja bukan perkara mudah, lha ini harus hafal sekaligus bisa menirukan suara setiap karakter wayang pula.
Menurut Rendy, sebenarnya ada teknik khusus yang memudahkan menghafal dan menirukan suara-suara setiap karakter wayang.
Pertama, karakter suara setiap wayang bisa dilihat dari raut mukanya. Ada raut muka yang memperlihatkan kebijaksanaan, kelicikan, keanggunan, kengerian, keangkaramurkaan, atau kebengisan.
Misal, raut muka merah biasanya melambangkan sosok antagonis yang arogan dan pemarah. Maka suara karakternya pun menyesuaikan suara seseorang yang arogan atau sedang marah, suara-suara angkuh yang penuh kesombongan; biasanya menggelegar. Misalnya tokoh-tokoh raksasa seperti Dasamuka atau Rahwana.
Sementara jika raut mukanya berwarna hitam, maka tokoh wayang itu memiliki karakter bijaksana, sederhananya mereka adalah tokoh protagonis. Misalnya tokoh-tokoh Pandawa, jika dilihat semuanya memiliki raut muka berwarna hitam.
ADVERTISEMENT
“Yang kedua bisa dilihat dari bibirnya mas. Bibirnya itu ndhengak (mendongak) atau temungkul (menunduk),” lanjut Rendy.
Bibir yang mendongak identik dengan raut muka merah, jika pernah melihat sinetron Indonesia, Anda tentu akan sangat mudah membedakan cara bicara tokoh-tokoh antagonis yang sombong, licik, atau pemarah. Sedangkan bentuk bibir yang menunduk identik dengan karakter protagonis, biasanya cara bicaranya tenang, berat, sehingga memunculkan kesan berwibawa dan cool abis.
Tak hanya itu, ukuran badan dan usia yang berbeda juga akan mempengaruhi suara karakter tersebut. Bahkan di mana tokoh wayang itu berada juga akan mempengaruhi karakter suara setiap wayang.
“Misalnya Kresna, kalau dia sedang ada di negaranya, di Dwarawati, itu suaranya beda kalau dia sedang ada di negara lain,” kata Rendy.
ADVERTISEMENT
Saya termenung sebentar, membayangkan betapa rumitnya menjadi seorang dalang. Itu baru menirukan suara karakter wayang, satu dari sekian keterampilan yang harus dikuasai.
“Suara saya kan kecil, berarti nggak bisa dong saya menirukan suara karakter wayang yang menggelegar?” tanya saya.
“Bisa saja mas, yang penting dilatih terus, dibuat sebesar-besarnya saja,” jawabnya.
Rendy biasanya paling suka berlatih menirukan suara-suara wayang ketika sedang di kamar mandi atau ketika sedang sendirian mengendarai motor. Bergumam sendiri dan berdialog sendiri seperti wong edan. Kata dia, dalang itu memang harus edan.
Yang tak kalah penting baginya adalah melatih pernapasan. Seorang dalang menurutnya harus paham kapan dia menggunakan suara perut, kapan menggunakan suara diafragma, tenggorokan, atau suara bibir.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau latihan pasti bisa mas. Bakat itu kan dicari, diasah, bukan bawaan lahir,” kata dia.
Apa yang dikatakan Rendy soal bakat bukan tanpa alasan, itulah yang dialaminya sendiri. Dalam tubuhnya tak ada darah seorang seniman. Ayahnya memang penggemar wayang kulit, tapi hanya sebatas penikmat. Meski begitu, ayahnya memiliki peran besar dalam mengenalkan wayang kepada Rendy.
“Waktu masih kelas tiga SD, kan ada wayang-wayangan yang kecil, bapak ngajarin wayang ini namanya siapa dari negara mana,” kata Rendy mengenang awal mula dia berkenalan dengan wayang.
Dari situlah keinginan Rendy untuk mengenal wayang mulai tumbuh. Melihat anaknya tertarik dengan dunia pewayangan, orang tua Randy mencoba menyalurkan dengan memasukkannya ke sebuah sanggar kesenian yang fokus pada dunia pewayangan khususnya dalang.
ADVERTISEMENT
Rendy mulai melepas beberapa kancing surjannya, mengibas-ibaskan agar anginnya bisa sedikit mengurangi gerah. Di sekitar kami, teman-teman Rendy sudah berganti baju semua. Sekarang, tak akan ada yang menyangka kalau meraka adalah para sinden dan penabuh gamelan, semua kembali seperti semula: remaja pada umumnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)