Serba Salah karena Corona, Wisatawan Jogja Menanti Kepemimpinan yang Menguatkan

Konten dari Pengguna
5 Januari 2021 16:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Ari Wahyuningtyas, 43 tahun, tak benar-benar bisa menikmati liburan tahun ini. Pandemi yang seperti tak berujung, membuat masa liburan bersama keluarga yang mestinya menyenangkan menjadi serba takut. Padahal, destinasi wisata tahun ini adalah Jogja, kota yang konon selalu memberikan kenyamanan bagi siapapun yang datang.
ADVERTISEMENT
“Kalau ditanya takut, jelas takut. Apalagi kemarin sebelum berangkat sempat baca-baca berita, dan kasus di Jogja naik terus kan. Jadi tetep ngeri,” kata Ari selepas makan siang di salah satu warung di Malioboro, Senin (4/1).
Ari dibuat serba salah. Di satu sisi, dia khawatir dan takut pada COVID-19. Tapi di sisi lain, anak-anaknya sudah semakin tertekan terlalu lama di rumah dan menuntut terus untuk liburan.
Apalagi dari dulu Ari dan keluarganya selalu memiliki kebiasaan meluangkan waktu untuk berlibur. Menurutnya, bagaimanapun liburan penting untuk menjaga kewarasan dan keharmonisan keluarga.
“Tahun 2020 kemarin emang banyak waktu luang, tapi kan enggak bisa liburan. Jangankan liburan, ke luar rumah aja takut,” ujarnya.
Di situasi seperti ini, liburan menurutnya juga penting untuk manajemen stres. Liburan menurut dia bisa sedikit mengurangi stres, terutama untuk anak-anaknya. Hal itu dia rasa penting, pasalnya ketika stres maka imun tubuh bisa menurun. Dan ketika imun tubuh turun, maka seseorang akan mudah terserang berbagai penyakit.
ADVERTISEMENT
“Termasuk COVID ini,” ujar dia.
Yang bisa dilakukan sekarang olehnya, dan mungkin semua orang yang saat itu ada di Malioboro adalah mematuhi protokol kesehatan. Terdengar klise, tapi itu sangat membantunya untuk bertahan di tengah situasi yang serba salah ini.
“Ya cuma itu, pakai masker, jaga jarak, sama sering-sering cuci tangan. Sebisa mungkin lah yang bisa kita lakukan,” ujar Ari Wahyuningtyas.
Sudah Terlalu Lama
Syaiful Sidiq, 26 tahun, tak pernah menyangka pandemi akan selama ini. Awalnya, dia sempat bersyukur dengan adanya pandemi, pasalnya dia punya waktu lebih banyak di rumah. Pekerjaan lebih fleksibel, karena dia tidak harus berangkat ke kantor setiap hari seperti biasanya.
Apalagi awal-awal pandemi banyak kajian-kajian pakar yang menyebutkan bahwa pandemi akan berakhir antara bulan April atau Juni.
ADVERTISEMENT
“Aku kira paling sebulan atau dua bulan, kan lumayan hitung-hitung libur,” ujar Sidiq.
Tapi lama-lama, ternyata dia merasa jenuh, karena toh tidak masuk ke kantor tapi dia juga tidak bisa ke mana-mana. Dia juga mulai melihat corona sebagai makhluk yang sangat mengerikan, bahkan membuatnya nyaris depresi.
“Lama-lama mulai nyolong-nyolong keluar rumah, walaupun enggak jauh-jauh ya,” kata pemuda asal Trenggalek, Jawa Timur itu.
Dia juga melihat teman-temannya mulai biasa saja dengan corona. Melihat mereka mulai asyik nongkrong-nongkrong, terutama setelah diberlakukannya new normal. Dari situ, ketakutannya atas corona mulai terkikis, terlebih dengan adanya antitesis bahwa ‘corona tidak seberbahaya itu’.
“Tapi tetap aja ada rasa takut lah, masih ngeri juga kalau lihat kerumunan. Makanya ini kan kita cari waktu yang kiranya enggak terlalu banyak wisatawan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Penanganan Tak Jelas
Sama dengan Syaiful Sidiq, awalnya Tuni, 27 tahun, juga sangat paranoid. Dia selalu memiliki rasa curiga dengan semua benda yang dia sentuh, makan, atau dia minum. Corona menjadi momok yang sangat menakutkan.
“Apalagi tempat kerja saya kan banyak dikunjungi orang-orang yang kita enggak pernah tahu dia dari mana,” kata pemuda yang bekerja di sebuah mall di Surabaya itu.
Tapi ketakutannya ternyata tidak mendapat respons serius dari pemerintah atau pemangku kebijakan. Tuni melihat, sejak awal tidak ada langkah yang jelas dan serius dari pemerintah dalam rangka menyudahi pandemi.
Bukan hanya tidak ada langkah yang jelas, bahkan pemerintah seperti memandang remeh virus yang sampai sekarang sudah menewaskan 2 juta orang di seluruh dunia itu.
ADVERTISEMENT
“Ditambah kemarin bansos corona malah dikorupsi. Kan lama-lama kesel mas, kita sudah berjuang setengah mati, yang di atas malah seenaknya,” ujarnya.
Lama-lama, kewaspadaannya dengan virus corona mulai terkikis. Dan menurut dia, itu juga yang dirasakan banyak orang saat ini. Ketidakjelasan membuat orang-orang lelah, dan mulai mengabaikan anjuran-anjuran pemerintah tentang protokol kesehatan.
“Ya itu, saya lihat sudah pada muak,” lanjutnya.
Ketika ditanya, kenapa tidak menunggu vaksin selesai dulu baru liburan, menurutnya waktu itu sudah terlalu lama. Seperti yang dikatakan Juru Bicara Vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan dalam rilis kemkes.go.id, secara total vaksinasi membutuhkan waktu 15 bulan untuk populasi 181,5 juta jiwa di 34 provinsi. Menurut Tunis, waktu itu terlampau lama karena orang-orang sudah mulai stres karena situasi yang ada.
ADVERTISEMENT
“Iya kalau prosesnya bener, lah kalau nanti ada masalah lagi kayak bansos kemarin bakal makin lama itu. Intinya kita berharap pemerintah bisa memimpin kita dengan jelas dan menginspirasi untuk bisa melewati corona,” kata Tuni. (Widi Erha Pradana / YK-1)