Sekolah Online di Mata Guru: Berjibaku dan Lebih Baik Mengajar Orang Tua Siswa

Konten dari Pengguna
27 Juli 2020 18:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosialisasi MKM yang digelar Youth With Sanitation Concern (YSC) di SDN 3 Kota Karang Bandar Lampung | Foto Dokumentasi YSC
zoom-in-whitePerbesar
Sosialisasi MKM yang digelar Youth With Sanitation Concern (YSC) di SDN 3 Kota Karang Bandar Lampung | Foto Dokumentasi YSC
ADVERTISEMENT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan yang tertinggi kedua secara nasional pada 2018 dengan 79,53 setelah DKI Jakarta dengan IPM 80,47. Bahkan, IPM khusus untuk Kota Yogyakarta (tidak termasuk Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo) merupakan yang tertinggi secara nasional, yakni mencapai 86,11, jauh melampaui rerata IPM nasional di angka 71,39.
ADVERTISEMENT
Namun tingginya IPM, dimana salah satu indikator penyusunnya adalah indeks pendidikan itu tidak sertamerta membuat DIY bisa lepas begitu saja dari berbagai kesulitan pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi. Masalah demi masalah yang terjadi selama pembelajaran daring, tidak jarang membuat guru dan sekolah kewalahan.
Kepala SD Negeri Sidoarum, Godean, Sleman, DIY, Eny Farida, mengatakan bahwa keterbatasan perangkat yang dimiliki orangtua siswa menjadi persoalan utama di sekolahnya dalam melaksanakan pembelajaran daring.
Dari segi perekonomian, rata-rata tingkat perekonomian orangtua siswa di sekolah tersebut kata Eny adalah menengah ke bawah. Selain perangkat seperti ponsel yang kurang mumpuni, beberapa juga ada yang belum memiliki gawai sehingga kesulitan untuk mengikuti pembelajaran daring.
“Jadi kami bantu sedikit kemarin untuk yang kurang mampu Rp 400 ribu dari dana PIP (Program Indonesia Pintar). Beberapa ada yang tanya, boleh tidak buat beli HP, saya bilang monggo,” kata Eny Farida saat ditemui, Jumat (17/7).
Kepala SD Negeri Sidoarum, Godean, Sleman, DIY, Eny Farida. Foto: Widi Erha Pradana.
Beberapa persoalan lain juga mencuat, misalnya kesibukan serta keterampilan orangtua dalam menggunakan teknologi yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga terjadi di SD Negeri Samirono di Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, yang notabene lokasinya berada di perkotaan ketimbang SD Negeri Sidoarum yang berada di pinggiran Jogja sisi barat.
Kepala SD Negeri Samirono, Isti Yunaidah mengatakan tidak meratanya kemampuan perangkat yang dimiliki setiap siswa juga menjadi kendala dilaksanakannya sekolah daring.
“Karena tidak semua orangtua siswa itu punya HP ya, dan maaf, tidak semua orangtua juga bisa IT,” ujar Isti.
Sebenarnya sekolah juga ingin menggunakan teknologi video konferensi dalam memberikan pembelajaran kepada siswa mereka, namun karena berbagai keterbatasan itu saat ini teknologi yang paling banyak dipakai baru sekadar WhatsApp.
Untuk orangtua siswa yang tidak memiliki gawai, sekolah menyiasatinya dengan cara menyiapkan tugas dan bahan belajar secara luring atau offline yang bisa diambil oleh orangtua siswa setiap tiga hari sekali. Guru-guru di sekolah juga bukan tanpa kendala, meski sekolah sudah menyediakan jaringan internet gratis, tapi ketika diakses bersama-sama seringkali koneksi menjadi sangat lemot.
ADVERTISEMENT
“Apalagi untuk guru-guru yang sudah sepuh, kan harus belajar lagi menyiapkan materi yang bisa disampaikan secara online. Mereka kasihan juga harus standby lihat HP berjam-jam,” lanjutnya.
Untuk itu, dalam waktu dekat sekolah-sekolah yang ada di Desa Caturtunggal menurutnya akan bekerja sama memberikan pelatihan kepada guru untuk membuat pembelajaran secara daring.
“Saya selalu matur, monggo tetap dilayani semampu bapak ibu guru, jangan sampai ada anak yang telantar karena dia tidak bisa IT atau tidak pegang HP,” lanjutnya.
Jam Kerja tak Menentu dan Masih Harus Jemput Bola
Kepala SD Negeri Samirono, Isti Yunaidah. Foto: Widi Erha Pradana.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa ketika sekolah daring guru bisa lebih leluasa dalam mengatur waktu. Tapi hal itu dibantah oleh Ari Cahyanto, salah seorang guru di SD Negeri Samirono. Menurutnya, ketika pembelajaran daring justru jam kerja guru menjadi tidak menentu.
ADVERTISEMENT
“Kan pagi kami kirim tugas ke siswa, terus siswa itu kan ngirimnya tidak bareng karena kesibukan orangtuanya kan berbeda-beda. Ada yang satu jam, dua jam, ada yang malem baru ngirim,” kata Ari.
Sesulit apapun situasinya, semua siswa menurutnya tetap harus mendapat hak mereka untuk belajar. Karena itu, bagi siswa yang tidak memiliki perangkat untuk mengakses pembelajaran daring, dia yang akan datang langsung ke rumah siswa untuk memberikan pembelajaran.
“Jadi di sini ada yang namanya guru kunjung, jadi guru yang datang ke rumah siswa,” ujarnya.
Melihat beratnya beban yang dipikul oleh guru-guru di sekolahnya, Isti Yunaidah berharap pemerintah mengizinkan sekolah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar lagi secara tatap muka, terutama untuk kelas 1 dan 2. Sebab, pembelajaran daring sangat berat dilakukan di kelas tersebut mengingat belum semua siswa bisa membaca.
ADVERTISEMENT
“Tentunya dengan protokol yang ketat ya. Kalau diizinkan kan bisa dengan tetap jaga jarak, pakai masker, terus dibagi jam sekian berapa siswa yang masuk. Paling tidak seminggu sekali lah,” ujar Isti.
Acvin Lu’lu’il Maknuni, guru kelas 4 di SD Negeri Somongari Purworejo, juga terpaksa tetap harus melakukan tatap muka dengan murid-muridnya. Siswanya yang berjumlah 20 anak dibagi menjadi dua kelompok yang nantinya akan melakukan pembelajaran di salah satu rumah milik wali murid.
“Karena kalau siswanya yang datang ke sekolah tidak diperbolehkan, jadi gurunya yang ke rumah siswa gitu, tapi siswanya per kelompok,” kata Acvin.
Durasi pembelajaran tidak seperti waktu normal, setiap pertemuan jam belajarnya hanya sekitar 60 sampai 90 menit saja. Hal ini dilakukan karena pembelajaran daring dirasa belum optimal, sehingga tidak bisa langsung diterapkan 100 persen daring.
ADVERTISEMENT
“Saya si pingin pakai Google Classroom, tapi kasihan yang rumahnya di pucuk (gunung), sinyalnya suka susah,” lanjutnya.
Masalah Sebenarnya Bukan Ponsel dan Kuota Internet
Kondisi di SDN Samudra Jaya 04, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Edwin Widianto melakukan upaya yang berbeda ketimbang guru kebanyakan. Dia adalah guru atau fasilitator kelas 2 SD di Sanggar Anak Alam (Salam), Bantul, DIY. Alih-alih memberikan pembelajaran kepada murid-muridnya, dia justru memberikan pembelajaran kepada orangtua murid.
“Di tempatku namanya mentoring, jadi malah aku kayak ngajarin orangtua murid-muridku,” kata Edwin.
Situasi pandemi menurutnya telah membuktikan bahwa fungsi pendidikan yang paling penting justru dipegang oleh keluarga. Karena itu, ketimbang harus memberikan pelajaran kepada siswanya secara daring, sekolahnya memilih sistem untuk memberikan pembelajaran kepada orangtua.
Kendati demikian, dia justru merasa tugas itu jauh lebih berat. Pasalnya, kebanyakan orangtua sudah punya prinsip masing-masing terkait bagaimana caranya mendidik anak.
ADVERTISEMENT
“Justru karena mereka sudah punya prinsip masing-masing jadinya aku sulit untuk ngasih pengertian ke mereka, bagaimana sih cara mendidik di Salam,” lanjutnya.
Bagi dia, perangkat entah itu ponsel atau laptop, koneksi dan kuota internet bukanlah masalah utama. Semua itu menurutnya hanya medium saja, bukan masalah yang sebenarnya dalam pendidikan di era pandemi ini.
“Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah, bahwa anak itu belum siap untuk belajar secara mandiri, mereka ternyata belum punya kesadaran itu,” ujar Edwin.
Belum terbangunnya kesadaran itu misalnya bisa dilihat tidak adanya inisiatif siswa untuk belajar secara mandiri. Mereka belum menganggap belajar sebagai kebutuhannya, sehingga jika tidak diberi tugas atau jika guru tidak bisa mengajar, siswa juga tidak punya inisiatif untuk belajar sendiri. Dan itulah yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
“Jadi PR utamanya sekarang adalah bagaimana membangun kesadaran itu kepada anak,” ujarnya menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)