Sengkarut Tata Kelola Sampah di Yogya, Dunia Usaha Dituntut Berperan

Konten dari Pengguna
4 November 2019 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sampah. Foto dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sampah. Foto dari Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat sebanyak 2.100 ton sampah diproduksi setiap hari di seluruh DIY pada awal 2019. Akibatnya, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan di Bantul sempat mengalami overload atau kelebihan beban. Dalam sehari saja, TPA Sampah Piyungan harus menampung sampah hingga 600 ton sehari.
ADVERTISEMENT
Melihat jumlah sampah yang terus meningkat setiap waktunya, pemerintah pusat punya ambisi besar; mengurangi sampah plastik hingga 75 persen pada 2025. Padahal, KLHK memperkirakan jumlah sampah di Indonesia mencapai 64 juta ton tiap tahun.
Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM, Igam Wardhana, pesimis ambisi itu bisa terlaksana, mengingat waktu yang tersisa tidak banyak ditambah belum adanya langkah-langkah progresif dari pemerintah dalam mengurangi jumlah sampah tersebut.
“Kalau 75 persen, saya kira mustahil mengingat 2025 tinggal enam tahun lagi. Sedangkan langkah-langkah progresif belum ditunjukkan oleh pemerintah,” ujar Igam dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Walhi Yogyakarta, Jumat (1/11).
Sayangnya, Kabid Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Agus Setianto yang juga hadir dalam diskusi tersebut enggan memberikan komentar terkait bagaimana pemerintah khususnya DIY akan mengejar target itu.
ADVERTISEMENT
“Langsung tanya ke Pak Kepala (DLHK DIY) saja kalau itu,” ujar Agus.
Masyarakat Selalu Dikambinghitamkan
Foto dari Pixabay
Menurut Igam, selama ini pemerintah selalu menjadikan masyarakat sebagai aktor utama permasalahan sampah yang ada. Hal itu menurutnya terlihat dalam Konsideran UU No 18 tahun 2008 yang menyebutkan penyebab utama permasalahan sampah adalah pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Dua faktor itu disebut-sebut menjadi penyebab utama bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam.
“Ternyata pemerintah melihat permasalahan sampah itu mengunakan sebuah perspektif yang bernama malthusian dan kulturalis,” ujar Igam.
Malthusian merupakan teori yang dikeluarkan oleh seorang pakar demografi dan ekonom politik dari Inggris, Thomas Malthus. Teori tersebut mengatakan bahwa semua permasalahan lingkungan yang dihadapi hari ini disebabkan oleh populasi penduduk.
ADVERTISEMENT
Menurut Igam, teori tersebut dapat dikritik, sebab antara penduduk yang satu dengan lainnya memiliki kontribusi yang berbeda dalam menghasilkan sampah. Misal penduduk dengan gaji satu juta hanya mampu membeli beras, sehingga sampah yang dihasilkan hanya dari beras saja. Namun penduduk dengan gaji lebih besar tentu pola konsumsinya juga berubah seiring besarnya kemampuan konsumsi yang dimiliki.
“Jadi kalau kita menyalahkan populasi, berarti kita menganggap semua orang memiliki kontribusi yang sama dalam hal menjadi penyebab sampah ini, padahal tidak,” kata Igam.
Pemerintah juga menggunakan pendekatan budaya dalam menanggapi permasalahan sampah. Misal, pidato pemerintah yang kerap memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tidak buang sampah sembarangan dan sebagainya.
“Ini kan seperti menyalahkan masyarakat sebagai konsumen. Jadi budaya masyarakat yang dianggap menyebabkan banjir, plastik, dan sebagainya,” lanjut Igam.
ADVERTISEMENT
Padahal banyak masyarakat yang menurut Igam juga peduli dengan permasalahan sampah dari tingkat pedesaan bahkan di tingkat RT/RW. Misalnya dalam hal pengelolaan dan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki instalasi atau stasiun pengolahan sampah-sampah yang sudah dipilah.
“Buntutnya apa? Sampah yang sudah dipilah oleh masyarakat, jadi satu di truk, dan akhirnya berakhir di Piyungan juga,” kata Igam.
Hal itu menunjukkan permasalahan sampah adalah persoalan struktural, di mana pemerintah memiliki peran yang besar.
Menuntut Tanggung Jawab Produsen
Foto dari Pixabay
Yang kerap kabur dalam permasalahan sampah ini adalah produsen. Pemerintah, menurut Igam sangat jarang melihat produsen sebagai penyebab membludaknya sampah. Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan pola Extended Producer Responsibility (EPR), yaitu perluasan tanggung jawab produsen atas dampak lingkungan dari kegiatan usaha yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Meski saat ini dunia usaha sudah harus membuat AMDAL dan berbagai perizinan lainnya, menurut Igam hal itu masih belum cukup.
“Produsen juga harus memikirkan bagaimana produk yang mereka hasilkan ketika sudah sampai di tangan konsumen dan itu akan berkontribusi menjadi sampah, bagaimana pertanggungjawaban mereka?” ujarnya.
Perusahaan ketika menghasilkan produk, menurut Igam juga harus menyiapkan skenario bagaimana agar produknya tidak menjadi sampah ketika sudah tidak lagi digunakan Setidaknya, ada empat tanggung jawab produsen atas produk yang dia hasilkan. Pertama, tanggung jawab fisik, tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, serta tanggung jawab informasi.
Secara fisik misalnya, produsen harus memikirkan bagaimana kemasan produknya tidak menjadi sampah yang merusak lingkungan.
“Misal kita beli Aqua atau Coca-cola, kita kan beli isinya saja, botolnya kemudian kita buang sebagai sampah. Sampah-sampah ini kemudian banyak sekali menimbulkan permasalahan,” ujar Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM, Igam Wardhana.
ADVERTISEMENT
Secara ekonomi, apabila sampah yang dihasilkan dari produk tersebut merugikan masyarakat, maka produsen harus mengganti rugi masyarakat. Selanjutnya, produsen-produsen yang menyebabkan permasalahan sampah juga bisa dituntut secara hukum.
Dewan Daerah WALHI Yogyakarta, Satrio Kusma, mengatakan selama ini pelaku usaha tidak melakukan apapun, hanya meraup keuntungan tapi tidak melakukan tanggung jawabnya, sehingga semua beban harus ditanggung oleh pemerintah. Sementara pemerintah masih menggunakan paradigma pengolahan sampah baru sampai pada titik hanya dibuang saja di tempat yang sudah disediakan.
“Pelaku usaha harus ikut bertanggung jawab terhadap sampah-sampahnya. Mereka sudah harus berpikir bagaimana melakukan pengelolaan terhadap sampah yang dia produksi,” kata Satrio.
Bagaimana Menerapkan EPR?
Foto dari Pixabay
Ada tiga skema yang bisa digunakan oleh produsen dalam menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR). Pertama menggunakan mekanisme take-back, yaitu produsen mengambil langsung sampah yang dia hasilkan. Mekanisme ini sudah diterapkan di beberapa negara di Eropa, di mana mereka mewajibkan produsen menyediakan finding machine yang bisa digunakan masyarakat untuk mengembalikan kemasan produk yang dia konsumsi.
ADVERTISEMENT
Mekanisme kedua adalah pooled take-back, yaitu pengambilan tanggung jawab melalui asosiasi yang dimiliki oleh produsen.
“Misalnya asosiasi perusahaan air kemasan. Asosiasi ini yang mengumpulkan sampah-sampah yang dihasilkan oleh anggota mereka,” jelas Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM, Igam Wardhana.
Dosen hukum lingkungan FH UGM, Igam Wardhana. Foto oleh : Widi Erha
Produsen juga bisa menggunakan mekanisme third party take-back, di mana produsen membayar atau menunjuk pihak ketiga untuk mengambil sampah-sampah yang dihasilkan olehnya. Adanya mekanisme-mekanisme ini menurut Igam menunjukkan bahwa produsen sebenarnya sudah dipermudah dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan.
“Yang terpenting adalah bahwa ini barang anda (produsen), ini sampah anda, dan anda bertangung jawab atas sampah tersebut,” ujarnya.
Selama ini, ada biaya-biaya lingkungan dan sosial yang selama ini dieksternalisasi atau ditanggung oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat, ekosistem, dan pemerintah. Akibatnya, harga sebuah produk menjadi lebih murah dari harga sebenarnya. Sebab, perusahaan tidak memasukkan biaya kerugian masyarakat karena banjir, kesehatan, atau petani yang mengalami kekeringan karena air yang diambil ke dalam biaya produksi mereka.
ADVERTISEMENT
Extended Producer Responsibility menurut Igam mencoba untuk mengajak pelaku usaha untuk memasukkan biaya-biaya yang selama ini ditanggung oleh petani, masyarakat pinggiran sungai, pemulung, dan sebagainya menjadi ongkos produksi mereka. Berbeda dengan CSR, yang mengambil keuntungan perusahaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan amal.
Kewajiban produsen untuk mengelola kemasan atau barang produksi yang sulit terurai oleh persoalan ini sebenarnya sudah tertuan dalam Pasal 5 UU No 18 tahun 2008.
“Sayangnya norma-norma ini jarang sekali atau bahkan tidak pernah diterapkan, sehingga sampah-sampah tidak pernah mengalami pengurangan. Akibatnya masyarakat yang selalu dipersalahkan,” ujar Igam.
Menurut Igam peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberlakukan regulasi tersebut. Namun, menurut Kabid Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Agus Setianto, mekanisme EPR saat ini belum dapat diterapkan, khususnya di DIY.
ADVERTISEMENT
“Kira-kira (kalau) tingkat penghasilan perkapita masyarakat (sudah) 2.500 USD per tahun, itu baru dimungkinkan (untuk diterapkan). Kita ini baru 500-an saja belum sampai,” kata Agus.
Kabid Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY, Agus Setianto
Meski begitu, dia yakin cepat atau lambat mekanisme EPR tersebut dapat diterapkan. Namun, pemerintah harus melihat situasi dan kondisi yang ada. Saat ini, hal itu sulit diterapkan karena dikhawatirkan dapat menghambat investasi, padahal, menurut dia investasi tersebut masih sangat diperlukan untuk mendongkrak perekonomian.
“Kalau caranya orang Jawa itu angon wayah, angon wektu dengan situasi dan kondisi yang pas,” kata Agus.
Sementara Satrio Kusma, mengatakan saat ini yang diperlukan adalah siapa yang akan memimpin mengatasi persoalan sampah ini, apakah KLHK, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, atau Kementerian Pekerjaan Umum. Namun sampai sekarang, belum ada pihak yang menginisiasi untuk mengatasi persoalan sampah ini secara serius. Sekarang ini, kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak pada penyediaan lingkungan hidup yang baik.
ADVERTISEMENT
“Ini masalah keberpihakan, political will. Kalau kita berbicara soal politik kekuasaan hari ini memang tidak berbicara soal mengatasi bagaimana menyediakan lingkungan hidup yang baik,” kata Satrio. (Widi Erha Pradana / YK-1)