Separuh Anak Indonesia Tak Biasa Sarapan, Pertumbuhan Otak Jadi Terhambat

Konten Media Partner
19 Februari 2022 19:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak-anak sarapan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak-anak sarapan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hampir separuh anak Indonesia ternyata tak biasa sarapan setiap pagi hari. Padahal, sarapan memiliki peran yang penting, selain untuk pertumbuhan anak juga untuk menunjang aktivitasnya pada hari itu. Hal itu disampaikan oleh Ahli Gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mirza Hapsari Sakti Titis Penggalih.
ADVERTISEMENT
“Hampir separuh anak-anak di Indonesia belum menjadikan sarapan sebagai suatu kebiasaan,” kata Mirza Halsari seperti dikutip dari laman resmi Humas UGM, Sabtu (19/2).
Ada sejumlah alasan mengapa mereka belum menjadikan sarapan sebagai kebiasaan, misalnya buru-buru berangkat sekolah, atau orangtua yang terburu-buru berangkat kerja sehingga tak sempat membuat sarapan.
Data Survei Diet Total (SDT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, menunjukkan bahwa dari 25 ribu anak usia 6-12 tahun di 34 provinsi, terdapat 4,77 persen anak yang belum memenuhi kebutuhan energi minimal saat sarapan. Bahkan, 66,8 persen anak yang sarapan tak mendapat asupan gizi yang seimbang. Mereka sarapan dengan kualitas gizi rendah belum terpenuhi kebutuhan gizinya, terutama asupan vitamin dan mineral.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, anak usia sekolah membutuhkan 1.550 kalori per hari mulai dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta mineral. Sedangkan untuk kebutuhan kalori saat sarapan sebenarnya tidak besar, hanya sekitar 300 kalori saja.
“Namun sebagian besar anak Indonesia gagal memenuhi kebutuhan kalori saat sarapan karena asupan gizi yang tidak seimbang,” ujarnya.
Tidak terpenuhinya kalori saat sarapan ini akan berdampak pada fungsi otak. Anak jadi sulit menerima pelajaran yang diajarkan oleh gurunya di sekolah. Anak yang tidak memiliki kebiasaan sarapan menurut dia juga akan kurang bisa berkonsentrasi saat belajar karena otaknya tidak mendapatkan cukup energi. Hal itu akan menghambat mereka untuk tumbuh secara optimal menjadi generasi terbaik.
“Selain itu, memengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak,” kata Mirza.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan Katie Adolphus yang diterbitkan di US National Library of Medicine National Institute of Health (NIH) pada 2013. Dalam studinya, Adolphus menemukan bahwa kebiasaan sarapan terbukti dapat meningkatkan kinerja akademik anak-anak, terutama yang paling jelas pada peningkatan nilai matematika.
Sementara itu, anak yang tidak sarapan di rumah atau di sekolah kurang bisa belajar. Tak hanya masalah akademik, rasa lapar karena tak sarapan juga membuat perilaku dan emosional anak terganggu. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang sering lapar lebih mungkin mengulang kelas daripada mereka yang memiliki kebiasaan sarapan setiap pagi.
Karena itu, Mirza mengatakan penting bagi setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan sarapan setiap anak. Jika tidak, sekolah juga bisa membuat program sarapan di sekolah.
ADVERTISEMENT
Untuk menu sarapan, sebenarnya bisa disiapkan dari bahan-bahan yang sederhana dan mudah disiapkan. Mirza mengatakan, menu sarapan tak perlu banyak dan mewah, yang terpenting adalah memenuhi prinsip gizi seimbang. Misalnya adalah nasi atau roti ditambah telur, buah, dan susu, menu itu menurut dia sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori saat sarapan.