Sendang Perwitosari, Tempat Berkumpul para Wali dan Bidadari di Ngaglik, Sleman

Konten dari Pengguna
23 Januari 2021 14:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sendang Perwitosari dan lukisan di dinding. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Sendang Perwitosari dan lukisan di dinding. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Dibyo Hadi, 75 tahun, duduk tenang di tepi sendang Perwitosari, sebuah mata air di Dusun Gondangan, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Dia sedang berbincang dengan beberapa tukang, yang siang itu sedang bekerja memperbaiki saluran air di sendang itu.
ADVERTISEMENT
Baru mengenalkan diri, Mbah Dibyo, begitu dia akrab disapa, pamit sebentar untuk mengenakan kerudung dan masker. Tak sampai lima menit, dia sudah keluar lagi dari rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari sendang Perwitosari.“Biar sesuai protokol dari pemerintah,” kata Mbah Dibyo sedikit bercanda, beberapa waktu lalu.
Mbah Dibyo kembali duduk di tempat semula. Setelah memperbaiki letak masker dan kerudungnya, dia memulai kisahnya. Kisah yang dia alami beberapa dekade silam. Ketika usianya masih belasan, Mbah Dibyo mengaku sempat tidur di bawah pohon preh yang ada tepat di sebelah sendang. Pohon itu berukuran cukup besar, dan terlihat tua. Lingkar batangnya hampir seukuran dua depa orang dewasa.“Dulu waktu saya kecil sudah ada, tapi belum sebesar sekarang,” ujar juru tetua setempat ini.
ADVERTISEMENT
Selama 100 hari Mbah Dibyo tidur di bawah pohon preh tua itu. Saat itu, belum ada bangunan yang mengitari sendang seperti sekarang. Suasana masih sunyi dan asri, karena pepohonan masih rimbun dan belum banyak rumah di sekitarnya.“(Tujuannya) ya cuma untuk ngademke pikiran, biar pikiran jernih, sama berdoa untuk keselamatan anak cucu saja,” kata Mbah Dibyo di tengah suara gemericik air yang terus mengalir dari dalam sendang.
Mbah Dibyo. Foto: Widi Erha Pradana.
Yang dilakukan oleh Mbah Dibyo sebenarnya tidak benar-benar tidur. Raganya mungkin boleh terlelap, namun jiwanya tetap terjaga. Selama seratus malam menyepi di sendang Perwitosari itu, dia banyak menyaksikan hal-hal ghaib yang kemudian memberinya petunjuk tentang masa lalu sendang Perwitosari.“Sampai sekarang saya masih ingat betul, dari malam pertama sampai terakhir apa yang terjadi,” ujar Mbah Dibyo.
ADVERTISEMENT
Suatu malam ada seorang kakek-kakek yang mendatanginya di bawah pohon preh itu. Kakek itu hanya menyapanya, lalu pergi lagi. Di malam lainnya, dia juga melihat para wali tengah berkumpul di sekitar sendang. Dari situ, Mbah Dibyo mendapatkan petunjuk bahwa dulunya sendang itu merupakan tempat bertemunya para wali sebelum menyebarkan ajaran islam“Yang menjaga di sini itu namanya Eyang Onggonolo. Yang saya temui di mimpi itu orangnya gagah, para sunan juga sering ketemu,” ujarnya.
Selain para wali, Mbah Dibyo juga kerap menyaksikan para bidadari datang ke sendang Perwitosari untuk mandi. Ketika mereka datang menggunakan kereta kencana, kawasan di sekitar sendang sangat penuh oleh para bidadari yang menunggang kereta kencana.Setelah melakukan tirakat dengan tidur seratus hari di sendang Perwitosari ini, Mbah Dibyo mengaku hidupnya lebih tenang. Dia juga merasa lebih ringan ketika menghadapi setiap permasalahan yang dia temui di dalam hidupnya.“Jadi tenang, hidupnya enggak grusa-grusu. Mengurus anak empat ya enak-anak aja. Tapi itu bukan karena sendang ya, itu karena Tuhan, Tuhan yang menolong,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kini, di bawah pohon preh tua itu terdapat sebuah batu seperti makam. Batu itu sengaja dipasang oleh anak Mbah Dibyo, tujuannya supaya orang-orang tidak sembarang kencing di bawah pohon itu. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak yang mengira bahwa batu tersebut adalah makam.Sehingga sekarang, di atas dan sekitar batu tersebut menjadi tempat orang-orang meletakkan sesaji. Ada banyak bekas dupa dan kembang di sekitarnya, menandakan sering dijadikan tempat ritual.“Padahal itu Cuma batu biasa, biar orang-orang tidak sembarang kencing di pohon. Tapi malah dikira makam atau tempat sesajen,” ujar Mbah Dibyo.
Pompa Air Tak Nyala
Foto: Widi Erha Pradana.
Sekitar tahun 2000-an, sebuah perusahaan air minum sempat datang ke sendang Perwitosari. Mereka bermaksud untuk membeli mata air tersebut, dan kemudian dibisniskan. Tapi masyarakat setempat menolak keras.Bukan hanya masyarakat yang tidak setuju mata air sendang Perwitosari dibisniskan. Mereka juga percaya, leluhur mereka tidak akan merestui jika mata air sendang Perwitosari dibisniskan untuk keuntungan segelintir orang.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, selama ini, mata air tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat menggunakan sendang itu untuk keperluan sehari-hari, baik untuk konsumsi, mandi, mencuci, pertanian, dan sebagainya.“Pompa airnya, waktu nyedot air di sini itu enggak mau nyala, blas enggak keluar air. Pas digeser, dikeluarin dari sendang, baru mau nyala. Enggak tahu juga kenapa,” kata Mbah Dibyo.
Sampai sekarang, sendang Perwitosari masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, bahkan dari luar desa, untuk kebutuhan sehari-hari. Meski yang bergantung pada sendang tak sebanyak dulu karena sebagian besar sudah punya kamar mandi, tapi posisinya masih sangat vital bagi masyarakat.“Kalau pas musim kemarau, orang dari mana-mana itu pada ambil air di sini. Pada ngantre sampai luar sana,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya untuk keperluan sehari-hari, seringkali orang-orang juga datang untuk tujuan lain: spiritual. Mereka datang dari mana saja, tidak hanya dari Yogyakarta. Ada juga yang dari Kalimantan, Sulawesi, bahkan dari Belanda.Tujuannya macam-macam, tapi kata Mbah Dibyo, mayoritas dari mereka pasti memiliki berbagai permasalahan di dalam hidupnya.“Ya ada yang sakit, ada yang masalah ekonomi, pekerjaan, macam-macam lah,” ujarnya.
Orang yang datang akan semakin banyak ketika malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Mereka sampai mengantre untuk mandi dan melakukan ritual di sendang tersebut.
Ketika dipugar oleh Pemda DIY sekitar tiga dekade silam, sendang dibagi menjadi dua bagian, sendang untuk mandi perempuan dan laki-laki. Di bagian luar, terdapat tiga pancuran sebagai tempat keluar air. Pancuran yang berjumlah tiga itu menurut Mbah Dibyo juga memiliki makna tersendiri, pancuran satu untuk memudahkan dalam urusan pekerjaan seperti jabatan, kedua untuk kesehatan, dan yang terakhir untuk mempermudah rezeki.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Mbah Dibyo selalu menekankan untuk tidak pernah meminta atau memohon apapun kepada sendang. Bahwa pancuran tersebut dipercaya memberikan berkah masing-masing, itu hanyalah sebagai medium untuk berdoa kepada Tuhan.“Tempat meminta dan memohon, harus kepada Tuhan, jangan ke sendang,” kata Mbah Dibyo yang sampai sekarang enggan menjadi juru kunci sendang Perwitosari meski dianggap yang paling paham tentang seluk beluk sendang.
Tak Pernah Surut Sepanjang Waktu
Akar pohon preh di sendang. Foto: Widi Erha
Saruji, 64 tahun, datang membawakan dua gelas teh manis hangat untuk dihidangkan. Kata dia, air yang digunakan untuk membuat teh adalah air sendang langsung.“Harus minum, masa sudah ke sini tapi enggak minum air sendangnya. Enak airnya mas, beda. Kalau tehnya teh biasa, pakai teh balap,” kata dia ketika menyajikan teh racikannya.
ADVERTISEMENT
Tak banyak perbedaan dengan teh-teh pada umumnya, mungkin karena lidah kami yang tidak terlalu peka. Tapi aroma teh itu terasa lebih harum, entah karena tehnya atau airnya.
Foto: Widi Erha
Saruji juga salah seorang yang aktif menjaga kelestarian sendang Perwitosari. Menurut Saruji, mata air di sendang Perwitsari selalu stabil, tak terpengaruh oleh musim. Debitnya tidak pernah mengecil ketika kemarau panjang, juga tidak membesar ketika musim penghujan.“Jadi stabil, ya segini saja,” kata dia.
Yang dipakai oleh masyarakat memang bukan air yang langsung keluar dari mata air. Ketika dibangun oleh pemerintah, mata air tersebut disaring lebih dulu lalu ditampung. Baru setelah itu dialirkan ke sendang untuk dimanfaatkan masyarakat.“Sebenarnya airnya sudah jernih, tapi kadang ada akar-akar pohon yang terbawa,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Melukis di Dinding
Saruji. Foto: Widi Erha
Saruji juga mengamini mitos-mitos yang berkembang tentang sendang Perwitosari. Belum lama ini, dia meminta izin untuk melukis dinding sendang. Padahal, seumur hidupnya, dia tidak pernah melukis.Ketika menggambar, dia merasa ada sesuatu di luar kendalinya yang menuntun tangannya untuk menggambar. Hasilnya adalah gambar seorang lelaki memegang tongkat dengan pakaian serba hitam di atas pancuran, dan dua perempuan seperti ratu atau bidadari di sisi lainnya.“Padahal saya belum pernah menggambar sebelumnya. Itu tangan saya seperti ada yang menggerakkan,” ujarnya.
Menurut dia, ketika orang yang akan mandi berpikir bahwa air sendang itu dingin, maka air akan menjadi sangat dingin. Namun sebaliknya, ketika di pikirannya air itu hangat, maka sampai tengah malam atau pagi berendam pun, dia tidak akan merasakan dingin.
Lukisan karya Saruji. Foto: Widi Erha
Meski cenderung dikeramatkan, namun menurut dia sebenarnya tidak ada pantangan-pantangan khusus. Yang penting adalah tetap bersikap sopan dan tidak sombong ketika sedang di sendang.
ADVERTISEMENT
Dulu kata dia sempat ada yang menantang, dan tidak percaya dengan kepercayaan tersebut. Orang tersebut jumawa, karena melihat sendang itu biasa saja sehingga tidak berbahaya dan tidak akan mencelakakan.“Tapi kemudian ada yang membenturkan kepalanya ke tembok. Siapa yang membenturkan juga enggak ada yang tahu. Tahunya sudah ada darah mengalir dari kepalanya. Jadi harus mawas diri, tidak boleh sombong, dan itu di manapun sebenarnya, bukan hanya di sini,” kata Saruji. (Widi Erha Pradana / YK-1)