Sempat Viral Unggahan Cumi Makan Plastik, Begini Fakta Ilmiahnya

Konten dari Pengguna
7 September 2020 15:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepekan kemarin unggahan cumi memakan plastik sempat viral di berbagai platform media sosial. Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Sepekan kemarin unggahan cumi memakan plastik sempat viral di berbagai platform media sosial. Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Pekan kemarin, sebuah unggahan di media sosial Twitter mendapat banyak respons dari warganet. Unggahan itu dibuat oleh pengguna akun @dsblf yang berisi sebuah foto nasi dan cumi. Tapi yang membuat unggahan itu mendapat banyak perhatian bukanlah foto yang diunggah, melainkan keterangan foto tersebut.
ADVERTISEMENT
“Mkan cumi eh ada plastiknya :(. Jangan buang sampah di laut ya guys,” tulis akun @dsblf tersebut.
Terlihat dalam foto tersebut, sebuah lempengan pipih kecil berwarna putih menjulur dari dalam tubuh cumi. Benda itulah yang disebut-sebut sebagai plastik oleh akun @dsblf.
Tak pelak, unggahan itu mendapat banyak komentar dari pengguna media sosial Twitter lainnya. Mereka yang berkomentar terbagi dalam dua kubu, pertama yang percaya bahwa benda yang dimaksud memang plastik, kubu lainnya yang mengatakan bahwa benda tersebut bukanlah plastik melainkan bagian tubuh dari cumi itu sendiri.
Hingga akhir pekan kemarin, unggahan tersebut sudah mendapatkan lebih dari 2.500 komentar, di retweet sebanyak 7.000 kali lebih, serta mendapat lebih dari 26 ribu penyuka.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana sebenarnya penjelasan ilmiahnya. Mana yang benar, apakah benda tersebut memang plastik yang dimakan oleh cumi tersebut, atau bagian dari tubuh cumi itu sendiri?
Dewi Nursyamsiah, dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam penelitiannya yang berjudul Aktivitas Antioksidan Kitosan yang Diproduksi dari Endoskeleton Cumi-cumi (Loligo sp.), menyebutkan bahwa benda tersebut merupakan bagian dari tubuh cumi-cumi yang disebut endoskeleton atau tulang rawan.
“Endoskeleton ini adalah satu-satunya bagian dari tubuh cumi-cumi yang tidak bisa dikonsumsi,” tulis Dewi dalam penelitiannya.
Endoskeleton merupakan struktur tulang keras atau tulang rawan yang terdapat di dalam tubuh organisme, dalam konteks ini cumi-cumi. Endoskeleton ini berfungsi untuk melindungi dan menopang tubuh cumi-cumi, serta tempat menempelnya otot.
ADVERTISEMENT
Berpotensi Jadi Limbah
Karena tidak bisa dikonsumsi, endoskeleton pada cumi-cumi berpotensi menjadi limbah dari produksi perikanan jika tidak bisa dimanfaatkan. Hal ini tentu akan berdampak buruk untuk lingkungan, mengingat saat ini limbah dari industri perikanan sudah cukup besar dan belum mampu dikelola secara optimal. Diperkirakan, limbah perikanan tersebut mencapai 30 sampai 40 persen dari total komoditas baik ikan, moluska, serta crustacea atau udang-udangan.
Sebenarnya, penelitian terkait pemanfaatan limbah dari hasil industri perikanan yang ada saat ini sudah cukup banyak. Sehingga limbah-limbah tersebut dapat dikembangkan dan bermanfaat menjadi sumber daya lain yang berbasis zero waste. Namun untuk limbah cumi-cumi, belum banyak yang menelitinya.
Pemanfaatan limbah hasil perikanan juga sangat banyak, salah satunya pengolahan kitin dan kitosan dari kulit udang.
ADVERTISEMENT
“Ternyata tidak hanya kulit udang, tulang rawan cumi-cumi juga dapat digunakan sebagai bahan baku kitosan,” tulisnya.
Kitosan merupakan senyawa turunan dari hasil proses deasetilasi kitin yang banyak terkandung di dalam hewan laut seperti udang dan kepiting. Kitosan biasa dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan manusia, dari bidang kesehatan seperti bahan baku pembuatan biomaterial. Di bidang lingkungan seperti adsorben, kitosan juga bisa dimanfaatkan sebagai aplikasi dalam atom penjerat atau atom pengikat logam-logam berat. Kitosan juga bisa dimanfaatkan di bidang ilmu pengetahuan sebagai koleksi data dari pemodelan kinetika reaksi pembuatan kitosan.
“Kitosan telah diteliti oleh berbagai peneliti karena kitosan bersifat biodegredabel, biokompatibel, non-toksik, dan sebagai adsorben. Sifatnya sebagai adsorben inilah yang ternyata dapat digunakan sebagai bahan antioksidan yang dapat menghambat radikal bebas dalam tubuh,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Efektif Diterapkan pada Minyak Kelapa
Dari penelitian yang telah dilakukan, Dewi menemukan bahwa antioksidan kitosan endoskeleton cumi-cumi memiliki efektivitas tinggi ketika diterapkan pada minyak kelapa. Minyak kelapa yang digunakan dia produksi sendiri agar bisa mengontrol peroksida yang dihasilkan. Nantinya, antioksidan inilah yang berfungsi untuk menghambat pembentukan peroksida pada minyak kelapa.
“Peroksida merupakan hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen yang dapat dijadikan indikasi kerusakan lemak,” tulisnya.
Nilai peroksida ini akan menunjukkan kemampuan bahan tersebut dalam menghambat oksidasi lemak. Kitosan endoskeleton dari cumi-cumi yang ditambahkan pada minyak kelapa diharapkan dapat menghambat oksidasi lemak, sehingga bilangan peroksida minyak kelapa akan lebih kecil.
Hasilnya, daya hambat kitosan endoskeleton cumi-cumi terhadap oksidasi minyak kelapa menunjukkan kitosan berbentuk gel pada konsentrasi 0,2 gram lebih efektif dalam menghambat oksidasi minyak kelapa dengan nilai bilangan peroksida sebesar 4,82 Meq/1000 gram.
ADVERTISEMENT
“Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi baru yang nantinya dapat dikaji lebih dalam untuk dapat dimanfaatkan di berbagai bidang, seperti bidang pangan, kesehatan, dan kosmetik,” lanjutnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)